Oleh: Dede Ardi Hikatullah & Ida Zubaedah
PENDAHULUAN
Dalam pengantar sebuah buku bertemakan kesetaraan gender,
QuraishShihab menyatakan bahwa dalam pandangan agama Islam, segala sesuatu
diciptakan Allah dengan kodrat. Begitupun dengan laki-laki atau perempuan,
sebagai individu dan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan memiliki kodratnya
masing-masing. Adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan memang tidak
dapat disangkal, namun itulah kodrat. Dan perbedaan itu pun sebatas pada segi
biologis saja. Sementara di sisi lain, dapat dipastikan bahwa tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya dalam tingkat kecerdasan dan
kemampuanberpikir.
Berkenaan dengan kedudukan laki-laki dan perempuan, QuraishShihabjuga
menyatakan bahwa jenis laki-laki dan perempuan itu sama di hadapan Allah.
Memang ada ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa: “Para lak-laki (suami)
adalah pemimpin para perempuan (istri)”. Namun kepemimpinan ini tidak boleh
mengantarkannya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi al-Qur’an
memerintahkan untuk tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan dan dari
sisi lain al-Qur’an memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya
mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama. Jika demikian
halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan,
adalah hubungan kemitraan. Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat
al-Qur’an menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai hubungan
saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan.
Dulu, keadaan perempuan memang sangat “mengkhawatirkan”. Sebagai
contoh, di mata orang-orang Yunani zaman dulu, perempuan sering dilecehkan dan
diejek. Bagi mereka, perempuan sama rendahnya dengan barang dagangan yang bisa
diperjualbelikan di pasar. Perempuan juga tidak mendapatkan hak bagian harta
pusaka dan harta warisan, dan tidak berhak menggunakan hartanya sendiri.[1]
Begitu pun di mata orang-orang Romawi zaman dulu, perempuan dianggap sebagai
‘hamba’ laki-laki dan sebagai barang dagangan murah yang dapat dipergunakan
sekehendak hati. Hidup perempuan menjadi milik ayahnya, kemudian suaminya,
kemudian anak-anaknya.[2]
Dan tidak jauh berbeda, di zaman Arab Jahiliyah, perempuan sangat
sedikit sekali mendapatkan penghormatan. Perempuan banyak dianiaya, dikucilkan,
dan diperjualbelikan. Seorang suami kadang ‘menukar’ istri mereka dengan istri
orang lain, dan mereka sering sekali membunuh bayi-bayi perempuan karena
dianggap ‘aib’.Lalu kemudian Islam datang dengan membawa ‘perubahan’, khususnya
dalam hal kesetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki. Nabi Muhammad, sebagai
tokoh sentral dalam perubahan ini, memang dihadapkan pada berbagai macam
hambatan. Namun, karena misi ajaran-ajaran yang dibawanya berisi pembebasan
dari berbagai penindasan, maka secara peralahan Islam mampu mencapai
‘kesuksesan’.
Dalam makalah ini akan diuraikan secara ringkas bagaimana perempuan
dan perubahan sosial dalam Islam. Di dalamnya juga mencakup pembicaraan
mengenai kondisi perempuan praIslam, peran perempuan dalam membangun masyarakat
muslim di masa awal Islam, dan terakhir mengenai pengulangan marginalisasi perempuan
dalam sejarah Islam pascaNabi Muhammad.
A.
PEREMPUAN,
AGAMA, DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM
Gender, sebagaimana halnya kelompok etnis, dalam banyak masyarakat
merupakan salah satu faktor utama yang menentukan status seseorang. Dapat
dimaklumi bahwa persoalan gender berpotensi untuk menimbulkan konflik dan
perubahan sosial, karena sistem patriarki yang berkembang luas dalam
berbagai masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang tidak diuntungkan
secara kultural, struktural, dan ekologis. Sebagai akibat dari pertumbuhan dan
mobilitas penduduk, urbanisasi dan revolusi industri menimbulkan berbagai
perubahan sosial, termasuk dalam kedudukan sosial bagi laki-laki dan perempuan.[3]
Menurut Johnson, seperti yang dikutip Nasaruddin dalam bukunya
“Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an”, ada beberapa hal yang dapat
menjadi indikator penghambat perubahan sosial dalam kaitannya dengan tuntutan
persamaan hak laki-laki dan perempuan, yaitu:
1.
Struktur
Sosial
Posisi
perempuan masih sering ‘dihadapkan’ dengan posisi laki-laki. Posisi perempuan
selalu dikaitkan dengan lingkungan domestik yang berhubungan dengan
urusan keluarga dan kerumahtanggaan. Sementara posisi laki-laki sering
dikaitkan dengan lingkungan publik, yang berhubungan dengan
urusan-urusan di luar rumah. Dalam struktur sosial, posisi perempuan yang
demikian itu sulit mengimbangi posisi laki-laki. Perempuan yang ingin berkiprah
di lingkungan publik masih sulit melepaskan diri dari tanggung jawab di
lingkungan domestik. Perempuan dalam hal ini kurang berdaya untuk menghindar
dari beban ganda (doubleburden) tersebut karena tugasnya sebagai
pengasuh anak sudah merupakan persepsi budaya secara umum. Kontrol budaya
agaknya lebih ketat kepada perempuan daripada laki-laki, jika ditilik dari sisi
ini.
