Sejarah hidup
buddha
Makalah ini dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Disusun Oleh
Diana Puspasari (1111032100046)
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
SEJARAH HIDUP BUDHA
1.
PENDAHULUAN
Dalam alur sejarah
agama-agama di dunia, zaman agama Budha dimulai semenjak tahun 500 S.M. secara
historis agama tersebut mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya,
namun mempunyai beberapa perbedaan dengan agama yang mendahuluinya dan yang
datang sesudahnya, yaitu Agama Hindu. Sebagai agama, ajaran Budha tidak
bertitik tolak dari Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan seluruh
isinya, termasuk manusia. Tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam
kehidupannya sehari-hari, khususnya tentang tata susila yang harus dijalani
manusia agar terbebas dari lingkungan dukkha yang selalu mengiringi hidupnya.[1]
Perbedaan
mendasar antara ajaran Buddha dengan ajaran agama-agama lainnya di dunia adalah
bahwa ajaran Buddha bukan merupakan sebuah sistem kepercayaan (Belief system).
Sistem kepercayaan selalu dilandasi oleh iman atau keyakinan mutlak seseorang
terhadap agama yang dianutnya. Sebaliknya Buddha selalu mengajar dengan
memegang prinsip Ehipassiko[2]
yang dilandasi oleh pengalaman pribadi.[3]
Sebagai salah
satu tempat berkembangnya peradaban dan kebudayaan dunia, India telah menjadi
tanah suci bagi banyak orang untuk mendalami hakikat hidup. Terdapat 2
pandangan yang lazim di India sebelum masa Buddha Gautama, yaitu Brahmanisme
dan Sramanaisme.[4]
Pandangan
Brahmanisme merupakan paham yang diturunkan dari bangsa Arya. Menurut paham
ini, roh dan jasmani adalah satu. Dengan demikian apabila roh dan jasmani
merupakan satu kesatuan, maka setelah kehidupan saat ini tidak ada lagi
kehidupan selanjutnya.[5]
Berbeda dari
pandangan Brahmanisme, pandangan Sramanaisme yang diturunkan oleh bangsa
Dravida menganggap bahwa roh dan jasmani bukanlah satu kesatuan. Dan karena roh
tidak sama dengan jasmani, maka matinya badan jasmani tidak berarti matinya roh
atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang kekal dan abadi dan apabila pada
saatnya seseorang meninggal, rohnya akan tetap ada dan harus berupaya menyatu
dengan keabadian itu sendiri. (karena matinya badan jasmani akan berarti
matinya roh atau jiwa).[6]
Kedua pandangan
ini ditolak oleh Buddha Gautama dan pada akhirnya Sang Buddha menawarkan sebuah
jalan alternatif yang kemudian disebut sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan (the
eightfold path) atau Jalan Tengah (the middle way). Bagi umat
Buddha ajaran yang dibabarkan oleh Buddha Gautama lebih dilihat sebagai sebuah pedoman
hidup (the way of life) dari pada sebatas agama. Mengapa? Karena apa
yang ditawarkan oleh Buddha Gautama bukanlah sebuah sistem kepercayaan,
melainkan sebuah pedoman yang sifatnya universal (dapat diterima oleh semua
orang) agar manusia dapat menjalani hidupnya dengan lebih berarti.
II.
RIWAYAT
SIDHARTA GAUTAMA
A.
Kehidupan Sang Buddha
Menurut riwayat
hidupnya, Gautama mula-mula beragama Hindu mengikuti orang tuanya. Untuk
mencegah pengaruh kehidupan masyarakat yang mungkin dapat melemahkan
kepercayaan/ keimanannya dalam agama, maka dia tidak di izinkan melihat
kenyataan hidup di luar Istana. Dia mengalami pendidikan isolatif dari
masyarakat luas di luar Istana. Untuk menentramkan kehidupannya dia senantiasa
di kelilingi dengan kehidupan serba mewah yang khas istana yang penuh
kenikmatan dan kelezatan. Tetapi siddharta (salah satu nama Buddha sebelum menerima
ilham) mengalami kebosanan dan ketidakpuasan ditengah-tengah kemewahan dan
kelezatan hidup istana tersebut.[7]
1.
Kelahiran
Bodhisattva
Di Jambudvipa
(sekarang India), dinegara Sakhya di india Utara bernama kerajaan Kapilavastu,
terletak disungai Rapti (sungai Rohini), di daerah dekat pegunungan Himalaya,
diperintah oleh seorang Raja bernama Suddhodana dengan permaisurinya Ratu Maya
Dewi (Dewi Mahayama). Setelah duapuluh tahun perkawinan, mereka belum juga
dikaruniai seorang putra.
