Rabu, 05 Juni 2013

Sejarah Hidup Buddha


Sejarah hidup buddha
Makalah ini dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Buddhisme

Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag

Disusun Oleh
Diana Puspasari    (1111032100046)



JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013

SEJARAH HIDUP BUDHA
1.    PENDAHULUAN
          Dalam alur sejarah agama-agama di dunia, zaman agama Budha dimulai semenjak tahun 500 S.M. secara historis agama tersebut mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya, namun mempunyai beberapa perbedaan dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu Agama Hindu. Sebagai agama, ajaran Budha tidak bertitik tolak dari Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia. Tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya tentang tata susila yang harus dijalani manusia agar terbebas dari lingkungan dukkha yang selalu mengiringi hidupnya.[1]
Perbedaan mendasar antara ajaran Buddha dengan ajaran agama-agama lainnya di dunia adalah bahwa ajaran Buddha bukan merupakan sebuah sistem kepercayaan (Belief system). Sistem kepercayaan selalu dilandasi oleh iman atau keyakinan mutlak seseorang terhadap agama yang dianutnya. Sebaliknya Buddha selalu mengajar dengan memegang prinsip Ehipassiko[2] yang dilandasi oleh pengalaman pribadi.[3]
Sebagai salah satu tempat berkembangnya peradaban dan kebudayaan dunia, India telah menjadi tanah suci bagi banyak orang untuk mendalami hakikat hidup. Terdapat 2 pandangan yang lazim di India sebelum masa Buddha Gautama, yaitu Brahmanisme dan Sramanaisme.[4]
Pandangan Brahmanisme merupakan paham yang diturunkan dari bangsa Arya. Menurut paham ini, roh dan jasmani adalah satu. Dengan demikian apabila roh dan jasmani merupakan satu kesatuan, maka setelah kehidupan saat ini tidak ada lagi kehidupan selanjutnya.[5]
Berbeda dari pandangan Brahmanisme, pandangan Sramanaisme yang diturunkan oleh bangsa Dravida menganggap bahwa roh dan jasmani bukanlah satu kesatuan. Dan karena roh tidak sama dengan jasmani, maka matinya badan jasmani tidak berarti matinya roh atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang kekal dan abadi dan apabila pada saatnya seseorang meninggal, rohnya akan tetap ada dan harus berupaya menyatu dengan keabadian itu sendiri. (karena matinya badan jasmani akan berarti matinya roh atau jiwa).[6]
Kedua pandangan ini ditolak oleh Buddha Gautama dan pada akhirnya Sang Buddha menawarkan sebuah jalan alternatif yang kemudian disebut sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan (the eightfold path) atau Jalan Tengah (the middle way). Bagi umat Buddha ajaran yang dibabarkan oleh Buddha Gautama lebih dilihat sebagai sebuah pedoman hidup (the way of life) dari pada sebatas agama. Mengapa? Karena apa yang ditawarkan oleh Buddha Gautama bukanlah sebuah sistem kepercayaan, melainkan sebuah pedoman yang sifatnya universal (dapat diterima oleh semua orang) agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan lebih berarti.

II.  RIWAYAT SIDHARTA GAUTAMA
A.  Kehidupan Sang Buddha
Menurut riwayat hidupnya, Gautama mula-mula beragama Hindu mengikuti orang tuanya. Untuk mencegah pengaruh kehidupan masyarakat yang mungkin dapat melemahkan kepercayaan/ keimanannya dalam agama, maka dia tidak di izinkan melihat kenyataan hidup di luar Istana. Dia mengalami pendidikan isolatif dari masyarakat luas di luar Istana. Untuk menentramkan kehidupannya dia senantiasa di kelilingi dengan kehidupan serba mewah yang khas istana yang penuh kenikmatan dan kelezatan. Tetapi siddharta (salah satu nama Buddha sebelum menerima ilham) mengalami kebosanan dan ketidakpuasan ditengah-tengah kemewahan dan kelezatan hidup istana tersebut.[7]