2.
Perempuan
sebagai Kelompok Minoritas Unik
Dalam
sejarah, kaum perempuan telah memberikan kontribusi terhadap perjuangan
keadilan sosial, misalnya penghapusan perbudakan pada awal abad ke-19 dan
perjuangan serikat pekerja di akhir abad ke-19, tetapi ada kecenderungan
hal-hal itu dilupakan. Berbeda dengan minoritas dalam soal etnis, ras, dan
agama, posisi minoritas perempuan
cenderung kurang dihormati. Di sejumlah negara, kelompok etnis, ras, dan agama
minoritas diperlakukan secara wajar, hak-haknya dijamin dan dipelihara.
Sementara itu, hak-hak perempuan sebagai salah satu bagian minoritas dalam
masyarakat masih banyak belum diperhatikan. Dari dulu dan mungkin sampai saat
ini.
3.
Pengaruh
Mitos
Dalam
budaya di berbagai tempat, hubungan-hubungan tertentu laki-laki dan perempuan
dikonstruksi oleh mitos. Dan mitos-mitos tersebut cenderung mengesankan
perempuan sebagaithesecondcreation danthe Second sex.D.L. Carmodi
mengungkapkan bahwa sejumlah mitos tidak dapat ditolak karena sudah menjadi
bagian dari kepercayaan berbagai agama. Pengaruh dari cerita-cerita dalam
berbagai kitab suci disebutnya sebagai unmythologicalaspects. Karena
menurutnya mitologi yang disebutkan dalam sebuah kitab suci meningkat statusnya
menjadi sebuah keyakinan. Posisi perempuan yang lemah di dalam masyarakat
merupakan akumulasi dari berbagai faktor dalam sejarah panjang umat manusia.
Dalam lintasan budaya sendiri, perempuan dalam satu kelompok budaya dengan
budaya lainnya ternyata memiliki beberapa kesamaan, seperti yang terdapat dalam
mitos di sekitar perempuan. Sebagai contoh mitos perempuan menstruasi,
asal-usul kejadian, dan substansi lainnya.
Dan yang menarik adalah, apabila kita mengaitkan perubahan sosial
tersebut dengan Islam. Dalam bukunya, Wanita dan Gender dalam Islam,
Leila Ahmedmenyimpulkan bahwa Islam telah berperan penting dalam
mentransformasikan pandangan sosial-keagamaan bangsa Arab menjadi sesuai dengan
tradisi bagian lain Timur Tengah, termasuk pandangan stereotip terhadap
perempuan.
a.
Kondisi
Perempuan Pra Islam
Sebenarnya,
bukti arkeologis menunjukkan bahwa wanita dihormati sebelum bangkitnya
masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya pusat-pusat
perkotaan dan negara-kota. Para arkeolog sering kali mengutip
CatalHuyuk, sebuah pemukiman zaman Neolitik di Asia Kecil yang berasal dari
sekitar tahun 6000 SM, untuk membenarkan bahwa wanita memiliki posisi dominan
dan tinggi. Di dalam pemukiman ini, bagian lebih besar dari panggung pemakaman
yang ditemukan dalam rumah-rumah berisi wanita, dan berbagai lukisan serta
dekorasi di dinding pemakaman dengan jelas menggambarkan sosok wanita.
Temuan-temuan arkeologis lain juga menunjukkan bahwa berbagai kebudayaan di
seluruh Timur Tengah menghormati dewi-ibu pada zaman Neolitik, hingga milenium
kedua sebelum masehi di beberapa kawasan. Juga, kajian tentang berbagai
kebudayaan kuno di kawasan itu menunjukkan bahwa supremasi sesosok dewi dan
status tinggi bagi wanita adalah aturan.[4]Namun,
hal ini berbeda dengan yang terjadi di Mesopotamia dan beberapa daerah lainnya.