Pada suatu
malam, Ratu Maya Dewi bermimpi aneh sekali, dalam mimpi itu Ratu Maya Dewi
melihat seekor gajah putih turun dari langit memiliki enam gading dan sekuntum
bunga tertai dari mulutnya memasuki rahim Ratu Maya Dewi melalui tubuhnya
sebelah kanan. Sejak mimpi itu akhirnya Ratu Maya mengandung. Dia mengandung
seorang bodhisattva dalam kandungannya selama sepuluh bulan.[8]
Ratu
memberitahukan impian ini kepada Raja dan Raja kemudian memanggil para Brahmana
untuk menanyakan arti impian tersebut. Para Brahmana menerangkan bahwa Ratu
akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang
Cakkavatti (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha.[9]Selama
ia mengandung bodhisattva banyak kejadian ajaib terjadi. Misalnya, dimana saja
ia pergi di Kapilavastu selalu di dampingi suaminya yaitu raja Suddhodana,
singa duduk dengan jinaknya di depan gerbang-gerbang, gajah-gajah menghormati Raja,
burung-burung diangkasa sangat bersuka cita mengiringi mereka dan Ratu Maya
Dewi mendadak dapat mengobati orang sakit, dan masih banyak lagi
kejadian-kejadian menakjubkan lainnya.
Ketika waktunya
telah tiba untuk melahirkan, Ratu Maya pergi ke taman Lumbini dengan para
dayangnya. Ratu juga meminta suaminya, Raja Suddhodana, ikut. Sudah tentu
dipenuhi dengan segala senang hati. Juga para dewa yang tidak menampakkan diri
ikut mendampinginya. Disaat bulan purnama sidhi (mennurut aliran Utara atau
Mahayana, beliau lahir tanggal 8 bulan 4, lunar tahun 566 S.M., menurut aliran
Selatan atau Hinayana, tanggal 6 May, tahun 623 S.M.), di Taman Lumbini ini
(dekat perbatasan India-Nepal), Ratu Maya melahirkan seorang Bodhi-Sattva tanpa
kesulitan dan para dayang yang mendampingi Ratu, menyaksikan dengan penuh
kesenangan. Begitu pula Raja Suddhodana dan para dewa dan dewi yang mendampingi
Ratu.
Saat ia
dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang
mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu.[10]
Sesaat ia dilahirkan, Bodisattva berjalan tujuh langkah diatas tujuh kuntum
bunga ke arah utara,[11]dengan
jari telunjuk tangan kanan menunjuk kelangit, dan jari telunjuk tangan kiri
menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru
para dewa dan manusia. para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air
suci untuk memandikannya. Juga bersamaan waktu lahirnya, tumbuhlah pohon Bodhi.
Seisi alam
menyambutnya dengan suka cita karena telah lahir seorang Bodhisattva yang pada
nantinya dia akan menjadi pemimpin alam semesta, gurunya para dewa dan manusia,
mencapai Samyak Sam Buddha untuk mengakhiri penderitaan manusia dialam
samsara ini.[12]
2.
Upacara
Pemberian Nama
Seorang
petapa bernama Asita (yang juga disebut Kala Devala) sewaktu bermeditasi di
pegunungan Himalaya, diberitahukan oleh para dewa dari alam Tavatimsa bahwa
seorang bayi telah lahir yang kelak akan menjadi Buddha. Pada hari itu juga
pertapa Asita berkunjung ke Istana Raja Suddhodana untuk melihat Bayi tersebut.
Setelah
melihat sang bayi dan memperhatikan adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa
(orang besar ), petapa Asita memberi hormat kepada sang bayi yang kemudian
diikuti juga oleh Raja Suddhodana.
Setelah memberi hormat Asita tertawa gembira tetapi kemudian lalu menangis.[13]
Petapa
Asita tertawa karena pada suatu hari nanti pangeran akan mencapai kesempurnaan
(Buddha), sempurna dalam kebijaksanaan maupun kewajiban, menjadi Guru para Dewa
dan manusia. kemudian Asita menangis karena usianya yang telah lanjut dan tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk melihat dan mendengarkan pada saat pangeran
mencapai kesempurnaan (Buddha) dan menjadi juru selamat dunia dengan
mengajarkan Buddha Dharma. Kemudian dia berlutut dan menghormati kepada
pangeran dan tanpa disadari di ikuti oleh Raja Suddhodana.[14]
Selanjutnya
petapa Asita mengatakan, bahwa pangeran kecil itu kelak tidak boleh melihat
empat peristiwa, yaitu:
1.
Orang
Tua
2.
Oarang
Sakit
3.
Orang
Mati
4.
Pertapa
Suci
Kalau pangeran
itu melihat empat peristiwa tersebut, maka beliau segera akan meninggalkan
istana dan bertapa untuk menjadi Buddha.
Lima hari
setelah lahirnya bayi, Raja suddhodana memanggil sanak keluarganya berkumpul.,
bersama-sama dengan 108 orang Brahmana untuk merayakan kelahiran anak
pertamanya dan juga untuk memilih nama baik. Nama yang kemudian dipilih adalah
Siddharta Gautama, Siddharta yang berarti “tercapailah segala cita-citanya” dan
Gautama adalah nama keluarganya.[15]
3.
