Kamis, 06 Juni 2013

kumpulan responding paper


KUMPULAN RESPONDING PAPER AGAMA BUDDHA
Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Dissusun Oleh
Diana Puspasari    (1111032100046)

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan

A.      Pengertian Hukum Kasunyataan
Kasunyataan (Sacca) berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa Sansekerta disebut Satya artinya fakta yang tidak dapat dibantah.[1]Hukum Kasunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kasunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku di semua tempat, didalam semua keadaan di setiap waktu. Kasunyataan yang dibuat oleh sesuatu yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Budha. [2]
ada empat hukum Kesunyataan yaitu:
a.             Cattari Ariya Saccani artinya Empat Kebenaran Mulia/ Empat Kesunyataan.
b.             Kamma artinya Sebab-Akibat Perbuatan dan Punabbhava artinya Kelahiran Kembali atau Tumimbal Lahir
c.              Tilakkhana artinya Tiga Corak Umum dan Pancakkhandha artinya Lima Kelompok Kehidupan atau yang disebut manusia.
d.             Paticca Samuppada artinya Pokok Permulaan Sebab-Akibat yang Saling Bergantungan.
B.       Cattur Arya Sacccani (Empat Kebenaran Mulia)
Kasunyataan (Sacca) berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa Sanskerta disebut Satya artinya fakta yang tidak dapat dibantah. Menurut pandangan Budha ada empat Kasunyataan yang berhubungan dengan manusia.[3]
Budha Gotama mengajarkan Pembebasan Diri Dari Segala Derita, dengan menerangkan empat faktor didalamnya:



1.        Kesunyataan tentang Dukkha atau Dukkha Ariyasacca
Dukkha diterjemahkan sebagai penderitaan atau duka cita. Sebagai perasaan dukkha berarti sesuatu yang sulit ditahan (du=sulit, kha=menahan). Yang termasuk dalam dukkha antara lain:
a.              Kelahiran, usia lanjut, kematian adalah dukkha.
b.             Timbulnya kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesengsaraan, putus asa adalah dukkha.
c.              Keinginan yang tidak tercapai adalah dukkha.
d.             Kehilangan sesuatu yang dicintai/disukai dan berkumpul atau selalu dekat dengan yang dibenci adalah dukkha.
e.              Masih banyak lagi yang lain-lainnya.
Secara singkat susunan badan ini sendirilah sumber penderitaan. Penderitaan bergantung pada manusia dan berbagai segi kehidupan, harus diamati dan diuji dengan cermat.
2.        Kesunyataan tentang Asal-Mula Dukkha atau Dukkha
Samudaya Ariyasacca
Dukkha disebabkan oleh adanya nafsu keinginan, kehausan, kerinduan (Tanha) yang berhubungan dengan kenikmatan indriya dan pemikiran untuk terus mempertahankannya, atau menolak sesuatu yang tidak disukai/dicinta dan hal ini mengakibatkan timbulnya proses tumimbal-lahir (rebirth).[4]
3.        Kesunyataan tentang Lenyapnya Dukkha atau Dukkhanirodha Ariyasacca.
Penderitaan maupun keinginan hanya dapat di hapuskan dengan mengikuti Jalan Tengah, yang dipaparkan oleh Sang Budha, serta mencapai Kebahagiaan Nibbāna. Berhentinya penderitaan secara tuntas yaitu Nibbāna, tujuan akhir semua umat Budha. Itu dapat tercapai dengan menghilangkan segala bentuk napsu keinginan secara menyeluruh.[5]
4.        Kesunyataan tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha atau Dukkhanirodhagaminipatipada Arriyasacca.
Kesunyataan ini harus disadari dengan mengembangkan Jalan Ariya Berunsur Delapan yang merupakan Kesunyataan Mulia ke empat. Delapan Ruas Jalan Utama atau Ariya Atthangika Magga adalah merupakan Parama Bodhi Marga atau Jalan Untuk Mencapai Penerangan  Sempurna.
Delapan Ruas Jalan Utama itu terdiri atas:[6]
a.              Harus memiliki pandangan / pengertian benar atau
          Samma Ditthi
b.             Pikiran benar atau Samma Sankappa
c.              Ucapan benar atau Samma Vaca
d.             Perbuatan benar atau Samma Kammanta
e.              Mata pencaharian benar atau Samma Ajiva
f.              Daya upaya benar atau Samma Vayama
g.             Perhatian benar atau Samma Sati
h.             Konsentrasi benar atau Samma Samadhi

C.       KAMMA (Hukum Karma)
Kamma adalah kata Pali dan Karma adalah kata Sanskerta yang secara singkat berarti “Perbuatan”, yaitu setiap perbuatan didahului oleh suatu sebab dan setelah dilakukan.
Jadi, Kamma adalah suatu perwujudan dari perbuatan, yakni meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan yang baik maupun yang buruk; dan lahir maupun batin atau jasmani atau rohani. Makna yang luas dari Kamma sebenarnya ialah semua keinginan yang tidak membeda-bedakan apakah keinginan/kehendak itu bermoral (berakhlak) ataupun yang tidak bermoral.[7] Semua perbuatan yang dilakukan akan meimbulkan akibat dan awal kejadian disebut dengan sebab, sehingga Kamma juga disebut sebagai “HUKUM SEBAB AKIBAT PERBUATAN”.

D.       PUNNABBHAVA(Tumimbal Lahir)
Perihal Tumimbal Lahir, ajaran Budha menyatakan bahwa hidup ini merupakan proses yang berkesinambungan dari hidup yang lampau, hidup sekarang, dan hidup yang akan datang. Kesinambungan dan keterkaitan hidup ini berlangsung terus-menerus karena adanya “daya hidup” yang berupa “akibat perilaku” dari perilaku-perilaku manusia yang telah dilakukannya. Apabila manusia tidak memiliki “daya hidup” lagi maka ia dikatakan mencapai kebebasan dari hidup. Hal ini berarti kebebasan dari penderitaan.[8]

E.       Pengertian Tilakhana
Tilakhana artinya Tiga corak yang Universal dan ini termasuk Hukum Kesunyataan, berarti hukum ini berlaku dimana-mana dan pada setiap waktu. Jadi Hukum ini tidak terikat oleh waktu dan tempat.[9]  Tiga corak umum yaitu:[10]
a.              Anicca : semua bentuk yang berkondisi adalah tidak kekal
b.             Dukha : semua bentuk yang terkondisi adalah tidak sempurna
c.              Anatta: semua bentuk yang terkondisi dan bentuk yang tidak terkondisi adalah tanpa “AKU”
Aniccaa: artinya itu semua bentuk yang terkondisi adalah tidak kekal
atau selalu berubah-ubah.
Dukha: semua bentuk yang terkondisi adalah tidak sempurna. Segala sesuatu yang tidak kekal menimbulkan penderitaan, atau penderitaan terjadi karena adanya perubahan yang terus menerus.
Yang menimbulkan Dukkha menurut hukum paticca samuppada yaitu :
1.             TANHA DI IKUTI OLEH UPADANA
Tanha yaitu keinginan kehausan atau kerinduan, dan Upadana yaitu kemelekatan  atau ikatan,untuk mencapai sesuatu yang di inginkannya.
2.             UPADANA DIIKUTI OLEH BHAVA
Bhava sesungguhnya yang berarti terbentuk dan disini di artikan sebagai terbentuknya yang bererti terbentuknya proses kehidupan kita, Maka bergantung kepada Upadana terbentuknya proses kehidupan kita ( proses kamma ).
3.             BHAVA DIIKUTI OLEH JATI, JARAMARANA
Jika Bhava (proses kehidupan atau arus penjelmaan) ini terbentuk, maka timbullah kelahiran, usia tua, kematian, mengalami sukses dan kegagalan, harapan dan kekecewaan; dengan demikian timbullah segala macam penderitaan.
Kata anatma berarti tiada jiwa. Ajaran ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran anitya, yang mengajarkan bahwa tiada sesuatu yang tidak berubah. Jika tiada sesuatu yang tidak berubah maka juga tiada jiwa yang kekal.[11]
Anatma dapat juga diterangkan dalam 3 tingkatan yaitu;[12]
1.             Tidak perlu mementingkan diri sendiri. Contoh; terlalu egoistis
Kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja, termasuk tubuh jasmani dan pikiran kita supaya tetap seperti apa yang kita inginkan.
2.             Bila tingkat pengetahuan tinggi telah dicapai dan telah memperaktekan akan mengetahui dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa “Aku”, atau tanpa pribadi.
3.             Anatma adalah Doktrin agama Buddha bahwa tidak terdapat suatu kekekalan “Aku” (Atta) yang terdapat di dalam tiap-tiap individu manusia.
F.        Pattica Sammuppada
Paticca Samuppada memberikan arti: Timbul atas dasar dari suatu sebab sebelumnya, terjadi dengan cara dari sebab kejadian sebab-musabab, ketergantungan asal mula.[13]
Bunyi hukum pattica sammuppada [14]
Paticca samuppada terdiri atas: PATICCA artinya DISYARATKAN dan kata SAMUPPADA artinya MUNCUL BERSAMAAN. Jadi perkataan paticca samuppada artinya kurang lebih yaitu MUNCUL BERSAMAAN KARENA SYARAT BERANTAI, atau terjemahan yang sering terlihat dalam buku-buku, yaitu “POKOK PERMULAAN SEBAB AKIBAT YANG SALING BERGANTUNGAN”.
Paticca samuppada merupakan penjelasan tentang proses kelahiran dan kematian, ia berhubungan dengan sebab tumimbal lahir dan penderitaan, dengan pengharapan membantu manusia membebaskan diri dari penderitaan hidup.[15]
Prinsip dari ajaran hukum patticasammuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang berbunyi  sebagai berikut :
1.             Dengan adanya ini,maka terjadilah itu.
2.             Dengan timbulnya ini,maka timbullah itu
3.             Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
4.             Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.[16]
DAFTAR PUSTAKA

Djam’annuri, Agama Kita. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009.

Mahatera, Ven. NĀRADA, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya. Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma. 1992 Bag. 2

Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana.
Suwarto T. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. 1995

Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Depok : Bromo fc

Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma. Jakarta: 1980.



