Dunia
Arab, tempat di mana Nabi Muhammad berdomisili dan menerima wahyu al-Qur’an,
tidak dapat dipisahkan dengan sejarah klasik Mesopotamia yang letaknya memang
bersebelahan dengan Jazirah Arab. Mesopotamia dianggap sebagai titik tolak
sejarah peradaban dan kebudayaan umat manusia. Bagian awal dari sejarah
peradaban masyarakat Mesopotamia berlangsung dari tahun 3500-2400 SM. Ketika
itu masyarakat masih berpola penghidupan berburu untuk laki-laki dan meramu
untuk wanita. Ciri masyarakat ketika itu masih bersifat egaliter, penindasan
berdasarkan kelas dan jenis kelamin masih relatif sedikit. Kemudian suku-suku
atau kabilah diperkirakan sudah ada tetapi masih dihimpun dan
dipersatukan oleh satu ikatan suci yang bersifat universal, sehingga membentuk
suatumasyarakat yang disebut “kota candi” (templecity).[5]
Lalu, pada awal tahun 2400 SM, ketika jumlah penduduk mulai bertambah dan
binatang-binatang buas mulai dijinakkan, maka dengan sendirinya masyarakat
mengalami perubahan. Ikatan kekeluargaan mulai terkonsolidasi dan pada saat
yang bersamaan telah muncul kekaisaran (empire). Dan disebelah utara
Mesopotamia berkembang masyarakat suku (tribalsocieties) yang menerapkan
sistem kemasyarakatan tersendiri. Mereka mempunyai candi-candi lokal. Suku ini
tidak lagi merasa diikat oleh ikatan universal dalam kota-candi, karena mereka
sudah hidup dalam suatu komunitas tersendiri. Loyalitas mereka mengalami
pergeseran, dari semula ditujukan kepada kuil kemudian ditujukan kepada
keluarga dan kabilah mereka. Kondisi seperti ini memungkinkan lahirnya kerajaan
yang bersifat lokal.[6]
Sedangkan
untuk pusat-pusat perkotaan sendiri pertama kali muncul di lembah sungai Tigris
dan Eufrat. Pertumbuhan masyarakat perkotaan yang kompleks dan semakin
pentingnya daya saing militer lebih jauh menancapkan dominasi pria dan
melahirkan masyarakat berdasarkan kelas di mana kalangan militer dan elite
istana merupakan kelas yang memiliki kekayaan. Keluarga dibentuk dalam corak patriarkal,
yang dirancang untuk menjamin maternitas pewaris kekayaan dan kepentingan pria
dalam mengendalikan seksualitas wanita menjadi dilembagakan, dikodifikasikan,
dan dijunjung tinggi oleh negara. Dan karena berbagai negara-kota yang berbeda
berturut-turut menguasai wilayah Mesopotamia, maka hukum-hukum yang mengatur
keluarga patriarkat pun berubah, dengan cenderung secara progresif menjadi
lebih keras dan lebih restriktif pada wanita.[7]
Misalnya saja, Kode Hammurabi (sekitar tahun 1750 SM). Hammurabi muncul sebagai
tokoh yang membangun suatukerajaan dan mengembangkan suatu masyarakat
multi-kota yang disebut dengan masyarakat Hammurabi. Untuk menciptakan suasana
tertib dan aman, Hammurabi kemudian membuat peraturan-peraturan hukum yang
kemudian disebut Kode Hammurabi. Di dalam kode ini, ketentuan-ketentuan khusus
yang sifatnya membatasi perempuan sudah diterapkan.[8]Pemberian
hak-hak istimewa kepada laki-laki dan pembatasan-pembatasan terhadap perempuan
sudah ditemukan dalamnya, seperti ayah atau suami dalam suatu keluarga memegang
peranan utama dan kewenangan yang tak terbatas, hak-hak laki-laki lebih
diutamakan daripada perempuan, dan tidak sah suatu perkawinan tanpa restu dan
izin dari ayah.[9]
Sekitar
abad ke-1000 SM, kemudian muncul suatukerajaan baru yang lebih kuat dan
dominan, yaitu Kerajaan Asyiria. Kerajaan ini juga meninggalkan kumpulan
peraturan hukum yang dikenal dengan Kode Asyiria, namun peraturan-peraturan
hukum ini sebagian besarnya merupakan modifikasi dari Kode Hammurabi. Bahkan
Louis M. Epstein mengisyaratkan bahwa Kode Asyiria ini lebih ketat lagi
pembatasannya kepada perempuan dibanding Kode Hammurabi. Epstein mencontohkan
bahwa Kode Asyiria mengatur sampai kepada urusan busana perempuan, misalnya
seorang istri, anak perempuan, dan janda keluarga kerajaan atau kalangan
terhormat yang akan bepergian atau mengunjungi tempat-tempat umum harus
mengenakan kerudung(hijab).[10]Sedangkan
wanita dari kalangan bawah dilarang mengenakannya. Aturan-aturan tentang hijab
ini dirinci secara hati-hati, sampai-sampai bagi mereka yang secara ilegal
mengenakan hijabakan dikenai hukuman cambuk, dengan kepala dituangi ter,
dan telinga mereka dipotong.[11]
Pada
masa-masa berikutnya, entah itu masa kekuasaan Kerajaan Achimed maupun Kerajaan
Romawi-Byzantium dan Kerajaan Sasania-Persia, posisi perempuan belum
menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Bahkan cenderung semakin terpojok, karena
hukum-hukum yang berlaku di dalam masyarakat adalah perpaduan antara warisan
nilai-nilai Mesopotamia dan nilai-nilai religius yang bersumber dari kitab-kitab
suci, seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Kitab Talmud. Kitab-kitab
suci ini seolah-olah mempersepsikan perempuan sebagai thesecond sex (jenis
kelamin kedua), yang harus tunduk dan berada dibawah otoritas laki-laki. Di
dalam kitab-kitab ini juga banyak sekali mitos-mitos misoginis(rasa
benci terhadap wanita) yang memojokkan perempuan. Mitos-mitos dan kosmologi
perempuan ini berkembang luas di kawasan Timur Tengah sampai Islam berkembang
di kawasan itu.[12]
Khususnya di Jazirah Arab.