Wafatnya
Ratu Maha Maya
Pada
hari ke tujuh setelah melahiran pangeran
Sidharta, Ratu Maha Maya wafat, dan adiknya Maha Pajapati Gotami yang juga
Istri raja Suddhhodana menggantikan posisi Ratu Maha Maya sebagai Ratu
sekaligus Ibu bagi pangeran kecil. Dari hubungan Raja Suddhodana dengan Maha
Pajapati Gotami melahirkan seorang pangeran bernama Nanda dan seorang putri
bernama Sundari Nanda (Rupananda). Maha Pajapati Gotami merawat pangeran
Siddharta seperti merawat putranya sendiri pangeran Nanda. Pangeran Nanda
sendiri lahir beberapa hari setelah pangeran Siddharta lahir. Setelah Ratu Maha
Maya wafat ia dilahirkan menjadi seorang putra dewa dengan nama Mayadevaputta
(Santusita) di surga Tusita.[16]
4.
Masa
Kecil, Masa Reamaja dan Pernikahan Pangeran
Pada suatu
hari, Raja dan pangeran kecil disertai para pengasuh dan pembesar Istana
berjalan pergi kesawah untuk merayakan perayaan membajak sawah. Pangeran
diletakkan dibawah sebuah pohon besar yang rimbun. Kemudian para pengasuh pergi
untuk melihat jalannya upacara. Sewaktu ditinggalkan seorang diri, pangeran
kecil itu lalu duduk ber-Meditasi dalam keretanya, saat itu umurnya baru
kira-kira lima Tahun.[17]
Setelah kembali
mereka merasa heran sekali melihat pangeran sedang bermeditasi dengan duduk
bersila. Dengan cepat mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja. Raja
dengan diiringi para petani berbondog-bondong datang untuk menyaksikan peristiwa ganjil tersebut. Benar
saja mereka menemukan pangeran kecil sedang bermeditasi dengan kaki bersila dan
ridak menghiraukan kehadiran orang-orang yang sedang memperhatikannya. karena
pangeran pada saat itu telah mencapai Jhanna, yaitu suatu tingkatan pemusatan
pikiran, maka sama sekali tidak terganggu oleh suara-suara yang berisik. Ada
lagi satu keajaiban lain. Bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya
matahari tetapi tetap memayungi pangeran kecil yang sedang bermeditasi.[18]Ayahnya
yang melihat kejadian tersebut menjadi sngat gembir dan memberi hormat kepada
putranya sambil berkata, “putraku yang tercinta, inilah hormatku yang kedua.”[19]
Setelah
pangeran berusia tujuh tahun, Raja memerintahkan untuk menggali tiga kolam di
halaman Istana. Di kolam itu ditanami berbagai jenis bunga teratai (lotus).
Satu kolam dengan bunga teratai yang berwarna biru (Uppala), satu kolam dengan
bunga yang berwarna merah (Paduma), satu kolam lagi dengan bunga yang berwarna
putih (Pundarika).
Pelayan-pelyan
diperintahkan untuk melindungi pangeran dengan sebuah payung yang indah
kemanapun pangeran pergi, baik siang maupun malam hari sebagai lambang dari
keagungannya.
Pada umur 12
tahun, pangeran sidharta telah menguasi berbagai ilmu pengetahuan, ilmu taktik
perang, sejarah, dan pancavidya, yaitu: sabda (bahasa dan sastra);
silpakarmasthana (ilmu dan matematika); cikitsa (ramuan obat-obatan); hatri
(logoka); adhyatma (filsafat agama). Dia juga menguasai Catur Veda
rgveda(lagu-lagu pujian keagamaan): yajurveda (pujian untuk upacara
sembahyang); athavarveda(mantra).
Pangeran
sidharta disamping pandai, juga seorang anak yang sopan dan baik budi pekerti,
dan sayang pada binatang terutama binatang yang lemah.
Dia sangat
pandai menunggang kuda dan gemar berburu. Bila kuda yang ditungganginya telah
letih, dia turun dari kudanya dan membiarkannya untuk beristirahat dan
mengusap-usap dengan penuh kasih sayang. Dia pergi berburu bukan untuk membunuh
binatang tapi mengajak binatang hutan bermain dan berkejar-kejaran.
Suatu hari,
pangeran sidharta melihat devadatta dan teman-temannya berburu burung dengan
panah. Devadatta memanah seekor burung yang sedang berdiri di ranting pohon.