1.    Kelahiran Bodhisattva
Di Jambudvipa (sekarang India), dinegara Sakhya di india Utara bernama kerajaan Kapilavastu, terletak disungai Rapti (sungai Rohini), di daerah dekat pegunungan Himalaya, diperintah oleh seorang Raja bernama Suddhodana dengan permaisurinya Ratu Maya Dewi (Dewi Mahayama). Setelah duapuluh tahun perkawinan, mereka belum juga dikaruniai seorang putra.
Pada suatu malam, Ratu Maya Dewi bermimpi aneh sekali, dalam mimpi itu Ratu Maya Dewi melihat seekor gajah putih turun dari langit memiliki enam gading dan sekuntum bunga tertai dari mulutnya memasuki rahim Ratu Maya Dewi melalui tubuhnya sebelah kanan. Sejak mimpi itu akhirnya Ratu Maya mengandung. Dia mengandung seorang bodhisattva dalam kandungannya selama sepuluh bulan.[8]
Ratu memberitahukan impian ini kepada Raja dan Raja kemudian memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti impian tersebut. Para Brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha.[9]Selama ia mengandung bodhisattva banyak kejadian ajaib terjadi. Misalnya, dimana saja ia pergi di Kapilavastu selalu di dampingi suaminya yaitu raja Suddhodana, singa duduk dengan jinaknya di depan gerbang-gerbang, gajah-gajah menghormati Raja, burung-burung diangkasa sangat bersuka cita mengiringi mereka dan Ratu Maya Dewi mendadak dapat mengobati orang sakit, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian menakjubkan lainnya.
Ketika waktunya telah tiba untuk melahirkan, Ratu Maya pergi ke taman Lumbini dengan para dayangnya. Ratu juga meminta suaminya, Raja Suddhodana, ikut. Sudah tentu dipenuhi dengan segala senang hati. Juga para dewa yang tidak menampakkan diri ikut mendampinginya. Disaat bulan purnama sidhi (mennurut aliran Utara atau Mahayana, beliau lahir tanggal 8 bulan 4, lunar tahun 566 S.M., menurut aliran Selatan atau Hinayana, tanggal 6 May, tahun 623 S.M.), di Taman Lumbini ini (dekat perbatasan India-Nepal), Ratu Maya melahirkan seorang Bodhi-Sattva tanpa kesulitan dan para dayang yang mendampingi Ratu, menyaksikan dengan penuh kesenangan. Begitu pula Raja Suddhodana dan para dewa dan dewi yang mendampingi Ratu.
Saat ia dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu.[10] Sesaat ia dilahirkan, Bodisattva berjalan tujuh langkah diatas tujuh kuntum bunga ke arah utara,[11]dengan jari telunjuk tangan kanan menunjuk kelangit, dan jari telunjuk tangan kiri menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru para dewa dan manusia. para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air suci untuk memandikannya. Juga bersamaan waktu lahirnya, tumbuhlah pohon Bodhi.
Seisi alam menyambutnya dengan suka cita karena telah lahir seorang Bodhisattva yang pada nantinya dia akan menjadi pemimpin alam semesta, gurunya para dewa dan manusia, mencapai Samyak Sam Buddha untuk mengakhiri penderitaan manusia dialam samsara ini.[12]

2.      Upacara Pemberian Nama
Seorang petapa bernama Asita (yang juga disebut Kala Devala) sewaktu bermeditasi di pegunungan Himalaya, diberitahukan oleh para dewa dari alam Tavatimsa bahwa seorang bayi telah lahir yang kelak akan menjadi Buddha. Pada hari itu juga pertapa Asita berkunjung ke Istana Raja Suddhodana untuk melihat Bayi tersebut.
Setelah melihat sang bayi dan memperhatikan adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (orang besar ), petapa Asita memberi hormat kepada sang bayi yang kemudian diikuti juga oleh Raja  Suddhodana. Setelah memberi hormat Asita tertawa gembira tetapi kemudian lalu menangis.[13]
Petapa Asita tertawa karena pada suatu hari nanti pangeran akan mencapai kesempurnaan (Buddha), sempurna dalam kebijaksanaan maupun kewajiban, menjadi Guru para Dewa dan manusia. kemudian Asita menangis karena usianya yang telah lanjut dan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melihat dan mendengarkan pada saat pangeran mencapai kesempurnaan (Buddha) dan menjadi juru selamat dunia dengan mengajarkan Buddha Dharma. Kemudian dia berlutut dan menghormati kepada pangeran dan tanpa disadari di ikuti oleh Raja Suddhodana.[14]
Selanjutnya petapa Asita mengatakan, bahwa pangeran kecil itu kelak tidak boleh melihat empat peristiwa, yaitu:
1.                   Orang Tua
2.                   Oarang Sakit
3.                   Orang Mati
4.                   Pertapa Suci
Kalau pangeran itu melihat empat peristiwa tersebut, maka beliau segera akan meninggalkan istana dan bertapa untuk menjadi Buddha.
Lima hari setelah lahirnya bayi, Raja suddhodana memanggil sanak keluarganya berkumpul., bersama-sama dengan 108 orang Brahmana untuk merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama baik. Nama yang kemudian dipilih adalah Siddharta Gautama, Siddharta yang berarti “tercapailah segala cita-citanya” dan Gautama adalah nama keluarganya.[15]