Kontinuitas
budaya bangsa Arab pra-Islam menurut Lapidus terjadi dalam berbagai bidang,
seperti struktur keluarga dan ideologi patriarki. Keluarga masyarakat
Arab pra-Islam dapat dibedakan atas lima bentuk, yaitu: kabilah, sub-kabilah,
suku, keluarga besar, dan keluarga kecil. Namun, apapun nama dan bentuk
kesatuan sosialnya, kedudukan laki-laki di dalam lima kelompok masyarakat
tersebut tetap sentral sifatnya. Segala kebijakan prinsip, baik dalam
lingkungan keluarga terkecil sampai kepada lingkungan kelompok terbesar, berada
di tangan laki-laki. Sehingga, yang bertindak sebagai pimpinan dalam
kelompok-kelompok tersebut adalah laki-laki.Sebaliknya, perempuan berada pada
posisi yang subordinatif.[13]
Seperti
pada umumnya masyarakat dikawasan Timur Tengah saat itu, masyarakat bangsa Arab
juga menganut sistem patriarki. Otoritas bapak/suami menempati posisi yang
dominan dan peranannya penting dalam keluarga. Bapak atau suamilah yang
bertanggung jawab terhadap seluruh keutuhan, keselamatan, dan kelangsungan
keluarga. Ibu atau istri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga dalam
suatu rumah tangga. Untuk itu, bapak dan kaum laki-laki pada umumnya
mendapatkan beberapa hak istimewa sebagai konsekuensi dari tanggung jawab
mereka yang sedemikian besar dibanding pihak istri atau perempuan secara umum.
Dalam tradisi masyarakat bangsa Arab, pembagian peran sudah terpola dengan
jelas. Laki-laki yang berperan mencari nafkah dan melindungi keluarga,
sementara perempuan berperan dalam urusan reproduksi, seperti memelihara anak
dan menyiapkan makanan untuk seluruh anggota keluarga.[14]
Ideologi
patriarki memberikan otoritas dan dominasi kepada laki-laki dalam kehidupan
berumah tangga dan bermasyarakat. Laki-laki pada umumnya memperoleh kesempatan
lebih besar daripada perempuan untuk memperoleh prestasi dan prestise dalam
masyarakat. Selain itu, laki-laki tidak hanya mengontrol dalam bidang sosial
ekonomi, seluruh pranata sosial, melainkan juga mengontrol jumlah populasi
penduduk dalam suatusuku. Jumlah penduduk yang lebih besar daripada sumber daya
alam yang dimiliki akan menimbulkan berbagai masalah. Selain peperangan, yang
memiliki efek sekaligus sebagai pengendalian jumlah penduduk, cara lain untuk
mengontrol keseimbangan jumlah penduduk ialah pembunuhan bayi. Pembunuhan
bayi-bayi perempuan secara selektif dan proporsional dilakukan dalam upaya
mencegah kemerosotan standar hidup.
Selain
dengan motif ekonomi, pembunuhan bayi perempuan ini kemungkinan dilakukan untuk
ide pengorbanan yang diserukan oleh kepercayaan agama. Kemungkinan lainnya,
yaitu karena khawatir nantinya akan menikah dengan orang asing atau orang yang
berkedudukan sosial rendah. Di samping itu, khawatir jika anggota sukunya kalah
dalam peperangan akan berakibat pada anggota perempuan akan menjadi harem-harem
atau gundik para musuh. Sehingga kelahiran seorang bayi perempuan menjadi aib
bagi keluarganya.[15]
Begitulah
sedikit gambaran mengenai keadaan perempuan pra Islam. Walau pun disinyalir
perempuan ‘sempat’ menduduki kedudukan tinggi, karena pada mulanya masyarakat
di beberapa daerah, khususnya Timur Tengah, kebanyakan merupakan masyarakat
dengan sistem matriarki. Namun, kemudian terjadi pergeseran dan
peralihan. Bergesernya bentuk tatanan masyarakat ternyata juga seiring dengan
beralihnya sistem masyarakat itu sendiri. Sehingga pada akhirnya, masyarakat matriarki
berubah menjadi masyarakat patriarki. Hal inilah yang menyebabkan perempuan
kemudian ‘terpinggirkan’ dalam kurun waktu yang sangat lama.
b.
Peran
Perempuan dalam Membangun Masyarakat Muslim di Masa Awal Islam
Pada masa awal Islam, baik saat Islam itu lahir maupun kemudian
saat Islam berkembang, muncul beberapa tokoh perempuan yang mempunyai peran
penting. Tokoh-tokoh tersebut tidak lain merupakan orang-orang terdekat dengan pembawa
Islam itu sendiri, yaitu Rasulullah Muhammad, seperti istri, putri, dan kerabat
dekat beliau. Terutama pada masa awal di mana Islam lahir, tokoh perempuan yang
berperan merupakan istri dan putri beliau sendiri. Misalnya Khadijah dan Aisyah
yang merupakan istri Rasul, dan Fatimah yang merupakan putri beliau.
Kehidupan dan pernikahan dua istri Rasulullah, Khadijah dan Aisyah,
membalut jenis-jenis perubahan yang menimpa wanita di Arabia Islam. Khadijah,
istri pertama Rasulullah, adalah seorang janda kaya yang, sebelum menikah
dengan Rasul, mempekerjakan-nya untuk mengawasi kafilah-nya yang
melakukan perdagangan di antara Mekkah dan Syria. Ia melamar dan menikahinya.
Waktu itu, ia berusia empat puluh tahun dan Rasul dua puluh lima tahun.