Burung itu terkena panah Devadatta dan jatuh kebawah. Pangeran Sidharta cepat
pergi menghampiri burung itu dan segera mengobatinya. Ia meminta kembali burung
itu dari Sidharta karna ia merasa bahwa ia yang memanah burung itu dan harus
menjadi miliknya. Tapi pangeran Sidharta mengatakan bahwa burung yang terpanah
itu adalah miliknya. Terjadilah pertengkaran di antara mereka untuk memiliki
burung itu.[20]
Akhirnya hal
ini di bawa kepada seorang pejabat dewan penasehat kerajaan untuk diminta
pendapatnya. Pejabat dewan kerajaan itu menjelaskan kepada mereka berdua, “
Hidup ini adalah milik dari orang yang mencoba menyelamatkannya. Hidup ini
tidak mungkin menjadi milik dari orang yang mencoba menghancurkannya. Karena
itu menurut norma-norma keadilan yang belaku maka secara sah burung itu harus
menjadi milik orang yang ingin menyelamatkan jiwanya, yaitu pangeran Siddharta.[21]
Kemudian pangeran Siddharta melepaskan burung itu ke alam bebas.
Sewaktu
pangeran meningkat usianya menjadi 16 tahun, raja memerintahkan untuk membuat
tiga buah istana yang besar dan indah, satu istana untuk musim dingin (Rama),
satu istana untuk musim panas (Suramma) dan satu istana untuk musim Hujan
(Subha).kemudian Raja mengirim undangan kepada para orang Tua yang mempunyai
anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, dimana pangeran akan
memilih seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun para orang tua tersebut
ternyata mengacuhknnya. Mereka mengatakan bahwa pangeran tidak paham kesenian
dan ilmu peperangan, maka bagaimana ia kelak dapat memelihara dan melinduungi
istrinya.
Ketika hal ini
diberitahukan kepada Pangeran maka pangeran mohon kepada Raja agar segera
mengadakan sayembara, dimana berbagai ilmu peperangan dipertandingkan. Dalam
sayembara itu pangeran bertanding melawan pangeran-pabgeran lain yang datang
dari segenap penjuru negara Sakya bahkan juga pangeran-pangeran dari
negara-negara lain.
Semua
pertandingan seperti naik kuda, menjinakkan kuda liar, mengggunakan pedang,
memanah ternyata dimenangkan oleg Pangeran.
Dengan mendapatkan sambutan yang meriah dari para hadirin pangeran
dinyatakan sebagai pemenang mutlak dari sayembara tersebut.
Dalam sebuah
pesta besar yang kemudian diselenggarakan dan dihadiri oleh tidak kurang dari
empat puluh ribu gadis cantik, pilihan pangeran jatuh kepada seorang gadis yang
bernama Yasodhara yang masih ada ikatan keluarga dengan Pangeran karena ia
adalah anak pamannya yang bernama Raja Suppaabuddha dari negara Devadaha dan
bibinya Ratu Amita (adik Raja Suddhodana).
Setelah
pangeran Siddharta menikah dengan putri Yasodhara maka kekuatiran Raja
Suddhodana agak berkurang, sebab Raja selalu ingat kepada ramalan dari Petapa
Asita bahwa pangeran kelak akan mennjadi Buddha.
Dengan
pernikahan ini Raja berharap Pangeran akanlebih terikat kepada hal-hal duniawi.
Sekarang tinggl menjaga supaya pangeran jangan melihat empat peristiwa tentang
penghidupan, yaitu orang Tua , orang sakit, orang mati,dan petapa suci.[22]
5.
Melihat
Empat Peristiwa
Pangeran tidak
bahagia dengan cara hidup yang dianggap seperti orang tawanan dan terpisah sama
sekali dari dunia luar. Pada suatu hari pangeran mengunjungi Ayahnya dan
berkata “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan keluar istana untuk melihat
tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan ku perintah”.
Karena
permohonan ini wajar, maka Raja
emberikan izin. tetapi sebelumnya kata Raja, aku harus membuat persiapan
sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang
baik.[23]
Sekalipun sang
raja sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang akan dilalui putranya itu
harus dibersihkan dari segala hal yang tidak menyenangkan namun dalam
perjalanan ituSiddharta melihat seorang yang sudah tua sekali. (menurut
dongengnya orang ini adalah penjelmaan Dewa Brahma, yang dengan sengaja
menampakkan hal itu, karena sekarang sudah waktunya Siddharta meninggalkan
kemewahan). Pandangan ini mengejutkan Siddharta.[24]pangeran
terkesan sekali, karena hal ini baru pertama kali dilihatnya.
“apakah itu
Channa? Itu tidak mungkin seorang manusia. Mengapa ia bungkuk sekali? Mengapa
ia gemetar sewaktu berjalan? Mengapa rambutnya putih dan bukan hitam seperti
rambutku? Apa salahnya dengan matanya? Dan giginya dikemanakan? Apakah ada orang yang terlahir
seperti itu? Coba katakan O Channa yang baik. Apakah artinya semua ini?
Channa
menerangkan kepada pangeran, bahwa itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan
keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“ Sewaktu masih
muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua sekali maka
keadaanya telah berubah seperti yang tuanku lihat. Sebaiknya tuanku lupakan
saja orang tua itu. Setiap orang kalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan
menjadi seperti oarang tua itu, hal ini tidak dapat dielakkan.”[25]
Atas keterangan
Channa ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti orang tua
itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta kembali keistana.[26]
Setelah
persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia
merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan pangeran meninggalkan istana.
