Oleh:
Annisa Khalida (1111032100047)
Pendahuluan
Buddha yang kita kenal dalam sejarah adalah merupakan pancaran ke
bawah dari sang Hyang Adhi Buddha yang bertugas untuk menyebarkan agama Buddha
baik di dunia maupun di alam lainnya, untuk membebaskan batin manusia dan para
makhluk lainnya dari segala bentuk malapetaka.[1] Ajaran yang disampaikan kepada manusia oleh
Buddha sangat erat hubungannya dengan agama-agama yang ada sebelumnya, oleh
karena itu ajaran Buddha merupakan faham yang bertujuan untuk mereform atau
memperbarui ajaran Hinduisme dimana pendeta-pendetanya saat
itu sangat berperan dalam kehidupan masyarakat. Ajaran Buddha mengandung background social-religius pada saat itu.
Nama Buddha itu sendiri menunjukan arti “seorang yang bangun atau yang
disadarkan” untuk mengadakan reformasi tradisi agama yang telah ada.[2]
Menurut para ahli Barat, Budha Gautama , pendiri agama Budha lahir
pada 563 s.M dan wafat pada tahun 483 s.M ia adalah anak dari raja Suddhodana,
yang memerintah atas suku Sakya, maka dari itu Budha Gautama juga
dikenal dengan sebutan Sang Budha Sakyamuni, karena berasal dari suku
Sakya. Ibunya bernama Maya, ia dibesarkan di ibukota kerajaan, yaitu
Kapilawastu. Ia dibesarkan oleh orang tuanya yang beragama Hindu, pada masa
kelahiran Sang Budha masyarakat yang ada di India yang beragama Hindu terbagi
kedalam empat Vanna (kasta), yaitu Khattiya (raja dan keluarganya yang memegang
pemerintahan), Brahmana (bertugas dalam upacara dan pendidikan), Vessa atau
pedagang (termasuk petani dan tukang ahli), serta Sudra (para pekerja).
Sedangkan Budha termasuk kedalam golongan Khattiya, kerana ayahnya berasal dari keturunan bangsa Arya dan berasal dari keturunan kerajaanMagadha. Dalam sejarah bangsa Arya boleh dikatakan sejarah dari dua golongan saja, masing-masing golongan Khattiya dan Brahmana. Antara dua golongan ini sering terjadi perkawinan sebab perkawinan dari selain dua golongan ini tidak dimungkinkan. Beberapa sarjana berpendapat bahwa masyarakat India (Jambudipa Purba) adalah menganut system matriarchat, yang memberikan wanita hak-hak khusus misalnya mengizinkan seorang wanita mempunyai lebih dari satu suami.[3]
Terdapat 2
pandangan yang lazim di India sebelum masa Buddha Gautama, yaitu Brahmanisme
dan Sramanaisme. Pandangan Brahmanisme merupakan paham yang diturunkan dari
bangsa Arya. Menurut paham ini, roh dan jasmani adalah satu. Dengan demikian
apabila roh dan jasmani merupakan satu kesatuan, maka setelah kehidupan saat
ini tidak ada lagi kehidupan selanjutnya (karena matinya badan jasmani akan
berarti matinya roh atau jiwa). Inilah yang disebut paham nihilisme. Karena
beranggapan bahwa hidup hanyasekali dan tidak ada lagi kehidupan selanjutnya,
maka seseorang akan terus-menerus memuaskan nafsu keserakahannya pada kehidupan
ini. [4]
Berbeda dari pandangan Brahmanisme, pandangan Sramanaisme yang
diturunkan oleh bangsa Dravida menganggap bahwa roh dan jasmani bukanlah satu
kesatuan. Dan karena roh tidak sama dengan jasmani, maka matinya badan jasmani
tidak berarti matinya roh atau jiwa. Roh dianggap sebagai sesuatu yang kekal dan
abadi dan apabila pada saatnya seseorang meninggal, rohnya akan tetap ada dan
harus berupaya menyatu dengan keabadian itu sendiri. Pandangan ini memunculkan
paham eternalisme (kekekalan). karena beranggapan bahwa roh akan terus ada, roh
ini pada akhirnya harus berhenti dalam penyatuan dengan sesuatu yang disebut
Maha Kekal.