Khadijah tetap menjadi istri tunggal hingga wafat pada usia sekitar enam puluh
lima tahun. Ia menduduki tempat penting dalam sejarah Islam karena sangat
berarti bagi Rasul. Kekayaannya membebaskan Rasul dari mencari nafkah dan
memungkinkannya menempuh kehidupan kontemplasi sebelum diangkat menjadi seorang
nabi. Dan dukungan serta kepercayaannya sangat berarti bagi Rasul dalam
perjuangannya mendakwahkan islam.[16]Khadijah
adalah orang yang pertama kali beriman. Keimanan wanita kaya dan dewasa yang
berkedudukan tinggi dalam masyarakat ini pastilah mempengaruhi orang lain,
khususnya anggota-anggota kabilahnya yang penting, Quraisy, untuk menerima
islam.[17]
Begitu pun dengan Fatimah, yang menjadi putri Rasul.Menurut tradisi
Islam, hanya ada empat orang wanita yang sempurna, dan Khadijah dan Fatimah
adalah dua di antaranya.[18]
Keduanya adalah ibu rumah tangga, yang karena pengalaman praktek, dapat memikul
tanggung jawab yang sudah biasa. Fatimah digambarkan sebagai seorang yang
meneruskan apa-apa yang diterima dari Rasul kepada orang lain di tengah-tengah
kesibukan hidupnya yang sudah banyak. Suatu kejadian yang tercatat tentang dia
menunjukkan besarnya keberaniannya. Pada suatu hari, di Ka’bah, Rasul sedang
bersujud sambil berdoa diganggu dan dilempari dengan kotoran. Fatimah lalu membersihkan
kotoran-kotoran dari badan ayahnya dan berteriak marah kepada para pengganggu
itu.[19]
Fatimah melahirkan dua orang putra dan dua orang putri dari Ali,
dan Rasul sendiri menyenangi kehadiran cucu-cucunya itu: kedua anak laki-laki
yaitu Hasan dan Husein, kakak perempuannya yaitu Zainab, dan adik perempuannya
yaitu UmiKultsum, yang diberi nama sama dengan nama bibi dari pihak ibu.[20]
Dari Zainab ini kemudian terlahir Ali Zainal Abidin yang kelak memainkan
peranan yang terkemuka dalam sejarah.[21]
Tokoh perempuan lainnya, yaitu Aisyah. Aisyah merupakan istri
ketiga Rasul. Walau pun demikian, Aisyah menjadi, dan tetap merupakan istri
kesayangan Rasul yang tidak diperdebatkan lagi, bahkan ketika ia menambah
wanita-wanita lain sebagai istrinya.[22]
Sebagai istri kesayangan Rasul, ia juga menerima sejumlah pensiun tertinggi
serta diakui sebagai orang yang memiliki pengetahuan khusus tentang prilaku,
ucapan, dan karakter Rasul sehingga ia sering ditanya tentang praktek (sunnah)-nya
dan memberi keputusan tentang berbagai hukum suci atau kebiasaan beliau.[23]Karena
itu, kaum wanita (dan lebih khusus lagi, Aisyah) adalah para penyumbang penting
pada teks-teks verbal Islam, teks-teks yang, sesudah ditranskripsikan dalam
bentuk tertulis oleh kaum pria, menjadi bagian dari sejarah resmi Islam dan
dari literatur yang menegakkan praktek-praktek normatif dalam masyarakat Islam.[24]
Dalam masyarakat-masyarakat muslim, hadis menduduki tempat sentral,
selain al-Qur’an sebagai sumber dalam menggali hukum. Dan wanita yang
memberikan kontribusi paling besar korpus itu adalah janda-janda Rasul,
sekalipun yang lainnya juga dikutip sebagai sumber. Aisyah khususnya, bersama
Umm Salamah dan Zainab sebagai istri kedua yang jauh, adalah seorang ahli hadis
penting. Semua orang mengakui bahwa ia secara khusus dekat dengan Rasul. Tak
lama sesudah wafatnya Rasul, masyarakat pun bertanya kepadanya ihwal praktek
Rasul, dan riwayat-riwayat yang dituturkannya berfungsi menyelesaikan berbagai
masalah prilaku dan terkadang masalah-masalah hukum.[25]
Bahkan yang lebih penting dari besarnya kontribusi Aisyah dan wanita-wanita
lainnya pada hadis adalah bahwa mereka pun memberikan kontribusi bahwa
rekan-rekan sezaman Rasul dan keturunan mereka mencarinya dan memasukkan
kesaksian mereka bersama dan sejajar dengan kesaksian kaum pria.[26]
Banyak detail lainnya memberi kesaksian atas penghormatan
masyarakat pada janda-janda Rasul dan atas bobot yang mereka berikan pada
pandangan-pandangan mereka. Diberi uang tunjangan paling tinggi dalam negara,
para janda itu tinggal bersama dirumah-rumah dekat mesjid yang pernah mereka
tempati bersama Rasul, yang kini merupakan salah satu tempat paling suci dalam Islam.
Aisyah dan Hafshah, sebagai putri-putri dari dua khalifah pertama, Abu Bakar
dan Umar, memiliki bahkan prestise dan pengaruh lebih baik. Baik Abu Bakar
maupun Umar, sebelum wafat, mengamanati seluruh putri dan bukan putra mereka
dengan berbagai tanggung jawab penting. Selama sakitnya yang terakhir, Abu
Bakar memberi Aisyah tanggung jawab untuk mengatur dana dan kekayaan publik dan
membagi-bagikan kekayaannya diantara putra-putrinya yang tengah tumbuh dewasa.