3.      Wafatnya Ratu Maha Maya
  Pada hari ke tujuh setelah  melahiran pangeran Sidharta, Ratu Maha Maya wafat, dan adiknya Maha Pajapati Gotami yang juga Istri raja Suddhhodana menggantikan posisi Ratu Maha Maya sebagai Ratu sekaligus Ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Maha Pajapati Gotami melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri bernama Sundari Nanda (Rupananda). Maha Pajapati Gotami merawat pangeran Siddharta seperti merawat putranya sendiri pangeran Nanda. Pangeran Nanda sendiri lahir beberapa hari setelah pangeran Siddharta lahir. Setelah Ratu Maha Maya wafat ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Mayadevaputta (Santusita) di surga Tusita.[16]

4.      Masa Kecil, Masa Reamaja dan Pernikahan Pangeran
Pada suatu hari, Raja dan pangeran kecil disertai para pengasuh dan pembesar Istana berjalan pergi kesawah untuk merayakan perayaan membajak sawah. Pangeran diletakkan dibawah sebuah pohon besar yang rimbun. Kemudian para pengasuh pergi untuk melihat jalannya upacara. Sewaktu ditinggalkan seorang diri, pangeran kecil itu lalu duduk ber-Meditasi dalam keretanya, saat itu umurnya baru kira-kira lima Tahun.[17]
Setelah kembali mereka merasa heran sekali melihat pangeran sedang bermeditasi dengan duduk bersila. Dengan cepat mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja. Raja dengan diiringi para petani berbondog-bondong datang untuk  menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Benar saja mereka menemukan pangeran kecil sedang bermeditasi dengan kaki bersila dan ridak menghiraukan kehadiran orang-orang yang sedang memperhatikannya. karena pangeran pada saat itu telah mencapai Jhanna, yaitu suatu tingkatan pemusatan pikiran, maka sama sekali tidak terganggu oleh suara-suara yang berisik. Ada lagi satu keajaiban lain. Bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya matahari tetapi tetap memayungi pangeran kecil yang sedang bermeditasi.[18]Ayahnya yang melihat kejadian tersebut menjadi sngat gembir dan memberi hormat kepada putranya sambil berkata, “putraku yang tercinta, inilah hormatku yang kedua.”[19]
Setelah pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk menggali tiga kolam di halaman Istana. Di kolam itu ditanami berbagai jenis bunga teratai (lotus). Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna biru (Uppala), satu kolam dengan bunga yang berwarna merah (Paduma), satu kolam lagi dengan bunga yang berwarna putih (Pundarika).
Pelayan-pelyan diperintahkan untuk melindungi pangeran dengan sebuah payung yang indah kemanapun pangeran pergi, baik siang maupun malam hari sebagai lambang dari keagungannya.
Pada umur 12 tahun, pangeran sidharta telah menguasi berbagai ilmu pengetahuan, ilmu taktik perang, sejarah, dan pancavidya, yaitu: sabda (bahasa dan sastra); silpakarmasthana (ilmu dan matematika); cikitsa (ramuan obat-obatan); hatri (logoka); adhyatma (filsafat agama). Dia juga menguasai Catur Veda rgveda(lagu-lagu pujian keagamaan): yajurveda (pujian untuk upacara sembahyang); athavarveda(mantra).
Pangeran sidharta disamping pandai, juga seorang anak yang sopan dan baik budi pekerti, dan sayang pada binatang terutama binatang yang lemah.