Keyakinan Terhadap Kitab Suci (Tripitaka)
I.      Pendahuluan

II.    Pengertian Tripitaka dan Sejarah Penulisannya
Ajaran agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak hanya berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya. Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar, yang dikenal dengan pitaka atau keranjang, yaitu Vinaya pitaka, Suttra pitaka, dan Abidharma pitaka.[17]
Pada sekitar empat abad, agama Buddha menyampaikan isi kitab sucinya dengan tradisi yang diteruskan secara lisan oleh pemimpin-pemimpin agama Buddha yang hidup pada  abad-abad pertama diteruskan oleh Persamuan-persamuan Agung yang dikuatkan oleh hafalan-hafalan pada masa itu. Kemudian dilakukanlah pengumpulan yang secara lisan tadi, seperti khotbah-khotbah, kata-kata mutiara, syair, cerita-cerita, peraturan-peraturan, dan lain-lain yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok seperti yang sudah  saya sebutkan di atas yang  dikenal sebagai ‘pitaka’[18]
Sehubungan dengan sumber-sumber diatas, ada dua pandangan yang berbeda, yakni antara golongan Therevada dan  Mahayana. Golongan pertama menganggap bahwa hanya kitab Tripitaka yang dikumpulkan pada pesamuan agung pertama tahun 483 SM. saja yang dapat dianggap sebagai diajarkan sendiri oleh sang Buddha, sedangkan golongan Mahayana, selain menerima Tripitaka sebagai sumber ajarannya, juga menjadikan kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai sumber ajarannya. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Karandavyriha, Sukhavatiyuha, Lalitavistara, Mahayanacradhhautpada, Saddharmapundarika, Madyamika-sutra, Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain sebagainya.[19]
A.  Sutra Pitaka
Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu ‘benang’. Benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Setiap khotbah Hyang Buddha seperti kata-kata yang dirangkai menjadi satu dengan indah dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan, tidak acak-acakan serta tidak saling bertentangan, oleh sebab itu khotbah Hyang Buddha disebut ‘sutra’.[20] Sutra Pittaka sendiri berisi dhamma atau ajaran Buddha kepada muridnya.[21] Kitab Sutra Pitaka juga memuat uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna bagi para bhikku atau biksu dan pengikut yang lain.[22]
Kitab Sutra Pitaka ini juga tidak hanya memuat ucapan-ucapan Buddha Gautama saja melainkan ucapan para thera semasa hidupnya, dan juga riwayat hidup dari para bhikku dan bhikkuni. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah kitab Dhammapada yang mengutarakan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Buddha dan cara yang diajarkannya untuk menyembuhkan penyakit yang terdapat dalam diri manusia. Buku ini terdiri atas 423 syair dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain Dhammapada juga ada kitab Udana yang berisi ucapan-ucapan Buddha yang disampaikan pada berbagai kesempatan, theragata yang merupakan kumpulan syair yang disusun oleh para thera semasa Buddha masih hidup. Riwayat hidup Buddha yang terdahulu dan kehidupan dari 25 Buddha lainnya juga diceritakan dalam Sutranikaya ini, terutama kitab-kitab Jataka, Apadana, Buddhavamsa, dan CariyaPitaka.[23]

B.  Vinaya Vitaka
            Berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib, dan sebagainya[24]. Selain itu, kitab suci VinayaPitaka ini juga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikku dan Bhikkuni,[25] dan terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan Parivawa.[26] Skema umum isi VinayaPitaka:[27]
-          Bagian yang berhubungan dengan Pratimoksa atau Patimokha, yaitu peraturan-peraturan untuk para biksu atau bikkhu yang dinamakan ‘bagian bhikku’ (bhikkuvibhanga).
-          Bagian yang sama untuk para bhikkuni.
-          Suatu bagian yang dinamakan ‘khandhaka’ (kelompok), tiap-tiap kelompok berhubungan dengan suatu aspek khusus mengenai kehidupan dari sangha, seperti pentahbisan, upasattha, memenuhi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pakaian, jubah, obat-obatan, makanan, tempat tinggal, dan lain sebagainya.

C.  Abbhidharma Vitaka
Abidharma atau abhidhamma adalah susunan ceramah dan perkembangan logika tentang dharma dari ajaran Hyang Buddha, membahas filsafat dan metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata Buddha Dharma, dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan Abidharma Pitaka.[28] Sehingga Abbidharma Pitaka berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat dan tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain sebagainya.[29]
Kitab ini terdiri dari tujuh buah buku, yaitu: Dhammasangani, Vibhanga, Dathukatha, Puggalapannatti, Kathavatthu, Yamaka, dan Patthana. Berbeda dengan kitab Sutra Pitaka dan VinayaPitaka yang menggunakan bahasa naratif, sederhana dan mudah dimengerti umum, gaya bahasa kitab Abbidharma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis.[30]
Tetapi, selain pengelompokan diatas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kitab-kitab Sutra dan kitab-kitab Sastra. Kitab Sutra adalah  kitab-kitab yang dipandang berisi ucapan Buddha sendiri meskipun ditulis jauh sesudah ia meninggal dunia, sedangkan kitab Sastra adalah uraian-uraian yang ditulis oleh para tokoh yang ternama. Uraian-uraian tersebut biasanya disusun secara sistematis.[31]
Menurut aliran Hinayana yang dianggap sebagai kitab-kitab Sutra ialah kitab-kitab yang dulu dikumpulkan pada Muktamar Buddhis pertama, sekitar tahun 383 S.M. Dan semua kitab yang muncul setelah itu tidak diakui keasliannya. Namun, berbeda dengan Hinayana, aliran Mahayana berpendapat bahwa kitab-kitab Sutra yang muncul setelah Muktamar pertama pun dipandang asli dan diyakini diucapkan oleh sang Buddha sendiri. Dengan demikian, berkaitan  dengan kitab suci Tripitaka yang merupakan sumber ajaran agama Buddha seperti yang telah diterangkan  di atas, ada dua pandangan yang beda, yakni antara golongan Theravada dan Mahayana. Golongan pertama menganggap bahwa kitab Tripitaka yang dikumpulkan pada Pasamuan Agung yang pertama tahun 483 S.M. saja yang dapat dianggap sebagai ajaran yang diajarkan sendiri oleh Buddha, sedangkan golongan Mahayana selain menerima Tripitaka sebagai sumber ajarannya juga menjadikan kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai sumber ajarannya. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Karandavyriha, Sukhavatiyuha, Lalitavistara, Mahayanacradhautpada, Saddharmapundarika, Madyamika-sutra, Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain-lain.[32]

DAFTAR PUSTAKA
Ali Mukti.  Agama-Agama di Dunia. Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Pres. 1998

Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1983.

Hadiwijono, Harun Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 2010

Romdhon, dkk. Agama-Agama di Dunia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988

Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. 1995.












NIBBANA
I.         PENDAHULUAN
Pemahaman kita tentang Nibbana sulit kita dapatkan dari hanya membaca buku-buku saja. Nibbana bukanlah sebuah subyek untuk dimengerti oleh orang yang pandai saja, ini adalah suatu keadaan diluar keduniawian.
Nibbana yang hanya berdasarkan intelektual adalah mustahil. Kerena hal ini bukan suatu masalah yang dicapai berdasarkan pemikiran yang logis. Kata-kata Sang Buddha memang masuk diakal, tetapi Nibbana yang merupakan tujuan terakhir agama Buddha berada diluar jangkauan logika. Meskipun demikian, dengan membayangkan segi positif dan negatif dari kehidupan, kesimpulan yang logis timbul dalam pertentangan suatu keadaan kehidupan yang luar biasa, pasti ada suatu keadaan tanpa penderitaan, tanpa kematian, tanpa kondisi.

II.      NIBBANA
A.  Pengertian Nibbana dan Sifat-Sifatnya
Nibbana adalah suatu keadaan di luar keduniawian (Lokuttara Dhamma). Nibbana berada diluar jangkauan logika dan pemahaman berdasarkan intelektual mengenai hal ini adalah mustahil. Kata Pali Nibbana (bahasa Sansekerta – Nirvana) terdiri dari kata ‘Ni dan Vana’.[33] Ni adalah suatu unsur negative. Vana berarti Jalinan atau Keinginan. Disebut Nibbana karena ada suatu perpisahan (Ni) dari keinginan yang disebut Vana, nafsu keinginan. Bila semua bentuk keinginan dibasmi, daya kemampuan Kamma berhenti bekerja, dan seseorang mencapai Nibbana, terlepas dari lingkaran kelahiran dan kematian. Nibbana juga diterangkan sebagai pemadaman api nafsu keinginan (Lobha), kebencian (Dosa), dan khayalan (Moha).