Sewaktu Umar wafat, salinan pertama al-Qur’an dipercayakan kepada Hafshah untuk
disimpan.[27]
Selain dari kalangan istri dan putri Rasul, dari kalangan kerabat
juga muncul tokoh perempuan lain. Seperti Asma’ yang tak lain merupakan saudari
Aisyah, putri dari Abu Bakar. Ketika bersembunyi di perbukitan dekat Mekkah,
saat Rasul dan Abu Bakar menunggu berakhirnya kegiatan pencarian mereka oleh
orang-orang Mekkah. Asma’ lah yang membawakan bekal makanan untuk mereka berdua
di malam hari dan membantu membekali unta mereka sewaktu sudah siap berangkat.
Setelah mereka berangkat, ia kembali pulang ke rumah dan mendapati serombongan
orang Mekkah yang tengah mencari mereka. Ia pun kemudian berbohong dengan
mengaku tidak tahu-menahu perihal mereka. Hal ini membuat ia ditampar dengan
sangat keras sehingga anting-antingnya terlepas.[28]
Kisah-kisah perang pun ‘tidak ketinggalan’ dalammenggambarkan kegigihan
kaum perempuan dalam memainkan peran pentingnya dalam menegakkan Islam. Dalam
suatu kisah perang Uhud, digambarkan kaum perempuan, termasuk istri-istri
Rasul,secara aktif dan bebas berpartisipasi di dalamnya. Seseorang dilaporkan
melihat Aisyah dan istri Rasul lainnya dengan baju panjang mereka tersingsing
dan gelang kaki mereka terlihat membawa air dan menghampiri kaum pria di medan
perang. Perempuan-perempuan lainnya di kubu Muslim disebut-sebut sebagai
perawat mereka yang terluka dan memindahkan mereka yang gugur dan terluka dari
medan perang.[29]
Tokoh Umarah pun menjadi sorotan. Ia juga turut bertempur dalam
sebuah perang di kubu Muslim bersama suami dan anak-anaknya. keberanian dan
kemahirannya dalam menggunakan senjata membuat Rasul tahu bahwa ia lebih hebat dari
kebanyakan pria. UmmUmarah terus turut bertempur dalam berbagai perang kamu
Muslim semasa Rasul masih hidup dan sesudahnya, sampai ia kehilangan tangannya
dalam perang Uqrabah (634).[30]
c.
Marginalisasi
Perempuan dalam Sejarah Islam Pasca Rasulullah
Murniati (2004:xx)
menjelaskanbahwamarginalisasiberartimenempatkanataumenggeserkepinggiran.
Marginalisasimerupakan proses pengabaianhak-hak yang seharusnyadidapatolehpihak
yang termarginalkan. Namun, haktersebutdiabaikandenganberbagaialasan demi
suatutujuan.Dan menurutFakih (2008:14), proses
marginalisasisamasajadengan prosespemiskinan. Hal
inidikarenakantidakdiberinyakesempatankepadapihak
yangtermaginalkanuntukmengembangkandirinya.Demikianjuga yang
dialamiolehperempuansaat proses marginalisasiiniterjadipadajeniskelamin.
Perempuanmerupakanpihak yang dirugikandaripadalaki-lakidalamhalketidakadilangender
ini.
Fatimah Memissi,dalamWomen
and Islam: An Historical and Theological Enquiry, menjelaskankelirunyaasumsi
yang menyatakangerakanfeminisme selaluberasaldaribarat. Tidaktepat pula
menganggapperempuan Islam yang
menginginkanpersamaanhakdanderajatdengankaumlaki-lakisebagaikebarat-baratan.Keinginansepertiitu,
dalamkonteks Islam, merupakanekspresikerinduanperempuan Islam akankondisi ideal
yang pernahterjadi. Suatu ideal yang pernahterciptapadamasaRasulullah, di
manaperempuanduduksamatinggidenganlaki-lakidansalingmenghargaisatusama lain.
Sekarang, jikakitaberfikirtentangperempuan
Islam, maka yang
terbayangadalahsegalajenisinferioritas.Merekatidakbolehmenjadipemimpin, tidak boleh menjadiimam, tidak
boleh pergisendirian, dan tidak boleh membantah “ajakan”
suamiataubersuarakeras.Merekajugaharusmemakaikerudung, mendidikanak,
taatpadasuamiatautinggal di rumah.Semuaitularangansekaliguskewajiban yang
harusdijalankanperempuan Islam.
Pertanyaannyaadalah: Benarkahajaran Islam
bersifatrepresifterhadapperempuan? Mernissiberasumsi, keterbelakanganperempuan
Islam merupakanpenyelewengansejarah yang dilakukanparapenguasa Islam sepeninggalRasullullah.Revolusi sosial yang
dibangunRasulullah, termasukdalammasalahperempuan,
tidakdilanjutkanlagi.Sejarahmalahmenunjukan, yang
munculkemudianadalahkembalinyanilai-nilaipra-Islam
kedalamkehidupanumat.Ironisnya,praktiksepertiinisedikitbanyakjugadisahkanolehpenafsiran
Islam yang dikembangkanumatIslam sendiri.Akibatnya,
mempertanyakankedudukanperempuandalam Islam
seringditanggapitidakhanyasebagiancamanbudaya Barat, tetapijugaancamanterhadap
Islam.