Dan untuk bisa menyatu dengan sesuatu Yang Maha Kekal, roh tersebut
haruslah menjadi roh yang suci dahulu. Akibatnya seseorang akan terus melakukan
penyiksaan diri (bahkan sampai berlebihan) dengan tujuan menyucikan rohnya
sendiri.
Kedua pandangan ini ditolak
oleh Buddha Gautama dan pada akhirnya Sang Buddha menawarkan sebuah jalan
alternatif yang kemudian disebut sebagai Jalan Mulia Berunsur Delapan (the
eightfold path) atau Jalan Tengah (the middle way). Bagi umat
Buddha ajaran yang dibabarkan oleh Buddha Gautama lebih dilihat sebagai sebuah pedoman
hidup (the way of life) daripada sebatas agama. Karena apa yang
ditawarkan oleh Buddha Gautama bukanlah sebuah sistem kepercayaan, melainkan
sebuah pedoman yang sifatnya universal (dapat diterima oleh semua orang) agar
manusia dapat menjalani hidupnya dengan lebih berarti.[5]
Pengertian Buddha, Dharma, dan Triratna
·
Pengertian Buddha
Buddha
berasal dari bahasa sansekerta budh berarti menjadi sadar,
kesadaran sepenuhnya; bijaksana, dikenal, diketahui, mengamati dan mematuhi. (Arthur
Antony Macdonell, practical Sanskrit Dictionary, Oxford University Press,
London, 1965).
Tegasnya
Buddha adalah seseorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna
dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta. “Hyang Buddha’’ adalah
seorang yang telah mencapai penerangan luhur, cakap dan bijak menuaikan
karya-karya kebajikan dan memperoleh kebijkasanaan kebenaran mengenai nirvana
serta mengumumkan doktrin sejati tentang kebebasan atau keselamatan kepada
dunia semesta sebelum parinirvana.
Hyang
Buddha yang berdasarkan sejarah bernama Shakyamuni[6]
pendiri Agama Buddha. Hyang Buddha yang berdasarkan waktu kosmik[7]
ada banyak sekali dimulai dari Dipankara Buddha.[8]
·
Pengertian Dharma
Hukum
kebenaran, Agama, hal, hal-hal apa saja mengenai agama Buddha. Berhubungan
dengan ajaran agama Buddha sebagai agama yang sempurna.
Dharma
mengandung 4 (empat) makna utama:
1.
Doktrin
2.
Hak, keadilan, kebenaran
3.
Kondisi
4.
Barang yang kelihatan atau phenomena
Buddha
Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan
pandangan terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau
kegelapan batin dan unsur-unsur agama,
kebaktian, filosofis, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata sosial,
etika dan sebagianya.
·
Triratna
Seorang telah menjadi umat Buddha bila ia menerima dan mengucapkan
Triratna (Skt) atau tiga mustika (Ind) yang berarti Buddha, Dharma, Sangha.
Pada saat sembahyang atau kebaktian didepan altar Hyang Buddha. Triratna secara
lengkap diucapkan dengan tenang dan khusyuk sampai tiga kali atau disebut
trisarana. Trisarana adalah sebagai berikut:
Bahasa
Sansekerta
Buddhang Saranang Gacchami
Dharmang Saranang Gacchami
Sanghang Saranang Gacchami
Dwipanang Buddhang Saranang Gacchami
Dwipanang Dharmang Saranang Gacchami
Dwipanang Sanghang Saranang Gacchami
Tripanang Buddhang Saranang Gacchami
Tripanang Dharmang Saranang Gacchami
Tripanang Sanghai Saranang Gacchami
Bahasa
Indonesia:
Aku Berlindung kepada Buddha
Aku Berlindung kepada Dharma
Aku Berlindung kepada Sangha
Kedua kali Aku Berlindung kepada Buddha
Kedua kal Aku Berlindung kepada Dharma
Kedua kali Aku berlindung kepada Sangha
Ketiga kali Aku Berlindung kepada Buddha
Ketiga
kali Aku Berlindung kepada Dharma
Ketiga kali Aku Berlindung kepada Sangha[9]
Jadi dalam kesaksian tersebut, nampak adanya
sikap peneyerahan diri kepada Buddha, kepada Dharma (hukum-hukum yang telah
diberikan oleh Budha) dan kepada sangha yaitu golongan pendeta yang hidupnya
memelihara kelangsungan upacara agama yang pada umumnya tinggal dibiara-biara.