B.  Jalan Menuju Nibbana
Jalan menuju ke Nibbana adalah Jalan Tengah (Majjma Patipada).
Jalan Tengah ini terdiri dari delapan unsur sebagai berikut:
a.              Harus memiliki pandangan / pengertian benar atau Samma Ditthi
b.             Pikiran benar atau Samma Sankappa
c.              Ucapan benar atau Samma Vaca
d.             Perbuatan benar atau Samma Kammanta
e.              Mata pencaharian benar atau Samma Ajiva
f.              Daya upaya benar atau Samma Vayama
g.             Perhatian benar atau Samma Sati
h.             Konsentrasi benar atau Samma Samadhi
Dua yang pertama digolongkan sebagai kebijaksanaan (panna), tiga yang berikutnya sebagai Kesusilaan (sila), dan tiga terakhir sebagai Konsentrasi (samadhi).[34]
Nibbana dapat dicapai di dalam hidup sekarang atau dapat pula dicapai setelah mati. Nibbana yang dicapai semasa hidup di dalam dunia ini, masih mengandung sisa-sisa kelompok kehidupan yang masih ada (sa-upadisesa-nibbana), seperti yang dicapai oleh Buddha Gautama di dalam kehidupannya di dunia. Meskipun bathin beliau telah bersih dari lobba, dosa, dan moha, sebelum menjadi Buddha, beliau dilahirkan sebagai Siddharta Gautama, maka beliau masih dapat wafat. Hal ini sesuai dengan azas ajaran Anicca yang berbunyi “Sabbe Sankhara Annica” yang berarti semua yang dilahirkan karena syarat - syarat akan berubah adalah tidak kekal. Demikian pula halnya dengan Siddharta Gautama, yang terlahir sebagai putra Raja Suddhodana, harus akhirnya wafat, meskipun beliau telah menjadi Buddha dan telah mencapai Nibbana dalam kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan Nibbana yang dicapai masih mengandung sisa-sisa lima kelompok kehidupan yang masih ada.[35]
Kemudian setelah Buddha Gautama wafat, maka beliau telah mencapai Nibbana yang tidak lagi mengandung sisa – sisa kehidupan (an-upadisesa-nibbana). Beliau telah bebas dari kelahiran, penderitaan, umur tua, dan kematian dan telah hidup dalam kebahagiaan yang kekal nan abadi.[36]

DAFTAR PUSTAKA
Mahatera, Ven. NĀRADA. Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya. Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma. 1992.Bag. 2

Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Depok : Bromo fc














Meditasi dalam Budhisme
I.       PENDAHULUAN
Bagi orang-orang beragama yang tekun beribadat, yang ingin mencari kesucian batin atau kemajuan rohani, hendaklah selalu berusaha untuk menolak perintah dari indria-indria yang ingin mendapatkan kepuasan badaniah, serta mencoba memusnahkan pengaruh dan kekuasaannya itu, supaya kesadaran bisa sepenuhnya menerangi dirinya pribadi. Batin yang diterangi oleh kesadaran sejati, dalam berbagai agama secara umum dinamakan "bersatu dengan Yang Maha Esa"
Untuk mencapai tujuan itu, sebagai tindakan pertama, wajiblah orang mulai menggunakan sebagian dari waktunya untuk melupakan urusan yang menyangkut kepentingan lahiriah. Semua ini hanya dapat dilakukan dengan jalan meditasi atau Mengheningkan Cipta, dimana seseorang pada waktu melakukan meditasi memusatkan kesadaran pikirannya ntuk ditujukan ke arah yang suci dan mulia.

II.    MEDITASI
A.  Pengertian Meditasi
Istilah meditasi sebenarnya dapat disamakan dengan istilah ‘bhavana’ yang arti harfiahnya ‘pengembangan batin’ yakni usaha untuk menumbuhkan batin terpusat, tenang, mampu dengan jelas melihat sifat batin sesungguhnya gejala apapun yang dapat merealisir Nibbana, suatu keadaan batin ideal dari batin yang sehat.[37]
Meditasi bertujuan untuk melihat esensi diri dan sampai pada akhirnya kita menyadari bahwa segala sesuatu tidaklah kekal (impermanence) sehingga membantu pengembangan pandangan benar. Untuk bisa melihat bahwa  segala sesuatu itu tidaklah kekal, maka pikiran ini harus diam ­­–jangan malah terlarut dalam perubahan. Namun, selama bermeditasi pun pasti terdapat rintangan yang muncul dan bisa menjadi penyebab kegagalan meditasi seseorang. Rintangan tersebut sebenarnya sudah ada dalam kehidupan kita sehari-hari namun akan tampak semakin jelas ketika kita berupaya untuk mengamati pikiran ini. [38]
Lima rintangan batin (nivarana) dalam meditasi:
1.            Thinamiddha – kelambanan, kemalasan, kebosanan Ibarat terdapat sebuah kolam dan kita hendak melihat ke dasar kolam tersebut, maka keadaan pikiran yang malas dan bosan dapat diibaratkan sebagai kolam yang permukaannya penuh lumpur pekat sehingga kita tidak dapat melihat dasar kolam
2.            Uddhaccakkukkuca – kekacauan, kegelisahan, kekhawatiran Ibarat kolam yang beriak/bergelombang karena angin
3.            Vicikiccha – keragu-raguan Ibarat melihat kolam pada waktu gelap atau tidak ada penerangan
4.            Kammacchanda – keinginan Ibarat kolam yang permukaannya dipenuhi bunga-bunga cantik
5.            Byapada – ketidaksenangan Ibarat kolam dengan air yang mendidih [39]
Meditasi dalam Agama Buddhis ada dua macam: Pemusatan Batin (samatha atau samadhi) dan Pandangan Terang (vipasana atau adarsana). Yang masing-masing penjelasannya adalah sebagai berikut.
1.                  Meditasi Samatha-Bhavana yakni meditasi untuk mencapai keterangan hidup. Dalam abad nuklir ini, dimana kehidupan terasa semakinkeras dan kompleks, memang sangat dibutuhkan meditasi samatha bhavana ini, untuk menghilangkan stress, frustasi dan untuk menciptakan ketenangan batin.
2.                  Meditasi Vipassana-Bhavana, yakni mediatsi yang dapat membersihkan kekotoran bathin dan pikiran secara total, sehingga kita dapat mencapai pandangan terang.[40]
B. Objek Meditasi
1.  Samatha Bhavan
Dalam Samatha Bhavana ada 40 objek meditasi. Objek-objek meditasi ini dapat dipilih salah satu yang kiranya cocok dengan sifat atau pribadi seseorang. Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu mempercepat perkembangannya. Pemilihan sebaiknya dilakukan dengan bantuan seorang guru.[41]
Keempat puluh macam objek meditasi itu ialah:
a.             Sepuluh kasina (10 wujud benda), yaitu:
1.         Pathavi kasina = wujud tanah
2.         Apo kasina                  = wujud air
3.         Tejo kasina                  = wujud api
4.         Vayo kasina                 = wujud udara atau angin
5.         Nila kasina                   = wujud warna biru
6.         Pita kasina                   = wujud warna kuning
7.         Lohita kasina               = wujud warna merah
8.         Odata kasina               = wujud warna putih
9.         Aloka kasina                = wujud cahaya
10.     Akasa kasina               = wujud ruangan terbatas

b.             Sepuluh asubha (10 wujud kotoran), yaitu:
1.         Uddhumataka             = wujud mayat yang membekak
2.         Vinilaka                       = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan
3.         Vipubbaka                   = wujud mayat yang bernanah
4.         Vicchiddaka                = wujud mayat yang terbelah di tengahnya
5.         Vikkahayatika             = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang
6.         Vikkhittaka                 = wujud mayat yang telah hancur lebur
7.         Hatavikkhittaka           = wujud mayat yang busuk dan hancur
8.         Lohitaka                      = wujud mayat yang berlumuran darah
9.         Puluvaka                      = wujud mayat yang dikerubungi belatung
10.     Atthika                                    = wujud tengkorak

c.              Sepuluh annusati (10 macam perenungan), yaitu:
1.    Buddhanussati               = perenungan terhadap Buddha
2.    Dhammanussati             = perenungan terhadap Dhamma
3.    Sanghanussati                = perenungan terhadap Sangha
4.    Silanussati                      = perenungan terhadap Sila
5.    Caganussati                    = perenungan terhadap kebajikan
6.    Devatanussati                = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung  atau para dewa
7.    Maranussati                    =  perenungan terhadap kematian
8.    Kayagatasi                     =  perenungan terhadap badan jasmani
9.    Anapanasati                   =  perenungan terhadap pernapasan
10.     Upasamanussati           =  Perenungan terhadap Nibbana

d.             Empat appamanna (empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu:
1.    Metta                 = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih
2.    Karuna               = belas kasihan
3.    Mudita               = perasaan simpati
4.    Upekkha                        = keseimbangan batin

e.              Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
f.               Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada didalam badan jasmani)
g.             Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu:
1.    Kasinugaghatimakasapannatti             = objek ruangan yang    sudah keluar dari kasina
2.    Akasanancayatana-citta          = objek kesadaran yang tanpa batas
3.    Natthibhavapannatti               = objek kekosongan
4.    Akincannayatana-citta                        = objek bukan pencerapan
    pun tidak bukan pencerapan

2.             Vipasana Bhavana          
   Dalam melaksanakan Vipasana Bhavana, objeknya adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau pancakandha (lima kelompok faktor kehidupan)[42]. Ini dilakukan dengan memperhatikan gerak-gerik nama dan rupa terus menerus, sehingga dapat melihat dengan nyata bahwa nama dan rupa itu dicengkeram oleh anicca (ketidakkekalan). Dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku).[43] Dan juga yang menjadi objeknya adalah empat macam satipatthana (empat macam perenungan) terdiri atas: kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani), vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan), citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran), dan Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran).

DAFTAR PUSTAKA
Thera Piyadassi. MeditasiBuddhis: JalanMenujuKetenangandanKebersihanBatin. Surabaya: Paramita. 2005

Hansen Upa. Sasanasena Seng.  Ikhtisar Ajaran Buddha.  Yogyakarta : Vidyasena Production. 2008
           
OktaDiputrha, Meditasi I, 2004.