Dia sangat pandai menunggang kuda dan gemar berburu. Bila kuda yang ditungganginya telah letih, dia turun dari kudanya dan membiarkannya untuk beristirahat dan mengusap-usap dengan penuh kasih sayang. Dia pergi berburu bukan untuk membunuh binatang tapi mengajak binatang hutan bermain dan berkejar-kejaran.
Suatu hari, pangeran sidharta melihat devadatta dan teman-temannya berburu burung dengan panah. Devadatta memanah seekor burung yang sedang berdiri di ranting pohon. Burung itu terkena panah Devadatta dan jatuh kebawah. Pangeran Sidharta cepat pergi menghampiri burung itu dan segera mengobatinya. Ia meminta kembali burung itu dari Sidharta karna ia merasa bahwa ia yang memanah burung itu dan harus menjadi miliknya. Tapi pangeran Sidharta mengatakan bahwa burung yang terpanah itu adalah miliknya. Terjadilah pertengkaran di antara mereka untuk memiliki burung itu.[20]
Akhirnya hal ini di bawa kepada seorang pejabat dewan penasehat kerajaan untuk diminta pendapatnya. Pejabat dewan kerajaan itu menjelaskan kepada mereka berdua, “ Hidup ini adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya. Hidup ini tidak mungkin menjadi milik dari orang yang mencoba menghancurkannya. Karena itu menurut norma-norma keadilan yang belaku maka secara sah burung itu harus menjadi milik orang yang ingin menyelamatkan jiwanya, yaitu pangeran Siddharta.[21] Kemudian pangeran Siddharta melepaskan burung itu ke alam bebas.
Sewaktu pangeran meningkat usianya menjadi 16 tahun, raja memerintahkan untuk membuat tiga buah istana yang besar dan indah, satu istana untuk musim dingin (Rama), satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana untuk musim Hujan (Subha).kemudian Raja mengirim undangan kepada para orang Tua yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, dimana pangeran akan memilih seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun para orang tua tersebut ternyata mengacuhknnya. Mereka mengatakan bahwa pangeran tidak paham kesenian dan ilmu peperangan, maka bagaimana ia kelak dapat memelihara dan melinduungi istrinya.
Ketika hal ini diberitahukan kepada Pangeran maka pangeran mohon kepada Raja agar segera mengadakan sayembara, dimana berbagai ilmu peperangan dipertandingkan. Dalam sayembara itu pangeran bertanding melawan pangeran-pabgeran lain yang datang dari segenap penjuru negara Sakya bahkan juga pangeran-pangeran dari negara-negara lain.
Semua pertandingan seperti naik kuda, menjinakkan kuda liar, mengggunakan pedang, memanah ternyata dimenangkan oleg Pangeran.  Dengan mendapatkan sambutan yang meriah dari para hadirin pangeran dinyatakan sebagai pemenang mutlak dari sayembara tersebut.
Dalam sebuah pesta besar yang kemudian diselenggarakan dan dihadiri oleh tidak kurang dari empat puluh ribu gadis cantik, pilihan pangeran jatuh kepada seorang gadis yang bernama Yasodhara yang masih ada ikatan keluarga dengan Pangeran karena ia adalah anak pamannya yang bernama Raja Suppaabuddha dari negara Devadaha dan bibinya Ratu Amita (adik Raja Suddhodana).
Setelah pangeran Siddharta menikah dengan putri Yasodhara maka kekuatiran Raja Suddhodana agak berkurang, sebab Raja selalu ingat kepada ramalan dari Petapa Asita bahwa pangeran kelak akan mennjadi Buddha.
Dengan pernikahan ini Raja berharap Pangeran akanlebih terikat kepada hal-hal duniawi. Sekarang tinggl menjaga supaya pangeran jangan melihat empat peristiwa tentang penghidupan, yaitu orang Tua , orang sakit, orang mati,dan petapa suci.[22]