Pengakuan pada Dharma berarti mempercayai kebenaran hukum-hukumnya
dengan kewajiban menjalankan dasar-dasar ajaran kelepasan hidup serta
peraturan-peraturan lainnya. Dasar-dasar ajaran kelepasan tersebut adalah yang disebut Arya- satyami
(Arya: utama Satyami : kebenaran yang terdiri dari 4 kenyataan hidup sebagai
berikut:
1) Bahwa dalam kehidupan di dunia ini penuh
dengan hal-hal yang menyedihkan dan kesengsaraan, maka disimpulkan bahwa hidup
itu menderita.
2) Bahwa manusia berada oleh karena mempunyai
nafsu keinginan untuk berada (hidup). Keadaan hidupnya itu adalah penderitaan
karena terikat oleh samsara (menjelma berkali-kali).
3) Jika tidak lagi punya nafsu keinginan: maka
penderitaan samsara dapat dihilangkan yaitu dengan memadamkan nafsu keinginan
tersebut (tresna).
4) Cara menghilangkan nafsu keinginan itu ialah
melakukan 8 jalan kebenaran (disebut dengan Astavidha) yang terdiri dari:
a.
Mengikuti pelajran yang benar.
b.
Melaksanakan niat (keinginan) yang baik.
c.
Mengucapkan perkataan yang baik dan tepat.
d.
Menjalankan usaha yang baik (halal).
e.
Melakukan pekerjaan yang baik.
f.
Memusatkan perhatian dengan baik.
g.
Mencari nafkah dengan baik.
h.
Melakukan tafakur dengan baik.[10]
Dengan dasar Aryasatyami tersebut dapat
diketahui bahwa agama Buddha mendidik pengikut-pengikutnya untuk berhati-hati
serta bersungguh-sungguh dalm menjalankan suatu kewajiban atau pekerjaan
mengingat bahwa dunia sekitar manusia ini dianggap penuh dengan hal-hal yang
dapat mencelakakan karena ada 3 anasir keduniawian:
1)
Adanya Kama, yakni nafsu cinta.
2)
Adanya Dwesa, yakni rasa benci kepada orang lain.
3)
Adanya Moha, yakni mabuk (dalam segala bentuknya)
Untuk menegakan Dharma, maka pengikut-pemgikut
Buddha pada umumnya wajib menjauhi larangan-larangan dalam hal-hal sebagai
berikut:
1)
Dilarang melakukan pembunhan terhadap semua makhluk
(misalnya peperangan dan sebagainya).
2)
Dilarang melakukan pencurian atau perampokan atau
penyerobotan dan sebagainya.
3)
Dilarang melakukan perbuatan asusila, misalnya
perzinahan.
4)
Dilarang meminum, minuman yang memabukan (minuman keras).
5)
Dilarang berkata Dusta dan berkata kasar[11].
Adapun kewajiban khusus para anggota Sangha (orde pendeta) selain
lima macam tersebut diatas ditambah lagi dengan 5 macam larangan yaitu:
1)
Dilarang makan dan minum diwaktu yang dilarang (misalnya waktu
berpuasa).
2)
Dilarang mendatangi tempat-tempat yang dipergunakan untuk hidup
makisat (misalnya tempat hiburan, pertunjukan-pertunjukan).
3)
Dilarang menghias diri (misalnya dengan pakaian baik memakai hiasan
emas, belian dll)
4)
Dilarang tidur diatas tempat tidur yang baik.
5)
Dilarang menerima hadiah-hadiah yang berupa uang dan lain-lain
benda berharga.