MahaNayakaSthavira A. Jinarakkhita. Meditasi II


Ajaran tentang Sangha
I.        PENDAHULUAN
Aturan organisasi agama buddha membagi para penganut agama buddha kedalam dua kelompok, yaitu kelompok Sangha dan kelompok awam. Kelompok Sangha adalah terdiri dari para Bikkhu, Bikkhuni, Samanera dan Samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk meningkatkan nili-nilai kerohanian serta tidak melaksanakan hidup berkeluarga. Sedangkan kelompok awam terdiri dari Upasaka dan Upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha serta melaksanakan hidup berumah  tangga sebagai orang biasa.[44]

II.    AJARAN SANGHA
A.  Pengertian Sangha dan Kedudukannya
Anggota Sangha adalah teladan dari cara hidup yang suci, menyampaikan Dharma atas permintaan umat dan membantu mereka dengan nasihat maupun penerangan batin dalam suka dan duka. Dari umat buddha Sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo), penghormatan (anjali karananiyo) dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).[45]
Buddha, Dhamma, dan Sangha tidak dapat dipisah-pisahkan dalam pembahasannya. Jadi, kalau ada guru, maka harus ada ajaran dan juga harus ada siswa yang berhasil untuk membuktikan kebenaran ajaran sang guru tersebut. Oleh sebab itu, ketiga hal ini saling berkaitan. Dalam Khuddakanikaya, Khuddakapatha, dijelaskan beberapa perumpamaan dari Tiratana di antaranya yaitu:


1.
Dokter
Obat
Pasien yang sembuh
2.
Matahari
Sinar
Bumi yang terkena sinar
3.
Sopir kapal
Kapal
Penumpang yang sampai tujuan
4.
Penunjuk harta karun
Peta
Orang yang menemukan harta
5.
Busur panah
Anak panah
Sasaran yang terkena anak panah
      BUDDHA                  DHAMMA                   SANGHA

S





Sang  Budha menjelaskan rincian mengenai Kesunyataan Mulia yang keempat yang kemudian disebut dengan Delapan Ruas Jalan Suci ini. Semua anggota baru melakukan suatu deklarasi yang dikenal sebagai Tiga Permata Agama Budha (atau Tri-Ratna), yakni deklarasi yang dinyatakan oleh semua umat Budha hingga saat ini.
1.             Aku berlindung kepada Budha (sebagai bukti bahwa pembebasan mengakhiri penderitaan)
2.             Aku berlindung kepada Dharma (untuk pengetahuan dan pengertian mengenai hukum kosmis)
3.             Aku berlindung kepada Sangha (untuk mendapatkan dukungan praktis dan spiritual)

Pada mulanya sang Budha tidak membuat aturan yang tegas untuk Sangha. Beliau hanya sekedar meminta agar anggota-anggotanya berjanji untuk menjalani hidup yang etis. Berbagai aturan rincian mengenai sangha yang masih ada dalam teks Vinaya Pitaka mencakup semua aspek keberadaan biara, terutama hubungannya dengan anggota lain di dalam komunitas dan populasi kaum awam yang ditemui oleh bhikku dan bhikkuni ketika mengumpulkan sumbangan berupa makanan sehari-hari. [46]



B.  Cara Menjadi Bikkhu
Inti masyarakat Buddhisme dalam arti yang sebenarnya adalah hanya terdiri dari para Rahib (Bikkhu/Biksu). Sebab hanya hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yaitu mencapai nirwana. Seluruh persekutuan para Bikkhu/Biksu disebut Sangha/jemat.[47]
Yang terakhir seorang Bikkhu harus hidup dengan ahimsa (tanpa kekerasan), artinya ia dilarang membunuh dan melukai makhluk lainnya. Empat dosa yang harus dijauhi para bikkhu adalah: hidup mesum, mencuri, membunuh makhluk yang lain, dan meninggikan diri karena kecakapannya membuat mu’jizat.[48]
Setelah menjadi bikkhu seseorang harus menjalani hidup bersih dan suci seperti yang tertulis dalam kitab vinaya pitaka, menjalani 227 peraturan yang garis besarnya adalah:
1.             Peraturan yang berhubungan dengan tata tertib lahiriyah.
2.             Peraturan yang berhubungan dengan cara penggunaan makanan dan pakaian, serta kebutuhan hidup yang lain.
3.             Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin.
4.             Cara untuk memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.[49]

C.  Kelompok Budha Awam
      
Pada umumnya yang dimaksud dengan umat Budha yang awam terdiri dari orang-orang yang telah mengakui Sang Budha sebagai pemimpin dan gurunya, mengakui dan meyakini kebenaran ajaran Budha serta berusaha dengan sungguh-sungguh melaksanakan ajarannya. Mereka yang mengakui keagamaan Budha ini disebut Upasaka dan Upasaki.
Pengakuan terhadap agama Budha tersebut dinyatakan dengan niat dan tekad untuk berlindung kepada Budha, Dharma dan Sangha dengan mengucapkan ‘Trisarana’.
Setelah mengucapkan Trisarana tersebut seorang Upasaka atau Upasaki terikat secara Rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Budha dalam kehidupannya sehari-hari. Dilihat dari tingkatan pemahaman seseorang terhadap ajaran Budha dan tanggung jawab keagamaannya, maka kelompok masyarakat Budha Awami ini dapat dibedakan sebagai berikut :
1.                  Upasaka dan Upasaki yang benar-benar awam keagamaannya.
2.                  Yang disebut Bala Anupandita, Anu Pandita  dan Pandita adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan bergabung dalam organisasi umat Budha.
3.                  Maha Upasaka, ialah para pandita yang mengurus administrasi dan soal-soal teknis.
4.                  Maha Pandita adalah para Pandita yang mengurus khusus masalah keagamaan.
5.                  Anagarika adalah orang awam Budha yang diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengamalkan ajaran Budha Gautama.[50]





DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.  1998
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Hadiwijono Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung Mulia. cet. X 2010.

Stokes,Gillian. Seri siapa Dia? Budha Erlangga.. Jakarta.  2001.




















Budhisme di India dan China
I.            PENDAHULUAN
sejarah perkemangan Agama Buddha di India setelah Buddha Gautama wafat dapat di bagi menjadi tiga periode, yaitu (a) Masa perkembangan awal hingga pasamuan Agung Kedua, (b) Masa Kekuasaan Raja Asoka, dan (c) Masa kemunduran Agama Buddha di India.[51]
II.       Buddhisme di India
A.  Masa Perkembangan Awal
Dalam abad ke-4 Masehi, mulailah cahaya bersinar kembali dalam sejarah India dengan timbulnya suatu kerajaan baru, yaitu kerajaan Gupta, kerajaan ini menghampiri kemahsyuran kerajaan Maurya di zaman Chandragupta dan Ashoka Maurya.[52]
Putra Chandagupta, Bindusari,melanjutkan kemaharajaan ayahnya dan boleh jadi memperluasnya ke selatan. Kira-kira tahun 274 sM, putra Bindusari yaitu Asoka menggantikan memimpin kemaharajaan yang telah dibangun oleh kakeknya dan ayahnya dengan bantuan seorang ahli pemerintahan kautilya Chanakaya.[53] Pada saat Asoka inilah pnyebaran agama Budha kseluruh penjuru Dunia dilakukan, raja Asoka sangat berjasa dalam perkembangan sejarah penyebaran agama Budha di beberapa belahan Dunia.
Meskipun India dibawah pemerintahan Asoka secara hukum dan politik berdasarkan kerajaan (monarki) absolut namun otokrasinya sangatlah terbatas daripada otokrasi yang pernah kita kenal di dunia barat. Masyarakat India pada waktu itu adalah beragama dan berkehidupan sekuler. Masyarakat bergama ternagi menjadi kaum Brahman, kaum Sramana, dan kaum Pasanda.
Asoka bukan lahir dari orang tua yang bergama Budha. Menurut tradisi Jaina, kakek Asoka adalah penganut Jaina dan pada akhir tuanya meninggalkan keduniawian sebagai petapa Mahavamsa memberitakan bahwa raja Bindusari adalah penganut Brahman yang banyak berdana kepada para Brahmana maupun petapa. Asoka sebelum menggantikan mahkota kerajaan diberitakan mengikuti jejak ayahnya, namun hal itu ditinggalkannya setelah menganut agama Budha.[54]
Setelah meyaksikan penghancuran kehidupan serta penderitaan yang tak terperikan dalam perang Kalinga pada tahun ke-8 pemerintahannya, asoka, karena pengaruh yang baik dari Sangha menjadi orang yang lain sama sekali. Dia menggantungkan pedangnya yang tidak pernah dicabutnya kembali dan memberitakan perhatian yang penuh pada kehidupan yang berdasarkan moral dan spiritual, yang disebut Dhamma-vijaya. Agama Budha mendapat perhatian penuh dari raja Asoka.[55]
B.  Masa Kekuasaan Raja Asoka
Raja Asoka melakukan reformasi dilingkungan kerajaan yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan (humanity). Dalam perluasan wilayah, cara-cara tradisional berdasrkan perang kemudian ditinggalkan dan digantikan dengan cara baru berdasarkan Dharma. Di bawah pemerintahannya raja Asoka lah agama Budha yang pada awalnya hanya dikenal disekitar daerah kelahirannya. Telah meluas dan berkembang dengan cepat ke seluruh wilayah kerajaan. Bahkan lebih jauh daripada itu, agama Budha diperkenalkan ke Negara-negara diluar wilayah kerajaan Maurya.[56]
C.  Kemunduran Budhisme di India
Suku Yanda atau Xiong Nu bergerak dari Amu Menuju keselatan. Mereka menguasai India Barat laut dan mendirikan kerajaan disana sekitar abad ke-5 yakni pada periode terakhir dinasti Gupta. Agama Budha di Barat laut mengalami kemunduran besar. Karena penyerbuan asing yang terus menerus dan keruntuhan dinasti Gupta secara keseluruhan, India tenggelam ke dalam keadaan terpecah belah kemudian seorang raja dari India timur menyerbu India Tengah. Agama Budha disana kembali mendapat pukulan berat. Belakangan raja Maukharis, Siladitya, mengalahkan musuhnya dan mempersatukan India Tengah. Lambat laun agama Budha hidup kembali. Akan tetapi setelah Siladitya meninggal, India Tengah sekali tenggelam ke dalam keadaan yang kacau balau. Kerajaan-kerajaan di berbagai tempat pada masa itu memeluk aliran Brahmana. Agama Budha pun lambat laun menyusut dan mundur. Hanya kerajaan Pala di daerah Timur yang masih memeluk agama Budha.[57]
III.    Agama Budha Di China
A.  Awal perkembangan agama Budha
Agama Budha berkembang ke Cina sekitar abad ke-2 sM melalui Asia Tengah serta mulai berpengaruh pada masa pemerintahan Kaisar Ming (58-75 M). sejak dinasti Han pengaruh agama Budha mulai menjadi perhatian dan persoalan. Kira-kira pada masa itulah Mo Tzu menyusun bukunya li-hou-lun (Menangkis Kekeliruan) sebagai apologia agama Budha.
Pada tahun 399 M seorang bhiku Cina yang bernama Fa-Hien bersama rombongannya terdiri dari 10 orang, melawat ke India untuk mempelajari agama Budha. Pada tahun413 M. ia pulang melalui jalan laut kemudian singgah di Sumatra dan jawa. Ia giat menyalin berbagai Sutra. Catatannya mengenai Budha terkenal hingga kini.[58]