5.              Melihat Empat Peristiwa
Pangeran tidak bahagia dengan cara hidup yang dianggap seperti orang tawanan dan terpisah sama sekali dari dunia luar. Pada suatu hari pangeran mengunjungi Ayahnya dan berkata “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan keluar istana untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan ku perintah”.
Karena permohonan ini wajar, maka Raja  emberikan izin. tetapi sebelumnya kata Raja, aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.[23]
Sekalipun sang raja sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang akan dilalui putranya itu harus dibersihkan dari segala hal yang tidak menyenangkan namun dalam perjalanan ituSiddharta melihat seorang yang sudah tua sekali. (menurut dongengnya orang ini adalah penjelmaan Dewa Brahma, yang dengan sengaja menampakkan hal itu, karena sekarang sudah waktunya Siddharta meninggalkan kemewahan). Pandangan ini mengejutkan Siddharta.[24]pangeran terkesan sekali, karena hal ini baru pertama kali dilihatnya.
“apakah itu Channa? Itu tidak mungkin seorang manusia. Mengapa ia bungkuk sekali? Mengapa ia gemetar sewaktu berjalan? Mengapa rambutnya putih dan bukan hitam seperti rambutku? Apa salahnya dengan matanya? Dan giginya  dikemanakan? Apakah ada orang yang terlahir seperti itu? Coba katakan O Channa yang baik. Apakah artinya semua ini?
Channa menerangkan kepada pangeran, bahwa itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“ Sewaktu masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua sekali maka keadaanya telah berubah seperti yang tuanku lihat. Sebaiknya tuanku lupakan saja orang tua itu. Setiap orang kalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti oarang tua itu, hal ini tidak dapat dielakkan.”[25]
Atas keterangan Channa ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti orang tua itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta kembali keistana.[26]
Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan pangeran meninggalkan istana.
Berselang beberapa hari pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavattu, tapi sekarang tanpa lebih dulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan berat hati Raja mengizinkan karena beliau tahu tidak ada gunanya melarang, sebab hal itu tentu akan membuat pangeran bersedih. Pada kesempatan ini pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak kelurga Bangsawan, karen ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Hari itu pemandangan kota berlainan sekali, tidak ada penduduk berkumpul untuk mengelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, tunggul-tunggul, bunga-bunnga dan penduduk yang berpakaian rapi. Tetapi pada hari itu pangeran dapat melihat penduduk yang sibuk bekerja.
Pangeran memperhatikan orang-orang kecil ini yang sderhana dan semua orang kehilatannya sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjanya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sdeang merintih-rintih dan berguling-guling ditanah dengan kedua tangannya memegang perutnya. Dimuka dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya mengap-mengap.
Untuk kedua kali dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang membuat beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya meletakkan kepalanya dipangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan: “mengapa engkau, engku mengapakah?” orang sakit itu sudah tidak adapat menjawab. Ia hanya menangis tersedu-sedu.
“ Channa, katakanlah mengapa orang ini? Apakah yang salah dengan nafasnya? Mengapa ia tidak bicara”?
“ O, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dn darahnya beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh bdannya terasa terbakar. Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“tetapi apakah ada orang lain yang seperti dia”? “Ada, dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali ditanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab sakit pes itu sangat meenular.”
“apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak”?
“betul Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.” Mendengar ini pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenungi hal ini.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembli memohon izin kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada kesempatan ini pangeran yang berpakaiaan sebagai anak seorang bangsawan dengan diiringi Channa berjalan-jalan kembli di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.
Diatas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan meletakkannya diatas tumpukan kayu yang kemudian di nayalakannya. Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun apai telah membakarnya dari semua sudut.
“Channa, apakah itu? Mengapa orang itu berbaring disana dan membiarkan orang lain membakar dirinya”?
Dia tidak tahu apa-apalagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”
“ Mati! Channa, Apakah itu yang dinamakan mati? Dan apakah semua orang pada suatu waktu akan mati’?
“ Betul, Tuanku, semua makhluk hidup pada suatu waktu harus mati. Tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya.”
Pangeran heran dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut “mati” itu yang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang dan dikamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.[27]
Pangeran Siddharta lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang telah dijumpainya selama berkunjung ke kota Kapilavatthu. Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah ia ketahui sekarang, ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihatnya.
Pangeran kemudian memohon kembali kepada ayahnya untuk diperkenankan untuk keluar istana lagi untuk berwisata ke taman Lumbini. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun Putranya itu. Ditemani oleh Chnna, pangeran menuju taman Lumbini. Setelah sampai ditaman Lumbini dan ketika pangeran tengaah duduk menikmati taman tersebut, tampak olehnya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeranpun bertanya kepada Channa, siapakah orang itu?  Channa menjawab, bahwa orang itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa petapa itu. Baginya petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itupun menjelaskan prihal dirinya.[28]
“ Pangeran yang mulia, aku ini seorang petapa, aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal dan barang-barang duniawi.”
Pangeran terkejut karena ternyata petapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“O petapa suci, dimana obat itu harus dicari”?
“panngeran yang mulia, aku mencrinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”[29]
Sejak saat itu Siddharta ingin mengikuti kehidupan petapa itu. Ia mencari jalan bagaimana dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.[30]
Ketika pangeran Siddharta masih di dalam taman dan benaknya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang di utus oleh raja Suddhodana mengabarkan bahwa Putri yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Mendengar kabar itu, Pangeran justru bersedih hati dan berujar : “ seorang beenggu telah terlahir bagiku”! kelahiran tersebut merupakan halangan karena ia mencintai keluarga dan anaknya yang baru saja dilahirkan. Mengetahui apa yang diutarakan Pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama bayi itu “ Rahula” yang berarti “belenggu”.