Sepuluh larangan tersebut kemudian disebut dengan “DASA SILA” (10
dasar).[12]
Pengertian Sadha dan Panca Sadha
Hampir semua agama didasarkan atas “percaya” yang sewaktu-waktu menjurus ke “percaya” yang
membuta. Tetapi agama Buddha justru menekankan pada “melihat”, “mengetahui” dan
memahami yang oleh sementara orang diterjemahkan menjadi “percaya”.
Tetapi Saddha bukanlah berarti “percaya”
seperti yang lazim difahami orang, ia berarti suatu keyakinan yang timbul dari
suatu yang nyata.[13]
a.
Kata Saddha adalah sebutan dalam bahasa Pali atau sradha sebutan dalam bahasa sansekerta.
Arti
kata Saddha atau Sradha ialah keyakinan atau kepercayaan-Benar
(confident).
b.
Dalam ajaran agama Buddha, sesungguhnya menekankan suatu
kepercayaan yang ditimbulkan oeh suatu yang nyata. Inilah yang disebut
dengan Saddha. Atau dapat diartikan sebagai keyakinan yang telah mencakup
pengertian percaya di dalamnya.
Jadi
kata Saddha itu, dapat juga diartikan sebagai:
1)
keyakinan
2)
kepercayaan-Benar
3)
keimanan dalam Bakti
c.
saddha bukanlah suatu kepercayaan yang membuta, melainkan suatu
kepercayaan yang dimiliki para siswa dalam sekolah menengah, dimana siswa-siswa
yakin akan adanya atom dan molekul. Tetapi mereka tidak dapat membuktikannya.
Mereka terima itu karena percaya pada para sarjana yang menguraikannya. Tetapi
kepercayaan ini tidak dapat disebut kepercayaan membuta. Di perguruan tinggi
atau Universitas mereka mendapat kesempatan untuk melakukan percobaan untuk
menguji kebenaran teori ilmu alam dan kimia tadi.
Demikian
pula siswa agama Buddha pada tingkat permulaan yakin akan kebenaran beberapa
ajaran Dhamma yang mereka dengar dari guru agamanya. Tapi setindak demi
setindak dalam perjalanan mereka diatas jalan yang ditunjuk YMS Buddha Gautama
akan membawanya pada kebenaran ajaran Dhamma yang tiada bandingnya.
Saddha Mengandung Tiga Unsur
Salah seorang pujangga Buddhis yang terkemuka, yang hidup
abad ke IV bernama Asanga dan telah mengatakan bahwa Saddha itu mengandung tiga
unsur yaitu:
1)
keyakinan kuat terhadap sesuatu hal.
2)
Kegembiraan mendalam terhadap sifat-sifat yang baik.
3)
Harapan memperoleh sesuatu di kemudian hari.[14]
Bedanya
Kepercayaan dengan Saddha
a)
Persoalan kepercayaan akan timbul bilamana kita dapat melihat
sesuatunya dengan betul dan nyata.
Pada saat kita melihat, persoalan
kepercayaan itu tidak aka ada lagi. Bila saya katakan kepada anda bahwa
menyembunyikan sebuah mustika di telapak tangan yang saya genggam, persoalan
kepercayaan akan segera timbul, sebab anda tidak melihatnya denga mata anda
sendiri. Tetapi bila saya buka genggaman tangan tadi dan memperlihatkannya
mustika itu kepada anda, maka persoalan kepercayaan itu tidak akan timbul.
Dalam hubungan ini teringatlah kita
kepada sesuatu pepatah kuno penganut Buddha yang berbunyi sebagai berikut:
“Mengalami sendiri seperti orang melihat
satu mustika di telapak tangan”.