Berselang
beberapa hari pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan
melihat-lihat lagi kota Kapilavattu, tapi sekarang tanpa lebih dulu
memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan berat
hati Raja mengizinkan karena beliau tahu tidak ada gunanya melarang, sebab hal
itu tentu akan membuat pangeran bersedih. Pada kesempatan ini pangeran pergi
bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak kelurga Bangsawan, karen ia
tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Hari itu
pemandangan kota berlainan sekali, tidak ada penduduk berkumpul untuk
mengelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, tunggul-tunggul, bunga-bunnga dan
penduduk yang berpakaian rapi. Tetapi pada hari itu pangeran dapat melihat
penduduk yang sibuk bekerja.
Pangeran
memperhatikan orang-orang kecil ini yang sderhana dan semua orang kehilatannya
sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjanya. Tetapi Pangeran juga
melihat seorang yang sdeang merintih-rintih dan berguling-guling ditanah dengan
kedua tangannya memegang perutnya. Dimuka dan badannya terdapat bercak-bercak
berwarna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya mengap-mengap.
Untuk kedua
kali dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang membuat beliau sangat sedih.
Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang dengan cepat
menghampiri orang itu, mengangkatnya meletakkan kepalanya dipangkuannya dan
dengan suara menghibur menanyakan: “mengapa engkau, engku mengapakah?” orang
sakit itu sudah tidak adapat menjawab. Ia hanya menangis tersedu-sedu.
“ Channa,
katakanlah mengapa orang ini? Apakah yang salah dengan nafasnya? Mengapa ia
tidak bicara”?
“ O, Tuanku,
jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dn darahnya beracun. Ia diserang
demam pes dan seluruh bdannya terasa terbakar. Oleh karena itulah ia
merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“tetapi apakah
ada orang lain yang seperti dia”? “Ada, dan Tuanku mungkin orangnya kalau
Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya
kembali ditanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab sakit pes itu sangat
meenular.”
“apakah tidak
ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diserang penyakit?
Apakah penyakit datang secara mendadak”?
“betul Tuanku,
semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang dapat
mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.” Mendengar ini pangeran menjadi
semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenungi hal ini.
Berselang
beberapa hari, Pangeran kembli memohon izin kepada Raja agar diperkenankan lagi
melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak
ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada kesempatan
ini pangeran yang berpakaiaan sebagai anak seorang bangsawan dengan diiringi
Channa berjalan-jalan kembli di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian mereka
berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah
usungan yang dipikul oleh empat orang.
Diatas usungan
itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak bergerak.
Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan meletakkannya
diatas tumpukan kayu yang kemudian di nayalakannya. Orang itu tetap diam saja
dan tidak bergerak meskipun apai telah membakarnya dari semua sudut.
“Channa, apakah
itu? Mengapa orang itu berbaring disana dan membiarkan orang lain membakar
dirinya”?
Dia tidak tahu
apa-apalagi, Tuanku. Orang itu sudah mati.”
“ Mati! Channa,
Apakah itu yang dinamakan mati? Dan apakah semua orang pada suatu waktu akan
mati’?
“ Betul,
Tuanku, semua makhluk hidup pada suatu waktu harus mati. Tidak ada seorang pun
yang dapat mencegahnya.”
Pangeran heran
dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Pangeran
berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut “mati” itu yang harus
dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang
Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang dan
dikamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.[27]
Pangeran
Siddharta lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang telah
dijumpainya selama berkunjung ke kota Kapilavatthu. Namun, karena merasa belum
puas dengan apa yang telah ia ketahui sekarang, ia menjadi sangat penasaran
ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah
dilihatnya.
Pangeran
kemudian memohon kembali kepada ayahnya untuk diperkenankan untuk keluar istana
lagi untuk berwisata ke taman Lumbini. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk
menolak permohonan santun Putranya itu. Ditemani oleh Chnna, pangeran menuju
taman Lumbini. Setelah sampai ditaman Lumbini dan ketika pangeran tengaah duduk
menikmati taman tersebut, tampak olehnya seorang lelaki dengan kepala yang
dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeranpun bertanya kepada Channa,
siapakah orang itu? Channa menjawab,
bahwa orang itu adalah seorang petapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan
berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa
petapa itu. Baginya petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti
orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati
petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itupun
menjelaskan prihal dirinya.[28]
“ Pangeran yang
mulia, aku ini seorang petapa, aku menjauhkan diri dari keduniawian,
meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua,
sakit, dan mati. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal dan
barang-barang duniawi.”
Pangeran
terkejut karena ternyata petapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama
dengan dirinya.
“O petapa suci,
dimana obat itu harus dicari”?