B.  Sang Budha Mendapatkan Penerangan Tertinggi
1.    Pangern Siddharta Meninggalkan Istana
Untuk menyambut kelahiran cucunya, Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah. Makan malam besar disajikan dan beberapa pelayan wanita cantik disiapkan untuk melayani sang Pangeran untuk merayakan kelahairan Raja Suddhodana. Pangeran yang baru saja kembali dari perjalanannya, tampak bahagia dibandingkan perjalanan sebelumnya. Ia berbahagia karena mengetahui bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Bagaimanapun juga Raja tidak ingin mengecewakan ayahnya. Dengan tenang ia menyantap makan malam tanpa merasa tertarik dengan nyanyian yang disuguhkan untuknya.[31]
Sebelum meninggalkan istana , Pangeran telah memohon izin kepada ayahnya, tetapi Ayahnya berusaha mencegahnya, tetapi Ayahnya tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Pangeran kepadanya. Antara lain dikatakan oleh Pangeran, bahwa ia tidak akan jadi pergi, apabila ayahnya dapat memberikan kepadanya kemudaan yang kekal, kecantikan yang kekal, kesehatan yang kekal dan hidup yang kekal.[32]
Selanjutnya Pangeran masuk keruangan tempat para penari sedang menari di iringi musik yang merdu. Pangeran merebahkan diri diatas bantal yang dibuat dari benang-enang emas dan karena letih tidak lama kemudian Pangeran tertidur. Para penaripun menghentikan tariannya dan merekapun ikut tidur ruangan yang sama sambil enunggui Pangeran. Pada tengah malam pangeran terbangun dan memandang ke sekelilingnya . pangeran melihat gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang siur dilantai dalam sikap yang beraneka ragam. Pangeran merasa seperti dipekuburan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat pangeran jijik dan muak sekali, sehingga beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan istana pada malam ini juga.
Pangeran memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Khantaka, kuda kesayangannya. Pangeran kemudian pergi kekamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nenyak dan memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi tidak dapat terlihat.
Pangeran semula ingin menggeser sedikit tangan Istrnya, tetapi hal itu di urungkan karena takut kalau hal ini menyebabkan Yashodara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan istana bisa gagal.[33]
Semua itu terjadi sama seperti yang sudah diramalkan oleh seorang Brahmana pada waktu kelahiran Siddharta, yaitu bahwa putra Raja ini kelak akan menjdi Buddha, dan bahwa hal itu akan dimulai setelah putra raja melihat empat tanda : orang tua, orang sakit, orang mati dan pertapa.[34]
Setelah sampai di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavattu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya).
Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, Malla dan kemudian dengan satu kali loncatan menyebrangi sungai Anoma. Pangeran turun dari kuda, mencopot semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong rambut dikepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara. Rambut yang tersisa sepanjang dua anguli (dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan tidak tumbuh lagi.
Bawa pakaian dan perhiasan ini kmbali dan berikan kepada ayahku dan sampaikan pesanku untuk Ayah, Ibu dan Yasodhara untuk jangan terlalu bersusah hati. Lalu Channa memberi hormat kepada pangeran dan bersiap-siap untuk kembali keistana.[35]