1.              Aliran-aliran Agama Budha yang Terdapat di China
Agama Buddha di China juga melahirkan beberapa aliran besar dalam golongan Buddha Mahayana
a.       Aliran Chan atau Dyana
Aliran ini didirikan oleh Boddhidharma, asal India tetapi menetap di Cina antara 527-536 M. Boddhidharma dikenal sangat radikal terhadap kitab suci yang menjadi sumber ajaran Agama Buddha, dan bermaksud untuk kembali pada semangat ajaran Buddha yang asli sehingga aliran yang didirikannya sangat mengutamakan pada perenungan (kontemplasi) dan tidak banyak memberi tekanan pada teks-teks suci. Aliran ini berkembang pesat di Cina terutama pada masa Hui Neng (838-713 M.) karena mengaku mendapatkan ajarannya langsung dari Sakyamuni. Dalam perkembangannya kemudian, aliran ini masuk dan berkembang di Jepang menjadi aliran Zen dan berpengaruh dalam kehidupan keagamaan di Cina maupun Jepang sampai hari ini.[59]
b.      Aliran Vinaya
Aliran Vinaya, didirikan oleh Too Hsuan (595-667M), yang menekankan ajarannya pada pelaksanaan vinaya secara ketat. Menurut aliran ini, pengingkaran terhadap dunia dan kesusilaan merupakan kondisi kehidupan sang Buddha. Oleh karena itu aliran ini menekankan pada kehidupan mistik dan membiara. Aliran  Ching-tu atau tanah putih, yang didirikan oleh Hin Yuan dan T’an Lun. [60]
c.       Aliran Chen-yen
Chen-yen bermakna kata yang benar, aliran ini berpendirian bahwa alam semesta itu berisikan tiga misteri, yaitu: pikiran, bicara, buatan. Tiga misteri itu menyimpan kodrat-kodrat yang bersifat magis.[61]
2.      Kemunduran Agama Budha Di Cina
Pada tahun 845 agama Budha di Cina mengalami cobaan berat. Kaisar Wu Zong yang berkuasa mengeluarkan perintah untuk menghabisi agama Budha dengan pertimbangan ekonomi. Lebih dari 4.600 vihara dan 40.000 biara di wilayah kerajaan dihancurkan, dan lebih dari 260.500 bhiksu-bhiksuni dipaksa kembali ke kehidupan rumah tangga sementara lebih dari 150.000 dipaksa menjadi pekerja kerajaan. Demikian pula tidak dapat dibayangkan banyaknya karya-karya sutra dan sastra yang ditulis selama 6 dinasti ikut terbakar dan hancur.[62] Selain itu agama, agama Buddha di Cina sudah mencapai titik jenuhnya sehingga tidak lagi mampu memberikan semangat baru untuk mengembangkan kretivitasnya sendiri. Di samping itu, dalam agama Buddha sendiri muncul kecendrungan ke arah bentuk-bentuk keagamaan yang lebih bersumber ke Cina dari pada India sehingga keasliannya menjadi banyak berkurang.[63]

Daftar Pustaka
Ali, Mukti. Agama Agama di Dunia. Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.  1998.

“Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha” . Jakarta : CV. Dewi Kayana Abadi. 2003

Chu, zhao, Pu. “Tanya Jawab Mengenai Agama Budha”. pustaka kayanika ke-124 maret 2007








AGAMA BUDHA DI KOREA, JEPANG DAN THAILAND

I.          PENDAHULUAN
Negeri Korea mulai mengenal agama Bidha pada awal abad ke-4 M. pada masa itu semenanjung Korea terbagi dalam tiga wilayah, masing-masing Koguryu (di Utara), Pakche (barat daya), dan Silla (Tenggara). Sejarah agama Budha ditiga wilayah tersebut tidaklah sama.
Dan mengenai Agama Buddha masuk ke Thailand itu diperkirakan sekitar abad ke-3 S.M. ketika Raja Asoka mengirimkan dua orang Bhikku ke sana yang diterima oleh suku Mosn yang mendiami kota Burma dan Thailand. Sampai  abad ke-7 corak agama budha itu masih berkembang di Thailand yang dipengaruhi oleh aliran Theravada, kemudian pada abad ke-8 yang awalnya dari aliran Theravada menjadi aliran Mahayana, Terutama yang berasal dari kerajaan Sriwijaya, mulai kelihatan bersamaan dengan masuknya unsure-unsur agama Hindu di Thailand Timur.
Pada permulaan abad ke-13, terjadi penyebaran agama Buddha yang kedua kalinya, dimana perkembangan yang kedua ini masuk ke wilayah Burma,Thailand,Kamboja dan Tibet.[64]
II.       AGAMA BUDHA DI KOREA
A.  Sejarah awal perkembangan agama Budha di Korea
Agama Budha untuk pertama kali dibawa ke Koguryu oleh seorang bhiksu bangsa Cina pada tahun 372. Dua belas tahun kemudian agama Budha baru tiba di Pakche dan diperkenalkan oleh bhiksu Marananda dari Asia Tengah. Sedangkan Silla adalah wilayah yang terakhir yang mengenal agama Budha, yakni sekitar 30 tahun setelah agama Budha diperkenalkna di Koguryu.
Peranan Korea dalam sejarah agama Budha terletak pada kedudukannya sebagai jembatan penyebrangan agama Budha dari Cina ke Jepang. Meskipun agama Budha disemenanjung Korea diterima oleh raja-raja setempat , namun sejarah tidak mencatat kemajuan dari ajaran agama Budha.[65]
Zaman keemasan agama Budha di korea terjadi pada masa pemerintahan dinasti Wang (abad ke-11). Sebelum itu agama Budha banyak terpengaruh oleh dinasti Silla dan banyak bhiksu-bhiksu yang belajar ke Cina.[66]
B.  Kemunduran Agama Budha Di Korea
Ketika kekuasaan dinsti Wang atas semenanjung Korea diambil alih oleh dinasti yuan dari kmeaharajaan Mongol, maka agama Budha di korea banyak dipengaruhi oleh lamaisme (Tibet). Setelah dinasti Yuan dikalahkan oleh dinsti Rhee dari Choseen, Korea, maka dinasti ini menerima ajaran Konghuchu dan membenamkan agama Budha, meski terdapat pergantian penguasa di semenanjung Korea, agama Budha tetap bertahan kerana telah merakyat. Agama Budha di Korea pada zaman modern di Korea, sesungguhnya adalah agama Budha zen dengan tetap mempercayai Budha Amithaba dan Bhodisatwa Maitreya.
C.  Kebangkitan Agama Budha di Korea
Dengan runtuhnya Dinasti Yi, Korea berada di bawah kendali Jepang. Orang Jepang yang datang ke Korea memperkenalkan bentuk mereka sendiri tentang Buddhisme, Dari periode ini dan seterusnya, ada kebangkitan agama Buddha di Korea. Banyak umat Buddha di Korea sejak itu aktif terlibat dalam mempromosikan kegiatan pendidikan dan misionaris. Mereka telah mendirikan universitas, mendirikan sekolah-sekolah di berbagai belahan Korea dan mendirikan kelompok dan organisasi pemuda awam. Teks Buddhis, asal dalam terjemahan bahasa China, sekarang sedang diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Korea modern. Biara-biara baru sedang dibangun dan yang lama diperbaiki. Hari ini, Buddhisme lagi memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat.[67]
III.    AGAMA BUDDHA DI THAILAND
Agama Buddha masuk ke Thailand sekitar abad ke-3 S.M. ketika Raja Asoka mengirimkan dua orang Bhikku ke sana yang diterima oleh suku Mosn yang mendiami kota Burma dan Thailand. Sampai  abad ke-7 corak agama budha itu masih berkembang di Thailand yang dipengaruhi oleh aliran Theravada, kemudian pada abad ke-8 yang awalnya dari aliran Theravada menjadi aliran Mahayana, Terutama yang berasal dari kerajaan Sriwijaya, mulai kelihatan bersamaan dengan masuknya unsure-unsur agama Hindu di Thailand Timur.
Pada permulaan abad ke-13, terjadi penyebaran agama Buddha yang kedua kalinya, dimana perkembangan yang kedua ini masuk ke wilayah Burma,Thailand,Kamboja dan Tibet. Sejak saat itu agama Buddha berkembang dengan pesat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.[68]
Raja-raja Thailand itu menggunakan gelar “Rama” dan memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan agama Budha, lebih dari itu, hubungan antara raja dengan sangha juga sangat baik.Dimana Raja sebagai pengawas dan pelindung dari sangha.pada masa raja  Rama I, Kitab Tripitaka berhasil dituliskan pada daun palma. Ia mengumumkan kepada rakyat Thailand  agar membersihkan sangha dari anggota-anggota yang tidak berguna, memurnikan praktek kewiharaan dan meningkatkan studi dan meditasi, dirintisnya pula tradisi bagi raja-raja Thailand untuk menjadi anggota sangha beberapa lama sebelum menjadi raja Rama ke-IV, yang tersebut Mongkrut, terkenal dalam pembaharuan pemikiran keagamaan. Ia mengadakan reformasi dan penafsiran kembali ide-ide Buddha menurut pemikiran  Barat yang berkembang  pada waktu itu. Salah satu usaha pembaharuannya adalah membentuk aliran sangha yang dikenal dengan Dharmayutika yang menekankan bahwa ajaran agama Buddha tidak bertentangan  dengan ilmu pengetahuan modern. Sebagai mantan bhikku, ia berhasil meningkatkan kehidupan sangha telah kehilangan gairah dan membersihkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan ideasli agama Buddha.[69]