“panngeran yang
mulia, aku mencrinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat,
jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan
perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”[29]
Sejak saat itu
Siddharta ingin mengikuti kehidupan petapa itu. Ia mencari jalan bagaimana
dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.[30]
Ketika pangeran
Siddharta masih di dalam taman dan benaknya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup
bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang di utus oleh raja
Suddhodana mengabarkan bahwa Putri yasodhara telah melahirkan seorang bayi
laki-laki yang tampan. Mendengar kabar itu, Pangeran justru bersedih hati dan
berujar : “ seorang beenggu telah terlahir bagiku”! kelahiran tersebut
merupakan halangan karena ia mencintai keluarga dan anaknya yang baru saja
dilahirkan. Mengetahui apa yang diutarakan Pangeran saat menerima berita itu,
Raja Suddhodana kemudian memberi nama bayi itu “ Rahula” yang berarti
“belenggu”.
B.
Sang Budha Mendapatkan Penerangan Tertinggi
1.
Pangern
Siddharta Meninggalkan Istana
Untuk menyambut
kelahiran cucunya, Raja menyelenggarakan satu pesta yang besar dan meriah.
Makan malam besar disajikan dan beberapa pelayan wanita cantik disiapkan untuk
melayani sang Pangeran untuk merayakan kelahairan Raja Suddhodana. Pangeran
yang baru saja kembali dari perjalanannya, tampak bahagia dibandingkan perjalanan
sebelumnya. Ia berbahagia karena mengetahui bahwa cara untuk mencapai
kebahagiaan sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Bagaimanapun
juga Raja tidak ingin mengecewakan ayahnya. Dengan tenang ia menyantap makan
malam tanpa merasa tertarik dengan nyanyian yang disuguhkan untuknya.[31]
Sebelum
meninggalkan istana , Pangeran telah memohon izin kepada ayahnya, tetapi
Ayahnya berusaha mencegahnya, tetapi Ayahnya tidak dapat memenuhi syarat-syarat
yang diajukan oleh Pangeran kepadanya. Antara lain dikatakan oleh Pangeran,
bahwa ia tidak akan jadi pergi, apabila ayahnya dapat memberikan kepadanya
kemudaan yang kekal, kecantikan yang kekal, kesehatan yang kekal dan hidup yang
kekal.[32]
Selanjutnya
Pangeran masuk keruangan tempat para penari sedang menari di iringi musik yang
merdu. Pangeran merebahkan diri diatas bantal yang dibuat dari benang-enang
emas dan karena letih tidak lama kemudian Pangeran tertidur. Para penaripun
menghentikan tariannya dan merekapun ikut tidur ruangan yang sama sambil
enunggui Pangeran. Pada tengah malam pangeran terbangun dan memandang ke
sekelilingnya . pangeran melihat gadis-gadis penari tergeletak tidur simpang
siur dilantai dalam sikap yang beraneka ragam. Pangeran merasa seperti
dipekuburan dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Pemandangan ini membuat
pangeran jijik dan muak sekali, sehingga beliau mengambil keputusan untuk
meninggalkan istana pada malam ini juga.
Pangeran
memanggil Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan Khantaka, kuda
kesayangannya. Pangeran kemudian pergi kekamar Yasodhara untuk melihat istri
dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nenyak dan
memeluk bayinya. Tangannya menutup muka sang bayi sehingga muka bayi tidak
dapat terlihat.
Pangeran semula
ingin menggeser sedikit tangan Istrnya, tetapi hal itu di urungkan karena takut
kalau hal ini menyebabkan Yashodara terbangun dan rencananya untuk meninggalkan
istana bisa gagal.[33]
Semua itu
terjadi sama seperti yang sudah diramalkan oleh seorang Brahmana pada waktu
kelahiran Siddharta, yaitu bahwa putra Raja ini kelak akan menjdi Buddha, dan
bahwa hal itu akan dimulai setelah putra raja melihat empat tanda : orang tua,
orang sakit, orang mati dan pertapa.[34]
Setelah sampai
di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota
Kapilavattu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya
yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya).
Perjalanan
diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, Malla dan kemudian dengan
satu kali loncatan menyebrangi sungai Anoma. Pangeran turun dari kuda, mencopot
semua perhiasannya dan memberikannya kepada Channa, mencukur kumisnya, memotong
rambut dikepalanya dengan pedang dan melemparkannya ke udara. Rambut yang
tersisa sepanjang dua anguli (dua inci) semasa hidupnya tetap sepanjang itu dan
tidak tumbuh lagi.
Bawa pakaian
dan perhiasan ini kmbali dan berikan kepada ayahku dan sampaikan pesanku untuk
Ayah, Ibu dan Yasodhara untuk jangan terlalu bersusah hati. Lalu Channa memberi
hormat kepada pangeran dan bersiap-siap untuk kembali keistana.[35]
2.