2.    Penerangan Agung
Pangeran kemudian bermukim di tempat itu selama tujuh hari tujuh   malam. Selanjutnya ia menuju Rajagraha ibu kota kerajaan Magadha, di dekat kota itu ia belajar pada dua orang Brahmana yaitu ‘Alara Kelama dan ‘Udnaka Ramaputra’. Tetapi pelajaran agama yang diterimanya tidak memuaskan hatinya. Ia lalu masuk ke dalam hutang Uruwela dan menatap di situ untuk bertapa. Kemudian menjadi terkenallah ia sebagai petapa suci sehingga ia di ikuti oleh lima orang muridnya yaitu Kondana, Bodiya, Wappa, Mahanama dan Asaji.
Selama enam tahun mereka bersama menahan lapar dan haus tidak makan minum, sehingga kondisi badan mereka semakin lemah. Tiba-tiba Siddharta jatuh pingsan dan dikira para muridnya ia sudah mati. Namun ia sadar kembali dan menyadari bahwa apa yang ia lakukan menyiksa diri seperti itu tidak ada manfaatnya. Ia lalu kembali bebuat sebagai manusia biasa, maka goncanglah para muridnya dan meninggalkannya sendiri di hutan itu.[36]
Petapa Gotama kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong. Ia menuju ketepi suangai Neranjara dalam perjalanannya ke Gaya. tiba ditepi sungai pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dengan berkata: kalau memang waktunya sudah tiba mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan mengikuti arus. Satu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir melawan arus.
Ia memilih tempat untuk bermeditasi dibawah pohon Bodhi ( latin : Ficus Religosa). Ditempat itulah pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ketimur dengan tekad yang bulat. Ia kemudian berkata dalam hati:
Dengan disaksikan oleh bumi meskipun kulitku urat-uratku dan tulang-tulangku akan musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat ini sebelum memperoleh penerangan agung. Dan mencapai Nibbana.[37]
Pada suatu malam di bulan Waisak ketika bukan purnama, ditepi sunagi Neranjara, ketika ia sedang menghentikan cipta dibawah pohon Assatta (pohon Boddhi) dengan duduk padmasana melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, maka datanglah petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang meliputi hal berikut:
a.       Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
b.      Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin,
c.       Cuti Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, bik atau buruk, bergantung pada prilaku masing-masing.
d.      Asvakkhayanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecendrungan dan avidya, tentang menghilangkan ketidaktahuan.
Dengan pengetahuan tersebut, ia mendpatkan penerangan yang sempurna, pengetahuan sejati dan kebebasan batin sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban teka-teki kehidupan yang selama ini dicarinya, dengan pengegrtian penuh sebagaimana tercantum dalam empat ‘kesunyataan mulia’ yaitu penderitaan, sumber penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan delapan cara yang utama menuju lenyapnyapenderitaan itu.
Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusia’ atau guru dari manusia.
Satu minggu setelah mendapatkn penerangan sejati itu, ia terus saja duduk dibawah pohon Boddhi menikmati pengalaman rohaninya. Pada minggu terakhir melalui perenungan mendalam, ia berhasil mengetahui sebab akibat dari rangkaian penderitaan. Yaitu karena adanya karma maka terjadilah bentuk karma, karena adanya bentuk karma maka terjadi kesadaran, karena terjadi kesadaran, terjadilah bentuk batin. Karena adanya keinginan, terjadi ikatan, karena ada ikatan, terjadi proses dumadi, karena proses dumadi terjadilah tumimba lahir, karena tumimba lahir terjdilah umur tua, kelapukan, kesusahan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan, kematian dan sebagainya. 
Pada saat kesua malam ia menemukan sebab akibat yang saling bergantungan kebalik, misalnya bila tidak ada ini tidak ada itu dan seterusnya, karena lenyapnya proses dumadi, lenyaplah umur tua, kelapukan, kesusahan, ratap tangis,... dan lenyaplah semua rangkaian penderitaan. Pada saat malam ketiga Buddha merenungkan sebab akibat yang saling bergantungan itu dengan cara langsung dan terbalik sekaligus.
Kemudian setelah tujuh minggu menetap derngan tujuh kali bergesar tempat di sekeliling pohon Boddhi, maka hari terakhir dari peristiwa-peristiwa yang suci itu, datanglah dua saudara Tapasuta dan Bhaluka yang terpesona melihat wajah sang Buddha. Keduanya lalu memepersembahkan nasi. Jajan dan madu serta memohon menjadi pengikut Buddha yang pertama.