IV.    AGAMA BUDHA DI JEPANG
A.  Perkembangan awal agama Budha di Jepang
Agama Budha di Jepang diperkenalkan melalui Kudara di Pakche, salah satu kerajaan di Korea pada tahun 522 dan oleh penguasa politik pada masa itu dimaksudkan  sebagai perlindungan bagi Negara. Agama baru ini diterima oleh dinasti Soga yang berkuasa. Untuk memahami agama Budha di Jepang maka dikelompokan tiga periode:
1.             Periode kedatangan abad ke 6-7, mencakup periode asuka dan nara
2.             Peroide nasionalisasi abad 9-14, mencakup periode Heian dan Kamakura
3.             Periode lanjutan abad 15-20, mencakup periode Muromachi. Momoyama dan Edo serta jaman modern.
Pada periode kedatangan, manifestasi agama Budha adalah penyesuaian terhadap kepercayaan asli bangsa Jepang yakni agama Shinto para bhiksu harus dapat melaksanakan upacara keagamaan bersama dengan upacara pemujaan nenek moyang. Secara bertahap agama Budha mampu bertahan dan berekmbang di antara rakyat banyak tanpa menyisihkan agama Shinto. Beberapa penguasa di jepang seperti pangeran shotoku dapat menerima agama Budha,  ia banyak berperan dalam agama Budha diantaranya mendirikana vihara Horyuji dan menulis banyak komentar tentang ketiga kitab agama Budha.
Dimasa kekuasaan dinasti Heian pada yahun (794-1185 M.) muncul usaha-usaha untuk memadukan kepercayaan dan tradisi Jepang  dengan agama Buddha, antaralain melalui ajaran Saicho dan kukai. Yang pertama, yaitu Saichoyang kemudian terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi, mengajarkan bahwa sebenarnya dewa-dewa agama Buddha adalah sama dengan dewa-dewa dalam agama Shinto, yang disebut Kammi, sementara Kukai, yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Kobo Daishi, yang mengajarkan bahwa dewa tertinngi dalam agama Shinto adalah sama dengan dewa tertinngi dalam agama Buddha sehinnga tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap Buddha dengan pemujaan terhadap agama Shinto.[70]
B.  Aliran-Aliran yang terdapat di Jepang
1.             Aliran Zen
Aliran Ch’an atau Zen masuk ke Jepang kira-kira tahun 1200, ada yang mengatakan kira-kira abad ke-6 M. aliran ini mempunyai jalur asal muasal dari ajaran Boddhidarma di Cina, Aliran ini terbagi menjadi dua golongan besar yaitu: Soto Zen, dengan tokohnya yang bernama Dogen( (19 January 1200 - 22 September 1253) yang merupakan seorang guru Zen termasyur di Jepang. Tokoh ini pernah lama belajar dan memperdalam ilmunya di negeri China.[71]
2.             Aliran amida
Aliran ini (Amida atau Tanah Suci) mengengemukakan suatu ajaran keselamatan yang dalam istilah-istilah sederna, yaitu: percaya kepada Buddha secara mutlak. dan dengan menyebut Amida orang akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak pengikut di kalanagan petani dan menjadi agama messianic pada saat terjadi kemelut social.Dan objek pemujaan aliran ini adalah patung Amida Buddha, yang dilengkapi dengan patung bodhisatwa Kwan On yang melambangkan kemurahan dan pating Daiseishi sebagai lambing lambing kebijaksanaan.[72]
3.      Aliran Nichiren Soshu
A.    Riwayat Nichiren
Pada Abad ke-13, agama Buddha di jepang menghasilkan seorang pembaharu yakni Bhiksu Nichiren (1222-1282).[73] Beliau anak dari keluarga nelayan yang miskin, tinggal di desa kecil Kominato, Tojo daerah Nagasa propinsi Awa.[74] Ia dilahirkan pada 16 Februari 1222 dengan nama Nichiro atau sumber lain mengatakan Zennichiro atau Zennichi maro. Ia mulai pendidikan kebuddhaan pada usia 11 tahun dengan bantuan seorang wanita bangsawan yang dekat dengan keluarganya. Ia belajar di Kuil Kiyosumidera sebuah pusat pendidikan terbesar di daerah itu. Akan tetapi, Nichiren muda yang ketika itu diberi nama pendeta Rencho, merasa kuil tersebut tidak mampu memenuhi dahaganya terhadap ilmu pengetahuan. Ia melanjutkan pendidikannya di Kuil Hachimanguji di pusat wilayah de facto Jepang, Kamakura. Kuil tersebut merupakan pusat pendidikan sekte Tendai di Jepang.[75]
hanya 4 bulan ia belajr di sini. Kemudian ia kembali lagi ke Kiyosumidera. Selanjutnya ia pergi ke kuil Enryakuji yang terletak diatas Gunung Hiei, tempat ini dianggap pusat terpenting ilmu pengetahuan Buddhism Jepang pada waktu itu. Slama 12 tahun ia belajar di sini.

B.     Ajaran Dan Tokohnya
Pada tahun 1253, Nichiren kembali ke kuilnya Kiyosumidera. Beliau dalam usia 30 tahun menyatakan hasil dari pelajarannya dan pengalaman keagamaannya dengan keyakinannya bahwa “Sutra Terarai” (Saddharma Pundarika Sutra Hokkekyo) dan mantra “Nam-Myoho-renge-kyo” merupakan inti dari sutra Teratai.[76]
Makna mantra Namu-Myoho-Renge-Kyo[77]. Mantra dari aliran Nichiren ini adalah Namu-Myoho-Renge-Kyo yang Maknanya adalah:
Namu or Nam: Nam merupakan kependekan dari Namu yang digunakan oleh beberapa aliran Buddhisme lainnya. Namu berarti kesetiaan. Pada beberapa momen dalam kehidupan; kita semua ‘mengarah’ pada satu jalan tertentu. Ketika kita melafalkan Namu myoho renge kyo, kita memfokuskan pikiran kita pada Kebuddhaan dalam kehidupan.
Myoho: Myo merujuk pada aspek spiritual dalam kehidupan; sementara Ho merujuk pada aspek fisikal atau material dalam kehidupan. Mengombinasikan keduanya menjadi satu kata merepresentasikan interpenetrasi dari keduanya; aspek spiritual dan fisikal saling menyatu. Myo juga berarti kehidupan sementara ho kematian; lagi-lagi keduanya adalah dua hal yang merepresentasikan interpenetrasi dari kehidupan dan kematian.  Myo adalah nama yang diberikan kepada alam mistis kehidupan, dan ho adalah untuk manifestasi-manifestasinya. “
Renge: secara literal, Renge berarti bunga teratai (lotus flower), yang menyimbolkan keagungan Hukum ini. Karena teratai memproduksi biji dan bunganya pada saat yang bersamaan, renge merepresentasikan keseiringan antara sebab dan akibat. Ketika kita melakukan sebuah sebab, akibatnya telah nampak jauh di dalam kehidupan kita.
Sangat signifikan bahwa Myoho dan Renge dikombinasikan dalam satu frase. Myoho merujuk pada hubungan spiritual dan fisikal, mengingatkan kita bahwa sebab terdalam yang dapat kita buat adalah pada level spirit (ruh); dan realitas fisik muncul dari spirit. Perubahan pada diri spiritual kita menghasilkan perubahan pada apa yang kita lakukan, kata-kata kita, dan tindakan-tindakan kita; yang menyebabkan perubahan pada alam sekitar kita.
Kyo: berarti ajaran atau sutra. Juga bisa berarti suara, vibrasi atau ritme; karena sebuah sutra merupakan suatu suara yang teremanasi dari Buddha. Kuncinya bukan pada gurunya, tetapi pada ajarannya. Kita tidak menyembah orang, Sang Buddha. Kita memuja ajaran-ajarannya yang benar, karena ajaran-ajaran tersebut mengantarkan kita pada pencerahan. Ajaran yang kita rujuk adalah jantung atau maksud dari Lotus Sutra, pencerahan abadi yang melekat dalam kehidpuan, yang merupakan jalan menuju pencerahan bagi setiap manusia.
Kyo merupakan instruksi yang diajarkan antara Buddha dan yang lainnya. Ini merupakan sebuah jalan untuk menemukan Kebuddhaan kita sendiri dan kebuddhaan bagi masing-masing orang. Ajaran-ajaran kyo merupakan sumbernya, maknyanya, pintu masuknya, dan pintu bagi semua orang untuk membuka kondisi tercerahkan dari Kebuddhaan dalam diri mereka sendiri. Ini merupakan ajaran yang tidak memisahkan antara dunia spiritual dan dunia fenomenal (dunia nyata) dimana kita hidup. Ini menjelaskan bahwa bunyi dasar dari suara kita tidaklah terpisahkan dari spiritualitas dalam diri kita. Hidup kita tidak terpisahkan oleh ruang dan waktu dari keberadaan spiritual kita.
Kyo lagi-lagi merujuk pada interpenetrasi antara spiritual dan fisikal. Ajaran dari Sang Buddha sendiri. Namu myoho renge kyo merupakan kata-kata Seorang Buddha. Frase tersebut mengajarkan pada kita sifat Kebuddhaan alami dan mengajak kita untuk menuju alam Kebuddhaan kita sendiri. karena itu, setiap kali kita membacakan Namu-myoho-renge-kyo, kita telah menciptakan gelombang suara Buddha.[78]
Dalam sekte Nichiren ada dua kelompok yang besar, yaitu :
1.      Nichiren Shu, dan
2.      Nichiren Soshu[79]
Salah satu konsep terpenting dalam Ajaran Agama Buddha adalah konsep Tri Ratna atau Tiga Pusaka Agung dari Agama Buddha yakni:
1.      Buddha,
2.      Dharma (hukum atau doktrin yang diikuti sekte), dan
3.      Sangha (para Bhiksu, biarawati dan pengikut di lingkungan Buddha).
Ketiga elemen dasar ini adalah hal mendasar dari semua sekte Agama Buddha di semua negara, tetapi bisa berbeda dari sekte atau garis keturunan. Sekarang mari melihat bagaimana mereka berbeda dari Nichiren Shu dan dua dari aliran Shoretsu yakni Nichiren Shoshu dan agama baru dari Soka Gakkai.
1.              Nichiren Shu:
         Buddha: Buddha Sakyamuni Yang Abadi
         Dharma: Namu Myoho Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
         Sangha: Nichiren Shonin (memimpin semua Bhiksu, biarawati dan pengikutnya)

2.             Nichiren Shoshu:
Buddha: Nichiren Shonin
Dharma: Namu Myoho Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
Sangha: Nikko Shonin dan Bhiksu Tertinggi turun temurun dari Kuil Taisekiji