b)
Persoalan Saddha akan timbul bilamana kita dapat
melihat sesuatunya dengan betul dan nyata. Tetapi haruslah diingat bahwa Saddha
ini bukanlah suatu kepercayaan seperti yang di mengerti orang pada umumnya.[15]
Persoalannya selalu adalah tahu dan melihat
dan bukan percaya. Ajaran Sang Buddha juga dikenal sebagai ehi-pasiko, ialah
mengundang untuk datang dan melihat dan bukan untuk datang dan percaya. Istilah
umum yang dipergunakan unutk orang yang telah menyelami kasunyataan ialah “Mata
Dhamma’’ (Dhamma Cakkhu) tanpa debu dan noda telah bangkit. Tidak dapat
dibantah lagi ia telah melihat kesunyataan, telah menembusnya dan mengatasi
keragu-raguan.”[16]
Panca Saddha
(Lima Keyakinan umat Buddha)
1)
Keyakinan Terhadap Sang Hyang Adhi Buddha, Para Buddha
Tuhan dalam agama Buddha bukanlah hal yang baru,
melainkan hal yang telah lama di kembangkan, sejak pada abad ke IV M dari
Negara bagian Benggala, tempat kota kelahiran Acarya Asangha.[17]
Pengaruh Tantra
menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang Adhi Buddha, yaitu Buddha yang
pertama, yang dipandang sudah ada pada
mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang tidak
pernah tampak karena berada di dalam Nirwana.
Hakikat
Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia timbul dari Sunyata, kekosongan.
Dengan lima macam permenungan (dyana) sang Adhi Buddha mengalirkan dari dirinya
lima Buddha, yang disebut dyani Buddha, yaitu wairocana, Aksobhiya, Ratnasambhawa,
Amithaba, dan Amoghasiddhi. Para dyani Buddha ini dipandang menguasai
daerah-daerahnya sendiri, yang disebut Buddha ksetra. Daerah-daerah itu ada
yang digambarkan seperti alam yang murni dan ada yang kurang murni, sesuai
dengan tugas Dyani Buddha masing-masing. Di dalam daerahnya masing-masing itu mengajarkan
Dharmanya kepada para makhluk dan menolong manusia untuk mendapat pencerahan.[18]
Diatas Panca Dyani Buddha yang memancarkan Bhodisatwa dan
manusia Buddha tersebut terdapat sesuatu
yang tertinggi, permulaan yang tanpa ada yang mendahuluinya, yaitu yang disebut
Adhi Buddha, atau Tuhan Yang Maha Esa Menurut kepercayaan aliran Mahayana.
Hubungan Dyani Buddha, Bhodisatwa dan Buddha dunia
tersebut sangat erat dan membentuk kelompok yang mempunyai tugas
sendiri-sendiri dipenjuru dunia sesuai dengan arah mata angin dan masa masing-masing
ketiganya terkait menjadi satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan, sebagaimna
digambarkan dengan sangat jelas pada patung Bhodisatwa avalokatisvara di Candi
Mendut. Dalam
kepercayaan aliran Mahayana, jumlah Dyani Buddha, Bhodisatwa dan manusia Buddha
ada lima. Masing-masing kelompok bertempat di salah satu penjuru dunia, sesuai
dengan arah mata angin, dan salah satu Buddha bertempat di titik pusatnya.
Mereka berada dan bertugas dalam salah
satu masa diantara masa-masa yang jumlanya juga ada lima. Untuk masa sekarang,
yang bertanggung jawab adalah Dyani Buddha, Amitabha, Bhodisatwa
avalokatiswara, dan Manusia Budha Gautama.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa doktrin
Adhi Buddha dalam aliran Mahayana merupakan doktrin yang berusaha
mempersonifikasikan konsep kebuddhaan sebagai Tuhan atau persembahan tertinggi.
Doktrin ini sangat berbeda dengan
konsep ketuhanan agama Buddha yang mula-mula, seperti yang dipertahankan aliran Theravada
atau Hinayana.[19]
Sebagaimana kita ketahui, banyak agama-agama didunia ini
memfokuskan perhatiannya terhadap pemujaan kepada Tuhan dan makhluk-makhluk
suci lainnya, namun para umat Buddha di dunia telah memfokuskan pada tokoh
Buddha atau Sidharta Gautama—seorang manusia yang menemukan bagaimana membawa
pencerahan dari penderitaan dan keluar dari lingkaran hidup dan mati. Cara umat
Buddha untuk berhubungan dengan Buddha adalah melalui penghormatan, sebagaimana orang lain dapat memuja
kekuatan-kekuatan diluar alam atau dewa-dewa yang mereka yakini dapat
memberikan pertolongan kepadanya dan sanak keluarganya.[20]
Ajaran
agama Buddha bertitik tolak dari kenyataan yang dialami manusia dalam hidupnya.