3.    Sang Budha Mengajarkan Dharma
Setelah itu sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada orang lain, karena Dharmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana. Jadi kepada siapakah dharma itu harus diajarkan, kepada bekas gurunya, mereka sudah mati, kepada bekas muridnya barangkali, maka ia pergi ke Banares untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu, tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kesunyataan itu.
Peristiwa-peristiwa tersebut di atas sangat penting dalam agama Buddha, yang disebut “Dharmma Cakra Pravantana Sutra”, yaitu “pemutaran roda dharmma” yang selalu diperingati oleh para penganut agama Buddha. Begitu juga taman patana di Benares yang merupakan tempat asal mula kelahirana ajaran Buddha dan Sangha, para pemula penganut ajaran Buddha, merupakan tempat suci bagi umat Buddha. Sejak peristiwa pemutaran Rodha dharma tersebut mulailah Siddharta Goutama yang telah menjadi Buddha itu, menyebarkan ajaran diseluruh India mulai dari kota Rajagraha yang berpokok pada empat kebijakan kebenaran bahwa:
-          kehidupan manusia itu pada dasarnya tidak Bahagia
-          sebab-sebab tidak bahagia karena memikirkan kepentingan diri sendiri terbelengggu oleh nafsu,
-           pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis jika semua nafsu dan hasrat dapat ditiadakan, yang dalam ajaran Buddha adalah Nirwana,
-          menimbang benar, berpikir benar, berbuat benar, mencari nafkah, berusaha yang benar, mengingat yang benar, meditasi yang benar,
Selama 45 tahun lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga dari sekitar 60 orang anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya, yang memerlukan banyak Wihara, pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di Kusiwara yang letaknya sekitar 180 KM dari kota Banares. Ia meninggal tanpa petunjuk siapa yang menjadi penerus, sehingga dikemudian hari ajaran terpecah menjadi dua golongan yaitu Teravadha  ( Hinayana ) dan Mahasangika (Mahayana)
           








KESIMPULAN

Demikianlah pangeran Siddharta yang dilahirkan pada saat Purnamasidi di bulan Vaisak tahun 632 S.M., menikah pada usia 16 tahun, meninggalkan istana pada usia 29 tahun setelah bertapa selama enam tahun menjadi Buddha pada usia 35tahun, Selama 45 tahun lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga dari sekitar 60 orang anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya, yang memerlukan banyak Wihara, pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di Kusiwara yang letaknya sekitar 180 KM dari kota Banares.






















DAFTAR PUSTAKA
A.G. Honig. Ilmu Agama. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997
Ali, Mukti. Agama-Agama Di Dunia. Yogyakarta : Hanindita Offset, 1988.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu Dan Buddha. jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010.
Hadikusuma, Harun. Antropologi Agama. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993.
Hansen, Sasanase Seng. Ikhtisar Agama Buddha. Yogyakarta : Vidyasena Production. 2008
H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1995
Suwarto.  Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995
Widyadharma, S, Pandita. Riwayat Hidup Buddha Gotama. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA. 1979
Forum Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.



[1] Mukti Ali,Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta : Hanindita Offset, 1988), hal. 101
[2] Ehipassiko berarti “datang dan buktikanlah sendiri”Seorang buddhis tidak diminta untuk memercayai begi tusaja ajaran yang diterima, tetapi justru untuk mengalaminya sendiri
[3] Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Agama Buddha,( Yogyakarta : Vidyasena Production, 2008), hal.1
[4] Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Agama Buddha, hal.2
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1995), hal. 94
[8] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), hal. 7
[9] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.3
[10] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal.7-8
[11] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal.4
[12] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, , hal.8
[13] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 5
[14] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal. 9
[15] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 5-6
[16] Forum Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[17] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal. 10
[18] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 6-7
[19] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal.10
[20] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal.10-11
[21] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 8

[22] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 8-10
[23] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 10
[24] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.65
[25] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 11
[26] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, hal.65.

[27] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 11-14
[28] Forum Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[29] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal.15-16
[30] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, hal.66


[31] Forum Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[32] A.G. Honig. Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997) hal.173
[33] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 19
[34] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, hal. 66
[35] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 19-20
[36] H. Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 210-211
[37] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal.28

0 komentar:

Posting Komentar