3.             Soka Gakkai (2 tipe):
a.        Doktrin dalam teori yang resmi:
Buddha: Nichiren Shonin
Dharma: Namu Myoho Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
Sangha: Nikko Shonin
b.        Kenyataan yang diteliti dan diajarkan:
Buddha: Presiden Ikeda
Dharma: Ajaran dan tulisan dari Presiden Soka Gakkai
Sangha: Organisasi dari Soka Gakkai dan semua anggotanya[80]

C.       Sejarah NSI di Indonesia
Agama Buddha Nichiren Shoshu pertama-tama masuk ke Indonesia pada tahun 1950-an. Tahun 1964 dibentuk wadah bagi umat Nichiren Shoshu di Indonesia yaitu NSI (Nichiren Shoshu Indonesia). Organisasi umat Buddha Nichiren Shoshu Indonesia pertama-tama berupa yayasan yaitu Yayasan Buddhist Nichiren Shoshu.
Berkembang mula-mula di Jakarta. Sejak kepemimpinan Senosoenoto, agama Buddha Nichiren Shoshu berkembang luas hingga ke desa-desa. Hingga tahun 2005 ini umatnya telah tersebar di berbagai pelosok Indonesia.
Senosoenoto juga ikut mempelopori berdirinya wadah umat Buddha di Indonesia, WALUBI. Beliau menjadi Sekretaris Jenderal WALUBI pada tahun 1977 (saat itu masih bernama MABI ; Majelis Agama Buddha Indonesia) dengan Ketua Umum Brigjen TNI (purn) Soemantri.
Sepeninggalan almarhum Senosoenoto, umat Buddha Nichiren Shoshu di Indonesia berada dalam wadah tunggal Yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia (YPSBDI), yang diketuai oleh Pandita Aiko Senosoenoto.[81]














DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama-agama di dunia. Yogyakarta :IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
Perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sejarah Perkemangan Agama Buddha.  Jakarta : Dewi karyana Abadi, 2013

Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana. Palembang : Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. 1995

Dikutip dari Makalah Fathimah Albatul, Perbandingan Agama semster IV
Dari http://www.nbba.tv “NamuMyohoRengeKyo” Penulistidakdiketahui; diaksespada 20 Mei  2013
Ebook Buddhism  in east Asia

“MATERI KULIAH SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDHA”. CV.
Dewi Kayana Abadi- Jakarta. 2003.















ALIRAN HINAYANA DAN MAHAYANA

I.          PENDAHULUAN
          Agama Buddha pernah mengalami masa keemasannya di Bumi Nusantara pada masa keprabuan Sriwijaya di Sumatera, kerajaan kuno Mataram dan Majapahit di Jawa. Pada masa itu, terdapat Perguruan Tinggi Agama Buddha (Mahayana) yang mempunyai nilai internasional, yakni di Sumatra dan Jawa. Dalam sejarah tercatat beberapa sarjana dari negeri Tiongkok dan India datang belajar bahasa Sansekerta, filsafat dan logika Agama Buddha Mahayana. Mereka yang belajar kesini adalah; I-Tsing (634-713) dua kali ke Sriwijaya dengan 41 bhiksu yng mahasiswa, Hui-Ning (antara tahun 664-667) berguru kepada Janabhadra seorang maha guru Buddhism di Jawa, Atisa (982-1054) dari India datang ke Palembang belajar logika dan filsafat Agama Buddha Mahayana. Tercatat yang ada pada waktu itu para bhiksu dan sarjana maupun mahasiswa dari negeri China yang datang ke bumi Nusantara untuk belajar Agama Buddha Mahayana, tidak ada dari bumi Nusantara yang datang ke Tiongkok untuk belajar. I-Tsing menyalin dan menterjemahkan banyak kitab-kitab suci penting Agama Buddha Mahayana dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Menurut memoir dari I-Tsing, apa yang terdapat di Sriwijaya seperi tata-upacara keagamaan adalah sama seperti India, dan diperkenalkan dia ke Tiongkok melalui buku-buku terjemahannya yang dikumpulkan selama dua kali berada di Sriwijaya - Palembang[82].

III.      DUA ALIRAN BESAR DALAM AGAMA BUDDHA
Di dalam Agama Buddha terdapatlah dua aliran besar yaitu Aliran Selatan/Hinayana / Theravada dan Aliran Utara / Mahayana.

1.              ALIRAN HINAYANA
Hinayana adalah ajaran-ajaran asli dari Buddha Gautama dan kitab sucinya ialah Tipitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhidamma Pitaka.
Di dalam aliran Hinayana tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yag menganut aliran ini masih mempertahankan kesederhanaannya seperti dahulu di waktu Sang Guru sendiri masih hidup pada 25 abad yang silam.
 Prinsip-prinsip pandangan dari ajarana Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Buddha dan menjaga ajaran Buddha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh karenanya dipandang orthodox. Pengikut-pengikutnya juga tidak begitu meluas sebagaimana aliran Mahayana. Kata Hinayana sendiri telah menunjukkan isi dan cita-cita yang terkandung didalamnya yaitu berarti kendaraan kecil. Maksudnya bahwa aliran ini tidak dapat menampung banyak orang untuk memperoleh kebahagiaan nirwana, karena dalam prinsip pandangannya menyatakan bahwa setiap orang bergantung pada usahanya sendiri dalam mencapai kebahagiaan abadi dengan tanpa adanya penolong dari dewa ataupun manusia Buddha. Aliran ini disebut juga “Theravada” yang lebih jelas menggambarkan pendirian aliran tersebut, karena Theravada berarti “jalan orang-orang tua” [83]
Penganut-penganut Hinayana menitikberatkan meditasi untuk mencapai peneranga sempurna sebagai jalan yang terpendek untuk menyelami Dhamma dan mencapai pembebasan, Nibbana. Kita hanya mengenal Dhamma dan Nibbana sebagai jalan dan tujuan dari hidup kita ini, sedang yang lain-lain itu tidak menjadi kebutuhan pokok.[84].
A.           Ajaran Hinayana
Pokok-pokok ajaran Mahayana secara ringkas mengajarkan:
1.         Manusia di pandang sebagai seorang Idividual dalam usahanya.
2.         Tergantung kepada dirinya sendiri usaha kebebasan dalam alam ini
3.         Sebagai kunci keutamaan manusia ialah kebijaksanaan
4.         Agama sepenuhnya adalah tugas kewajiban yang harus dijalankan terutama oleh kaum pendeta.
5.         Tipe ideal dalam hinayana ialah Arahat
6.         Budha dipandang sebagai orang suci
7.         Membatasi pengucapan doa pada meditasi
8.         Meninggalkan atau menolak hal-hal yang bersifat metafisis
9.         Meninggalkan atau menolak ritus dan ritual (upacara-upacara agama.
10.     Bersikap konserpatif (kolot), karna ingin bertahan pada yang lama
11.     Tidak mengenal dewa-dewa lokapala (dewa agin) ataupun dewa-dewa trimurti
12.     Tidak mengenal Briyoga atau Tantra (mantra-mantra)[85]





2.              ALIRAN MAHAYANA
Aliram Mahayana, yaitu aliran Hinayana yang diperbaharui dengan diberi pelajaran-pelajaran ekstra yang dipelopori oleh Buddhaghosa atau Asvaghosa.
Aliran Buddhisme ini disebut dengan Mahayana karena dapat menampung sebanyak-banyaknya orang yang ingin masuk Nirwana, hingga diumpamakan sebagai sebuah “kereta besar” yang memuat penumpang banyak (arti kata Mahayana adalah kereta/kendaraan besar).
Berbeda dengan Hinayana yang mempertahankan kemurnian ajaran Buddha yang tidak mengalami perpecahan dalam aliran-aliran, sebaliknya dalam Mahayana terjadi perpecahan dalam banyak aliran. Makin banyak kebebasan berfikir dalam agama diberikan, makin besar kecenderungan untuk berpecah belah dalam bentuk aliran-aliran (sekte-sekte)[86].
Buddha Mahayana memandang diri dia sendiri sebagai bagian dari tradisi Buddha saat ini dengan mengembangkan Buddha surge dan Bodhisatva yang berfungsi sebagai dewa untuk membimbing para pengikutnya menuju jalan keselamatan. Ketika penganut agama Buddha Mahayana melakukan meditasi atau bersemedi, dia membayangkan bahwa Bodhisatva duduk bersamanya dalam meditasi tersebut. Pada saat inilah dia dapat mengkonsentrasikan dirinya dalam melaksanakan meditasi. Konsentrasi dalam meditasi sangat penting, dan tanpa itu biasanya tujuan meditasi tidak akan terwujud denga baik.

a.       Ajaran Mahayana
Pokok-pokok ajaran Mahayana secara ringkas mengajarkan:
1.                  Seseorang dalam mencapai Nirwana tidak egoistismementingkan dirinya sendiri akan tetapi dapat saling membantu.
2.                  Kunci keutamaan ialah kasih sayang yang disebut “karuna”
3.                  Pencapaian tertinggi adalah Bodhisatva (orang yang telah mencapai ilham sehingga terjamin untuk masuk Nirwana).
4.                  Buddha dipandang sebagai juru selamat mausia.
5.                  Ajarannya bersifat liberal[87].
Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran Mahayana adalah Bodhisatva dan Sunyata karena kedua kata itu hamper terdapat pada tiap halaman tulisan-tulisan Mahayana.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muhammad. Menguak Misteri Ajaran agama-Agama Besar. Golden Trayon Press. Jakarta: 1986
T, Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddhayana Indonesia. Jakarta: 1995
Majelis Buddhayana Indonesia.  Kebahagiaan Dalam Dhamma.  Depok: Bromo FC.  1980.





