Responding Papers:
Perempuan, Agama, Dan
Transformasi Sosial Dalam Agama Kristen
Sit Nurhayati
1111032100043
PEREMPUAN, AGAMA, DAN TRANSFORMASI SOSIAL DALAM
AGAMA KRISTEN
Ø Transformasi sosial merupakan proses pembenahan kehidupan manusia
secara mendasar dalam skala mikro maupun makro.
Ø Pemaknaan terhadap transformasi secara hakiki mengacu pada
keniscayaan meninggalkan suatu kondisi masyarakat yang dzalim menuju kondisi
lain yang lebih baik dan harus ada referensi transendental yang bisa dijadikan
acuan ke mana perubahan itu harus diarahkan.
Ø Pembenahan yang dilakukan tidak boleh lepas dari Kitab Suci karena
pada dasarnya sejarah manusia merupakan proses dialektis antara ide
(doktrin-doktrin agama) dengan realitas manusia yang berupaya untuk mencapai
tujuan hidup manusia, yaitu untuk mendekati kebenaran mutlak.
Ø Oleh karena itu perubahan dan pembenahan tidak boleh berhenti pada
satu titik, harus terus mengalir, dinamis sesuai dengan sifat masyarakat yang
selalu bergerak maju dengan segala perubahan-perubahan tatanan nilai yang
menyertainya.[1]
Kritik Feminis
Teologi Liberal Terhadap Doktrin-Doktrin Kristen
Kaum feminis pada umumnya menerima kesimpulan bahwa dominasi pria secara
sangat mendalam tertanam dalam kebudayaan kita. Tetapi mereka bergerak lebih
jauh lagi. Bukan hanya bahwa superioritas maskulin menemukan ekspresinya dalam
aturan-aturan hukum, ataupun bahwa laki-laki dan prempuan mempunya status yang
terpisah dan tidak sederajat dalam jabatan, rekreasi, dan kehidupan publik.
Semua ini dimaksudkan untuk mempertahankan ketidaksederajatan seksual sebagai
suatu masalah hak-hak sipil. Yang ingin dinyatakan sebagai masalah adalah bahwa
“persoalan patriaki bersifat konseptual. .... Patriarki telah secara keliru
mengonseptualisasikan dan memitoskan ‘kedudukan pria’ di dalam alam semesta
dengan demikian –melalui ilusi penguasaan yang dilegitimasikan- membahayakan
seluruh planet.” Yang sangat istimewa untuk penelitian yang telah ada ini
adalah bahwa banyak konsep Kristen telah memainkan peranan utama dalam proses legitimasi
itu. Kitab Suci dan tradisi digunakan untuk menyediakan konsep-konsep guna
membenarkan supremasi pria. [2]
Pokok masalah yang serupa dapat dibuat dengan memandang
hubungan antara pria dan perempuan. Meskipun banyak bagian dalam Kitab Suci
menyatakan atau mengimplikasikan superioritas laki-laki atas perempuan,
bagian-bagian lainnya mengimplikasikan kesederajatan. Mengenai hal yang
terakhir ini, banyak yang berpendapat, secara teologis lebih fundamental.
Bagian-bagian yang sering dikutip yang mencemarkan perempuan mencakup
penciptaan Hawa dari rusuk Adam (Kejadian 2:21-23) dan ukuran-ukuran yang tidak
sama bagi laki-laki dan perempuan dalam Hukum Kekudusan dalam Kitab Imamat,
yang menetapkan bahwa ketika seorang anak laki-laki dilahirkan, sang ibu najis
selama tujuh hari, tetapi setelah kelahiran seorang anak perempuan lahir, ia
najis selama empat belas hari (Imamat 12). Perjanjian Baru pun mengandung
bagian-bagian yang menyatakan supremasi laki-laki. Pria dan perempuan
diperlakukan secara hirarkis dalam Surat Kolose; meskipun suami-suami
diperintahkan untuk mengasihi istri-istri mereka, para istri diperintahkan
untuk menaati suami-suami mereka (Ko. 3:18-19) . Sementara itu, meskipun ada
bagian-bagian yang bersifat patriarkal, sebagian besar orang telah percaya
bahwa kesederajatan pria dan perempuan merupakan suatu prinsip Kristen.[3]
Ketika kaum
perempuan berteologi, mereka berteolog berdasarkan fakta dan pengalaman di
bawah terang Firman Allah serta tindakannya menuju kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki. Oleh karena itu, advokasi bagi kesetaraan (equalitas) dan
persahabatan, serta upaya menuju suatu cara hidup baru yang setara (equal)
dalam struktur dan sistem gereja dan masyarakat merupakan agenda dari
perjuangan para teolog feminis. Termasuk di dalamnya adalah
petanyaan-pertanyaan yang dikemukakan terhadap simbol-simbol agama, relasi
perempuan dan laki-laki yang androsentris, serta relasi antar manusia
yang bias seks dan menyatakan visi yang otentik dari penebusan sebagai bentuk
pembebasan dari seksisme yang ternyata berakibat tidak adil terhadap kaum
perempuan. Kesadaran seperti di atas memang mestinya berangkat dari interprestasi dan
eksplorasi terhadap Kitab Suci untuk mencari visi dan pembebasan yang dimaksud.
Dengan demikian teologi feminis, adalah teologi yang didorong untuk melakukan
advokasi terhadap kesetaraan (equality) dan kemitraan (partnership)
yang di dalamnya perempuan dan laki-laki mengupayakan transformasi dan
pembebasan harkat dan martabat (dignity) manusia yang tertindas dalam kehidupan
gereja dan masyarakat luas.
Ketika berbicara tentang asal usul dan tujuan
umat manusia, Alkitab berbicara tentang kesederajatan laki-laki dan perempuan.
Pada penciptaan baik laki-laki maupun perempuan dibuat dalam keserupaan dengan
Allah. Prinsip penghargaan yang universal dan sederajat –yaitu tuntutan untuk
memandang semua orang sebagai bernilai sama- juga secara mendalam tertanam
dalam ajaran Yesus tentang mengasihi sesama manusia. Hubungan ini dinyatakan
secara kuat sekali oleh Kierkegaard, “menghormati setiap orang, mutlak setiap orang,
itulah kebenaran, dan inilah yang dimaksud dengan takut akan Allah dan
mengasihi sesama ‘manusia’ .... dan ‘sesama manusia’ adalah ekspresi yang
mutlak benar untuk kesederajatan manusia. Jika setiap orang berada dalam
kebenaran untuk mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri, kesederajatan
manusia yang sepenuhnya akan tercapai.”[4]
Daftar Bacaan:
Ø
Sri Haningsih, Pemikiran Riffat Hassan Tentang Feminisme Dan Implikasinya Terhadap
Transformasi Sosial Islam. .Majalah
al Warid edisi ke 13. 2005.
Ø Linwood Urban,
Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Jakarta:
Gunung Mulia, 2009.
[1] Sri
Haningsih, Pemikiran Riffat Hassan
Tentang Feminisme Dan Implikasinya Terhadap Transformasi Sosial Islam.
(Majalah al Warid edisi ke 13. 2005), hal. 111
0 komentar:
Posting Komentar