MenurutMernissi,
marginalisasiperempuandalamsejarah Islam terbentukkarenaduahal. Pertama,
semangattribalisme Arab yang tumbuhkembalisetelahRasulullahwafat.Keduapemahamanajaran
agama yang berkaitandenganperempuanlepasdarikaitanhistoris-nya.Kedua
proses inibergandenganbersamamembentukcitraperempuan Islam sepertiyang
sekaranginidikenal. Kecenderungan lain yang
turutmemperburuksituasiadalahcaramemahami agama secaraharfiah, kaku, dan
parsial. Penafsiran Al-Qur’an yang banyakdilakukanselamaini,berkenaandengankedudukanperempuan,tidakmelihatkesalingterkaitanantar-teks yang
menyebabkanpemahamanmenjadidangkaldanberatsebelah.Selainjugatidakdihiraukannyakonteks
sosial, historis, dankulturalpadasaatsebuahayat
di turunkan.
Sebenarnyadalam Al-Qur’an adabanyakayat
yang secarajelasdaneksplisitmenyatakankesetaraanlaki-lakidanperempuan,
sertatugasperempuansebagaimanusiayang jugamencakupruangpublik,
bukanhanyadomestik. Salah satuayat Al-Qur’an yangseringdilupakanadalah
Q.S.9:71 – 72, yang berbunyi: “Dimanadinyatakanbahwa orang-orang beriman yang
laki-lakidanperempuan, sebagianmerekaadalahpelindungsebagian yang lain. Merekamemerintahkan
yang ma’ruf, mencegah yang munkar, memdirikansholatdanmenunaian zakat,
sertamematuhi Allah danRasul-Nya.Merekaitulah yang dirahmati Allah.Allah
mahaperkasadanmahabijak. Allah memberijanjikepada orang-orang beriman yang
laki-lakidanperempuandengantaman-taman yang mengalir dibawahnyabengawan-bengawan,
merekakekaldidalamya, dantempat-tempatkediamanyanelok di taman-taman Aden,
sedangkankeridaan Allah lebihbesar. Itulahkeberuntungan yang agung”.
Dalamkeduaayatitujelasbahwa orang-orang
berimanlaki-lakidanperempuansebagianmerekaadalahpelindungsebagian yang
lain, ayatinitidakharusberartiketaklukanperempuanterhadalaki-laki. TafsirRuhul
Bayan (1991) memaknaidengan“sebagiannyamenolong yang laindalamperkara agama
danduniamereka, dansebagiannyamencapaiderajat-derajat yang tinggiolehpendidikandanpenyucianjiwa”.Tidakdisebutkanlaki-lakimaupunperempuan.AdapunQhurtubi
(1967) mengartikannyahanyadengansatukalimat: “hatimerekamenyatudalamkelembutan,
cinta, dansimpati”.[31]Persamaanharkatdantugasitudiiringidenganpersamaannasibukhrawidalamayat
72 di atas.Berbedadarigayamaskulindalamhalpelukisanwanita,
dalamayatitutidakadapernyataantentangbidadari yang
disediakandisurgasebagaiimbalankebaikanmanusia. Sebaliknya,
priamaupunwanitaberhakatassurga yang samadankeridhaan Allah ang yang sama.
Jugamengenai “taman-taman Aden”, yang adalahtempattertentu di surga,
atausurgakhususuntukparanabi, parashiddiq, parasyahiddanmereka
yang shalih.Kesurgaini pun perempuandanlaki-lakimemilikikesempatan yang
samauntukmemasukinnya.
Adapun yang
terpentingsehubungandenganayatiniadalahtugasperempuandanlaki-laki yang dinyatakanpersissama, yaitusalahsatunyamengajakkepada yangmakrufdanmencegah yang munkar.
Sepertidinyatakan Q.S. 3:104 dan 110, amarmakrufdannahimungkaradalahistilahuntukseluruhtugas
sosialseorangmuslim. Disinilah
bisa ditanyakan,jikalau perempuan hanya boleh memiliki fungsi domestik,
bagaimana ia bisa melaksanakan tugas mulia tersebut? Sebaliknya bisa dipahami,
karena wanita juga memiliki tugas amarmakruf nahi mungkar, mereka tentunya
yang lebih layak menghadang segala bentuk pelecehan terhadap kaum mereka.[32]
Oleh karena itu, yang dibutuhkan umat Islam sekarang-terutama
berkenaan dengan persoalan perempuan- adalah upaya penafsiran ulang atas teks
keagamaan. Paradigma yang sekarang mendominasi wacana kebudayaan manusia
modern, yakni paradigmaantroposentris. Meskipun paradigma ini telah
“dibunuh” aliran pascastrukturalis melalui kritik atas “metafisika
kehadiran”, tatapi setidaknya melalui pemikiran Habermas, antroposentrisma
yang bertumpu pada “rasio komunikatif’ masih tetap relevan. Denganparadigmaini, manusiamenjadi “pusat”
sehinggakonsepmengenai ‘kebenara” (truth)jugaberubah.Kebenaransebenarnyatidaklahberwajah
“tunggal”.Sebabmanusiasendiritidakseragamdalam “cadanganpengetahuan” yang
dimilikinya, makasebagaiakibatnyatafsiritu pun
menjadiseragam.Keragamanitusendirimerupakandasardarikenyataanbahwa “kebenaran”
jugaternyattidaktunggal.