TANTRAYANA, VAJRAYANA DAN MANTRAYANA

A.           ALIRAN TANTRAYANA
Fase ketiga dari perkembangan Agama Budha ialah Tantrayana (setelah Hinaya dan Mahayana), dan merupakan fase yang paling penting Agama Budha di India. Fase ini mulai sekitar tahun 500 M. Dan berakhir sampai tahun 1.000 M. Yang paling menarik dalam fase ini adalah cosmical-soteriological (yang berhubungan dengan keselamatan). [88] Sifat dasar dominan dari Tantrayana adalah occultism (kegaiban). Penekanan utama adalah penyesuan yang harmonis dengan cosmos dan pencapaian penerangan dengan mantra atau metode gaib. Bahasanya adalah kebanyakan Sansekerta atau Apabhramsa.
Istilah Tantra secara etimologis berarti ‘menenun’ atau “alat tenun”, adalah istilah yang dipergunakan untuk mengacu pada praktek-praktek esoterik (rahasia; tersembunyi) yang bertujuan membangkitkan sifat-sifat ke-Tuhan-an dalam diri seseorang guna mencapai kesempurnaan, disamping juga untuk mengacu pada kitab-kitab suci atau sutra-sutra yang menguraikan ajaran-ajaran atau doktrin yang demikian.[89]
Tantra membawakan peranan penting dalam sejarah Mahayana, karena ia membangkitkansuatu penekanan baru pada metode intuisi dan Esoterik bersama dengan perkembangan konsepsi ke-Tuhan-an dan tata upacara. Di dalam satu atau lain cara Tantra menyentuhhampir setiap sekte Agama Buddha Mahayana yang berikutnya, menjadi inspirasi dalam perkembangan tata peribadatan dan seni Buddist. Jika kita ingin mencari dasar logis mengenai sejarah asal mula Tantra Buddist, maka yang paling bijaksana adalah memulainya dengan tradisi mantra, bagian integral (kelengkapan) dari keyakinan Tantra. Adalah suatu kenyataan bahwa Tantra terdapat dalam Agama Buddha dan Agama Hindu.
Aliran Tantra Buddhist disebut juga Esoterik ( = Guhya Upadesa ) yang berarti secara rahasia, tersembunyi dan mistik, sedangkan aliranBuddhist lainnya disebut Exoterik ( = Vyakta Upadesa ) yang berarti sesuatu yang terbuka atau terlihat. Bagi aliran Exoterik pelajarannya didasarkan pada Tripitaka dan untuk mencapai ke-Buddha-an adalah secara berangsur-angsur dan bertingkat. Bagi aliran Esoterik pencapaian ke-Buddha-an hanya dalam sekejap, melakukan upacara atau ritual (Vidhi) merupakan peranan yang penting. Adalah tidak mudah untuk dapat mengerti ajaran Tantra Buddist dikarenakan begitu rumit dan kompleks dalam perkembangannya. Oleh karenanya, seorang guru yang ahli harus ada untuk membimbing calon siswa tersebut. Dikatakan bahwa setelah mengerti ajaran Exoterik dengan cukup barulah dapat mengerti ajaran Esoterik secara baik.[90]
B.          Aliran Mantrayana
Mantrayana dimulia pada abad ke-4 dan mendapat momentumnya setelah abad ke-5. Apa yang telah dilakukannya telah memperkaya Buddism dengan perlengkapan tradisi gaib. Mempergunakannya untuk tujuan kemudahan pencarian bagi pencerahan atau penerangan. Di dalam, cara ini, banyak ‘mantra, mudra, mandala, dan dewa, ke-Tuhan-an, secara tidak sistematis diperkenalkan kedalam Buddhism, ini adalah setelah tahun 750, diikuti oleh suatu sistematis yang dinamakan Vajrayana, yang menyerasikan semua ajaran sebelumnya dengan satu kelompok mengenai Panca-Tathagata ( Panca Dhayani Buddha ). Dalam kurun waktu itu, arah dan system yang lebih lanjut membuat penampilan mereka. Perlu dicatat bahwa diantara mereka adalah Sahajayana, yang mana seperti sekte Ch’an ( Zen ) di Tiongko, lebih menekankan kepada latihan meditasi dan pengolahan intuisi, diajarkan secara berbelit-belit, paradoksikal ( perlawanan asas ) dan kesan konkrit, dan menghindari nasib dari kembali kedalam suatu persektean sama sekali mengenai tidak ada ajaran yang ditegaskan secara kaku. Menuju pada akhir periode ini, dalam abad ke-10, kita mempunyai Kalacakrayan ( Roda ‘waktu’, yang ditandai oleh tingkat penyatuan aliran ) dan oleh penekanannya pada astrology.[91]Pokok-pokok ajaran Mantrayana dapat ditemui pada karya karya Padma-Dkarpo dari Tibet. Menurut beliau, tujuan dari Mantrayana adalah sama seperti apa yang dituju oleh aliran-aliran lainnya dalam agama Buddha, yakni kemanunggalan manusia dengan penerangan sempurna atau kesempurnaan secara spiritual.
C.          Aliran Vajrayana
Berasal dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya, serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Dalam Wajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Wajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.

Praktek Vajrayana tidak terlepas dari pengucapan n mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia. Ajaran Wajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.[92]

DAFTAR PUSTAKA
Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana.  1995

Majelis Buddhayana Indonesia.  Kebahagiaan Dalam Dhamma. Depok: Bromo FC, 1980

Suwarto T,BudhaDarma Mahayana. Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995

Antin,menguakMisteriAjaran Agama-Agama Besar. Jakarta : Golden Terayon Press. 1986

Suwarto T,BudhaDarma Mahayana.  Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia.  1995




[1]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, (Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma, 1992), Bag. 2, h. 38
[2] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 61
[3] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, h. 38
[4] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 39
[5]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 40
[6] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 67
[7]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h.69
[8]Djam’annuri, Agama Kita, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009), h. 70
[9] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.225
[10] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.59
[11] Harun Hadiwjono. Ibid. h. 74-75
[12] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. h.61
[13] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahaya.hal.63
[14] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. (Depok : Bromo fc).hal.272
[15] Mahathera, Narada. Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya.. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama. h. 112
[16] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana.h.63
[17]Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, (Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 112
[18]Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), h. 63
[19]. H.A Mukti Ali, Agama-agam Di Dunia, (Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Pres. 1998).hal. 114
[20]Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana.(Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 844
[21]Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), h. 63
[22]Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1983), h. 215
[23]Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[24]Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[25]Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, , h. 214
[26]Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112
[27]Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana h. 843
[28]Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana h. 844
[29]Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[30]Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[31]Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan Buddha, h. 64
[32]Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, (Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 113
[33] Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, (Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma, 1992), Bag. 2, h. 175
[34] Ibid, h. 195
[35] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. h.134
[36] Ibid
[37]PiyadassiThera. MeditasiBuddhis: JalanMenujuKetenangandanKebersihanBatin, (Surabaya: Paramita, 2005), h. 27
                [38] Upa. Sasanasena Seng Hansen. Ikhtisar Ajaran Buddha. (Yogyakarta : Vidyasena Production, 2008). h. 35
                [39] Ibid
[40]OktaDiputrha, Meditasi I, 2004.
[41]MahaNayakaSthavira A. Jinarakkhita. Meditasi II, h. 85
[42]Pancakkhandhaterdiriatas: rupa-khandha (kelompokjasmani), vedana-khandha (kelompokperasaan), sanna-khandha (kelompokpencerapan), sankhara-skandha (kelompokbentukpikiran), danvinnana-skandha (kelompokkesadaran). Sesungguhnya yang disebutdenganpancakhandhaituadalahmakhluk.
[43]MahaNayakaSthavira A. Jinarakkhita. Meditasi II, h. 109
[44] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 234
[45] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, (Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), h. 130
[46] Gillian Stokes, “ Seri siapa Dia? Budha”, (Erlangga, Jakarta, 2001) hal 45-48.
[47] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, h. 83
[48] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, h. 84
[49] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 131
[50]HilmanHadikusuma, Antropologi Agama  (Bandung: PT.CITRA ADITYA BAKTI,1993) hal.238-239
[51] Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, hal 133
[52] “Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha” (CV. Dewi Kayana Abadi- Jakarta-2003) h.18
[53] “Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha, h. 29
[54] Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha , h. 30
[55] “Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha, h.  30-31
[56]“Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha, h. 34-35
[57] Mr.zhao Pu Chu “Tanya Jawab Mengenai Agama Budha” (pustaka kayanika ke-124- maret-2007) h. 146-147
[58] “Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha, h. 74
[59] Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, h. 139
[60] Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, h.139-140
[61] Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha” 84
[62] Ibid 85
[63] [63] Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, h. 140
[64] Mukti Ali, Agama - Agama di dunia , h.139-140
[65] ”materi kuliah perekembangan sejarah agama Budha” (CV. Dewi Kayana Abadi- Jakarta- 2003) h. 105
[66] Ibid 105-106
[67]Ebook Buddhism  in east Asia
[68] Mukti Ali, Agama-Agama di dunia, h.142-143
[69] Mukti Ali ibid 140
[70] Mukti  Ali, Agama di dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press), h.142
[71] Suwarto, Buddha Darma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h.520
[72] Suwarto ibid 520
[73] Perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sejarah Perkemangan Agama Buddha, ( Jakarta : Dewi karyana Abadi, 2013), Hal. 109
[74] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang : Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), hal. 521
[75] Dikutip dari Makalah Fathimah Albatul, Perbandingan Agama semster IV
[76] Buddha Dharma mahayana.hal 521
[77] Dari http://www.nbba.tv “NamuMyohoRengeKyo” Penulistidakdiketahui; diaksespada 20 Mei  2013
[78]Dikutipdarihttp://www.nbba.tvartikelberjudul “NamuMyohoRengeKyo” penulistidakdiketahui, diaksespada 20 Mei 2013
[79] Sejarah perkembangan Agama Buddha.hal 109
[80] YM.Bhiksu Shoryo Tarabini, Perbedaan dan Persamaan Antara Nichiren Shu, Nichiren Shoshu  dan Soka Gakkai,hal.5-6
                [82]Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana, 1995), h. 833
                [83]M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.108
                [84]Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Depok: Bromo FC, 1980), h. 333
[85] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1,109
                [86] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, h.110
                [87] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, h.111
[88]Suwarto T,BudhaDarma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 119
[89]Antin,menguakMisteriAjaran Agama-Agama Besar, ( Jakarta : Golden Terayon Press, 1986 )
[90]Suwarto T,BudhaDarma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 120
[91]Ibid. hlm. 124
[92]Ibid. 129

0 komentar:

Posting Komentar