Penerangan
Agung
Pangeran
kemudian bermukim di tempat itu selama tujuh hari tujuh malam. Selanjutnya ia menuju Rajagraha ibu
kota kerajaan Magadha, di dekat kota itu ia belajar pada dua orang Brahmana
yaitu ‘Alara Kelama dan ‘Udnaka Ramaputra’. Tetapi pelajaran agama yang diterimanya
tidak memuaskan hatinya. Ia lalu masuk ke dalam hutang Uruwela dan menatap di
situ untuk bertapa. Kemudian menjadi terkenallah ia sebagai petapa suci
sehingga ia di ikuti oleh lima orang muridnya yaitu Kondana, Bodiya, Wappa,
Mahanama dan Asaji.
Selama
enam tahun mereka bersama menahan lapar dan haus tidak makan minum, sehingga
kondisi badan mereka semakin lemah. Tiba-tiba Siddharta jatuh pingsan dan
dikira para muridnya ia sudah mati. Namun ia sadar kembali dan menyadari bahwa
apa yang ia lakukan menyiksa diri seperti itu tidak ada manfaatnya. Ia lalu
kembali bebuat sebagai manusia biasa, maka goncanglah para muridnya dan
meninggalkannya sendiri di hutan itu.[36]
Petapa
Gotama kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa mangkuk kosong. Ia
menuju ketepi suangai Neranjara dalam perjalanannya ke Gaya. tiba ditepi sungai
pertapa Gotama melempar mangkuknya ke tengah sungai dengan berkata: kalau
memang waktunya sudah tiba mangkuk ini akan mengalir melawan arus dan bukan
mengikuti arus. Satu keajaiban terjadi karena mangkuk itu ternyata mengalir
melawan arus.
Ia
memilih tempat untuk bermeditasi dibawah pohon Bodhi ( latin : Ficus Religosa).
Ditempat itulah pertapa Gotama duduk bermeditasi dengan wajah menghadap ketimur
dengan tekad yang bulat. Ia kemudian berkata dalam hati:
Dengan
disaksikan oleh bumi meskipun kulitku urat-uratku dan tulang-tulangku akan
musnah dan darahku habis menguap, aku bertekad untuk tidak bangun dari tempat
ini sebelum memperoleh penerangan agung. Dan mencapai Nibbana.[37]
Pada
suatu malam di bulan Waisak ketika bukan purnama, ditepi sunagi Neranjara,
ketika ia sedang menghentikan cipta dibawah pohon Assatta (pohon Boddhi) dengan
duduk padmasana melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, maka
datanglah petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang
tinggi yang meliputi hal berikut:
a.
Pubbenivasanussati,
yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
b.
Dibacakkhu,
yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin,
c.
Cuti
Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk
kehidupan, bik atau buruk, bergantung pada prilaku masing-masing.
d.
Asvakkhayanana,
pengetahuan tentang padamnya semua kecendrungan dan avidya, tentang
menghilangkan ketidaktahuan.
Dengan
pengetahuan tersebut, ia mendpatkan penerangan yang sempurna, pengetahuan
sejati dan kebebasan batin sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban teka-teki
kehidupan yang selama ini dicarinya, dengan pengegrtian penuh sebagaimana
tercantum dalam empat ‘kesunyataan mulia’ yaitu penderitaan, sumber
penderitaan, lenyapnya penderitaan, dan delapan cara yang utama menuju
lenyapnyapenderitaan itu.
Dengan
telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama telah menjadi
Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusia’ atau guru
dari manusia.
Satu
minggu setelah mendapatkn penerangan sejati itu, ia terus saja duduk dibawah
pohon Boddhi menikmati pengalaman rohaninya. Pada minggu terakhir melalui perenungan
mendalam, ia berhasil mengetahui sebab akibat dari rangkaian penderitaan. Yaitu
karena adanya karma maka terjadilah bentuk karma, karena adanya bentuk karma
maka terjadi kesadaran, karena terjadi kesadaran, terjadilah bentuk batin.
Karena adanya keinginan, terjadi ikatan, karena ada ikatan, terjadi proses
dumadi, karena proses dumadi terjadilah tumimba lahir, karena tumimba lahir
terjdilah umur tua, kelapukan, kesusahan, ratap tangis, kesakitan, kesedihan,
kematian dan sebagainya.
Pada
saat kesua malam ia menemukan sebab akibat yang saling bergantungan kebalik,
misalnya bila tidak ada ini tidak ada itu dan seterusnya, karena lenyapnya
proses dumadi, lenyaplah umur tua, kelapukan, kesusahan, ratap tangis,... dan
lenyaplah semua rangkaian penderitaan. Pada saat malam ketiga Buddha
merenungkan sebab akibat yang saling bergantungan itu dengan cara langsung dan
terbalik sekaligus.
Kemudian
setelah tujuh minggu menetap derngan tujuh kali bergesar tempat di sekeliling
pohon Boddhi, maka hari terakhir dari peristiwa-peristiwa yang suci itu,
datanglah dua saudara Tapasuta dan Bhaluka yang terpesona melihat wajah sang
Buddha. Keduanya lalu memepersembahkan nasi. Jajan dan madu serta memohon
menjadi pengikut Buddha yang pertama.
3.