Pemahamanmengenaikebenarantunggalitu,
menurutHerdi SRS danUlilAbshar-Abdillah (1994), sebenarnyaberkaitandenganasumsiakanadanya
“Sang Aku-Transenden” yang tau segala-galanyamengenaiteks,
sehinggatafsirdihasilkannyamempunyai “kewenangantunggal” ataswilayahkebenaran.
Maka, ketika “Sang Aku-Transenden” didekonstruksimelaluikonseptenteng
“historisitas logos”, makakewenangantunggalitukehilangandayadukungannya.
Disinilahmunculalternatif “pluralitastafsir”.Dalamkontekspluralitasinilahhegemonitafsirdiruntuhkan,
danteksmenjadi “hidup” kembalisertaterbukaatassemuatafsir.
B.
PENUTUP
Demikian
uraian singkat mengenai perempuan dan perubahan sosial dalam Islam. Memang
tidak mudah membicarakan perempuan dan perubahan sosial apalagi jika dikaitkan
dengan agama Islam, karena keduanya telah ‘ada’ dan ‘terjadi’ jauh sebelum
Islam ‘lahir’. Islam menempatkan perempuan pada posisi ‘terhormat’ dengan
caranya yang ‘unik’. Namun sejarah panjang antara perempuan dalam Islam
menjadikan posisinya terkesan berubah-ubah dan naik-turun. Hal ini tentu
disebabkan karena faktor-faktor yang tidak sedikit.
Dulu,
ketika masyarakat terwujud dengan sistem matriarki, perempuan menempati
posisi yang ‘tinggi’. Namun kemudian ketika tatanan masyarakat berubah, posisi
perempuan pun berubah. Yang pada awalnya matriarki, beralih menjadi patriarki.
Hal ini kemudian yang memaksa perempuan menempati posisi yang ‘rendah’. Dan hal
itu berlangsung dalam suatu proses yang panjang. Memang hal itu tidak terjadi
di semua masyarakat di semua wilayah, karena sudah barang tentu setiap kelompok
masyarakat mempunyai bentuk dan intensitas relasi gender yang berbeda-beda.Namun,
sejarah menampilkan wanita dengan posisi ‘tersingkir’ dalam kurun waktu yang
cukup lama, dan itu sangat memprihatinkan.
Begitu
pun dalam sejarah Islam. Pada masa awal kelahiran Islam, kalangan perempuan
menyambutnya dengan antusias, karena misi islam ialah pembebasan dari
penindasan. Dan banyak tokoh perempuan yang kemudian memegang peran penting
dalam pembangunan masyarakat muslim di masa ini, khususnya pada kebangkitan
Islam di timur. Namun disayangkan, hal ini kemudian ‘hilang’ setelah Rasulullah
Muhammad wafat. Sejarah marjinalisasi perempuan seolah ‘terulang-kembali’. Dan
itu mungkin terasa sampai saat sekarang ini. Dan hal ini mengundang tanda tanya
besar, sehingga memerlukan kajian yang lebih mendalam.
Secara
sederhana, harus diakui bahwa memang agama Islam tidak merinci pembagian kerja
antar laki-laki dan perempuan. Islam hanya menetapkan tugas-tugas pokok
masing-masing, sembari menggariskan prinsip kesejajaran dan kemitraan atas
dasar musyawarah dan tolong-menolong. Baik itu untuk laki-laki, maupun untuk
perempuan.
C.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmed, Leila.
2000. Wanita dan Gender dalam Islam. Jakarta: PT Lentera Basritama.
Umar,
Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an. Jakarta:
Penerbit Paramadina.
Waddy, Charis.
1987. Wanita dalam Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka Jaya.
Http://adaapanya.com/keadaan-perempuan-sebelum-islam.htm
[1] http://adaapanya.com/keadaan-perempuan-sebelum-islam.htm , diakses
pada hari Selasa 10 September 2013 pukul 21.00 WIB
[2]http://sebuahkehidupan.com/kedudukan-wanita-sebelum-islam-dan-wanita-kini.htm,
diakses pada hari Selasa 10 September 2013 pukul 21.30 WIB
[3]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta:
Penerbit Paramadina, 2001), hlm. 84-85
[5]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, h.
93
[6]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an,
h. 94-95
[7] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 4-5
[8]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an,
h. 95
[9]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an,
h. 97
[10]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an,
h. 99
[11] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 8
[12]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an,
h. 100
[13]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an,
h. 124-125
[14]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an,
h. 128-129
[15]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an,
h. 135-138
[16] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 46-47
[17] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 54
[18]CharisWaddy, Wanita dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1987), h. 87
[19]CharisWaddy, Wanita dalam Sejarah Islam, h. 86
[20]CharisWaddy, Wanita dalam Sejarah Islam, h. 87
[21]CharisWaddy, Wanita dalam Sejarah Islam, h. 90
[22] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 59
[23] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 72
[24] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 53
[25] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 89
[26] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 90
[27] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 91
[28] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 58
[29] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 62
[30] Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 85
0 komentar:
Posting Komentar