Sang
Budha Mengajarkan Dharma
Setelah itu
sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada orang lain,
karena Dharmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana. Jadi kepada
siapakah dharma itu harus diajarkan, kepada bekas gurunya, mereka sudah mati,
kepada bekas muridnya barangkali, maka ia pergi ke Banares untuk menemukan
murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu, tetapi setelah melihat
keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali mengikuti ajarannya.
Kepada mereka lalu diajarkan empat kesunyataan itu.
Peristiwa-peristiwa
tersebut di atas sangat penting dalam agama Buddha, yang disebut “Dharmma
Cakra Pravantana Sutra”, yaitu “pemutaran roda dharmma” yang selalu
diperingati oleh para penganut agama Buddha. Begitu juga taman patana di
Benares yang merupakan tempat asal mula kelahirana ajaran Buddha dan Sangha, para
pemula penganut ajaran Buddha, merupakan tempat suci bagi umat Buddha. Sejak
peristiwa pemutaran Rodha dharma tersebut mulailah Siddharta Goutama yang telah
menjadi Buddha itu, menyebarkan ajaran diseluruh India mulai dari kota
Rajagraha yang berpokok pada empat kebijakan kebenaran bahwa:
-
kehidupan
manusia itu pada dasarnya tidak Bahagia
-
sebab-sebab
tidak bahagia karena memikirkan kepentingan diri sendiri terbelengggu oleh
nafsu,
-
pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu
dapat ditekan habis jika semua nafsu dan hasrat dapat ditiadakan, yang dalam
ajaran Buddha adalah Nirwana,
-
menimbang
benar, berpikir benar, berbuat benar, mencari nafkah, berusaha yang benar,
mengingat yang benar, meditasi yang benar,
Selama 45 tahun lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga
dari sekitar 60 orang anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya,
yang memerlukan banyak Wihara, pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di Kusiwara
yang letaknya sekitar 180 KM dari kota Banares. Ia meninggal tanpa petunjuk
siapa yang menjadi penerus, sehingga dikemudian hari ajaran terpecah menjadi
dua golongan yaitu Teravadha ( Hinayana
) dan Mahasangika (Mahayana)
KESIMPULAN
Demikianlah pangeran Siddharta yang dilahirkan pada saat
Purnamasidi di bulan Vaisak tahun 632 S.M., menikah pada usia 16 tahun,
meninggalkan istana pada usia 29 tahun setelah bertapa selama enam tahun
menjadi Buddha pada usia 35tahun, Selama 45 tahun lamanya Buddha menyampaikan
ajaran-ajaran, sehingga dari sekitar 60 orang anggota Sangha kemudian menjadi
ribuan orang banyaknya, yang memerlukan banyak Wihara, pada akhirnya dalam umur
80 tahun wafat di Kusiwara yang letaknya sekitar 180 KM dari kota Banares.
DAFTAR
PUSTAKA
A.G. Honig. Ilmu Agama. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997
Ali, Mukti. Agama-Agama Di Dunia. Yogyakarta : Hanindita Offset,
1988.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu Dan Buddha. jakarta : PT BPK
Gunung Mulia, cet. 17, 2010.
Hadikusuma, Harun. Antropologi Agama. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1993.
Hansen,
Sasanase Seng. Ikhtisar Agama Buddha. Yogyakarta : Vidyasena Production.
2008
H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta:
PT Golden Terayon Press, 1995
Suwarto. Buddha Dharma
Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995
Widyadharma, S, Pandita. Riwayat Hidup Buddha Gotama. Jakarta:
Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA. 1979
[1] Mukti
Ali,Agama-Agama Di Dunia, (Yogyakarta : Hanindita Offset, 1988), hal.
101
[2] Ehipassiko
berarti “datang dan buktikanlah sendiri”Seorang buddhis tidak diminta untuk
memercayai begi tusaja ajaran yang diterima, tetapi justru untuk mengalaminya sendiri
[3] Upa.
Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Agama Buddha,( Yogyakarta : Vidyasena
Production, 2008), hal.1
[4] Upa.
Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Agama Buddha, hal.2
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] H.M.
Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT Golden
Terayon Press, 1995), hal. 94
[8] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995), hal. 7
[9]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana
Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.3
[10] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal.7-8
[11]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal.4
[12] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, , hal.8
[13]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 5
[14] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal. 9
[15]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 5-6
[16] Forum
Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di
unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[17] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal. 10
[18]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 6-7
[19] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal.10
[20] Drs.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, hal.10-11
[21]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 8
[22]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 8-10
[23]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 10
[24] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17,
2010), hal.65
[25]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 11
[26] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, hal.65.
[27]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 11-14
[28] Forum
Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di
unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[29] Pandita.S.Widyadharma,
Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal.15-16
[31] Forum
Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di
unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[32] A.G.
Honig. Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997) hal.173
[33]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 19
[34] Harun
Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, hal. 66
[35]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal. 19-20
[36] H.
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1993), hal. 210-211
[37]
Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, hal.28
0 komentar:
Posting Komentar