Ajaran tidak di mulai dari prinsip yang transcendent, yang mempersoalkan
tentang Tuhan dan hubngannya dengan alam semesta dan segala isinya, melainkan
dimulai dengan menjelaskan tentang dukha yang selalu menyertai hidup manusia
dan cara membebaskan diri dari dukha tersebut. Dalam beberapa naskah pali dan
sansekerta disebutkan bahwa, sang Buddha
selalu diam apabila ditanya oleh pengikutnya tentnag Tuhan, ia menolak dan tidak
mempersoalkan tentang Tuhan, melainkan selalu menekankan pada para pengikutnya
agar mempraktekan sila ketuhanan. Sepeninggal Buddha persoalan Tuhan juga bukan
merupakan persoalan yang dianggap sangat penting dan mendesak dibicarakan dalam
pasamuan agung pertama dan kedua. Masalah yang sangat penting yang dibicarakan
dalam dua kali pasamuan itu adalah mengenai Dharma dan Vinaya. Kedua masalah
inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya beberapa mazhab besar dalam kalangan
umat Buddha.
Sekalipun demikian, benih-benih ajaran tentang Tuhan
dalam agama Buddha dapat ditelusuri dari adanya perbedaan pemahaman tentang
tingkat-tingkat keBuddhaan yang mulai muncul pada pasamuan agung kedua di
Vaisali. Aliran Staviravada yang ortodoks menekankan bahwa tingkat-tingkat
kebuddhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjalankan ajaran Sang
Buddha, sedangkan Mahasanghika menekankan bahwa benih-benih kebuddhaan telah
ada pada setiap makhluk dan hanya menunggu diwujudkan dan dikembangkan.[21]
Bikkhu
CHANDRAKIRTI, seorang Bhikkhu Indonesia, pada abad ke-X M telah menulis naskah
“NAMASANGITI” yang membahas tentang sifat-sifat dari pada sanghyang Adhi
Buddha. Naskah tersebut adalah sebagai pengungkapan kembali tentang naskah lama
abad ke-IV M yang di prakarsai oleh Bhikkhu Acarya Asangha dari Bengalora,
pendiri dari aliran Yogacara. Dari beliaulah lahirnya doktrin “ADHI BUDDHA” ;
sebagai pendalaman ajaran Mahayana yang telah di beri landasan oleh Bhikkhu
Asvaghosa, yang pada mulanya berasal dari seorang Brahmana, ahli Veda.
Naskah Theisme dalam agama Buddha juga telah
diperkenalkan pula dalam naskah-naskah di Indonesia, diantaranya dalam naskah
“KUNJARAKARMA” dari Kediri dan naskah SANGHYANG KAMAHAYANIKAN karya Mpu Sri
Warana Sambhara Surya dari kerajaan Wangsa ICANA (sendok). Dalam naskah
terakhir ini, nama lain dari Adhi Buddha adalah Bhatara Buddha. Istilah Adhi
Buddha digunakan untuk menamakan sumber kebuddhaan dan istilah ini ditemukan di Indonesia maupun
Nepal dan Tibet.[22]
Kemaha kuasaan Sanghyang Adhi Buddha dimanifestaskan
kedalam hukumnya yang disebut hukuum Kasunyataan. Hukum Kasunyataan ini adalah
hukum Tuhan YME, yang kekal abadi, yang mengatasi waktu, tempat dan keadaan.
Semua yang tercipta tunduk kepada hukum Kasunyataan ini,
dan tidak ada seorangpun yang dapat membebaskan dirinya dari berlakunya hukum
kasunyataan ini. Melalui hukum
Kasunyataan inilah Tuhan YME memperkenalkan kekuasaannya dan tidak ada
yang akan mampu menentang hukum Kasunyataan ini, baik ia seorang manusia
ataupun dewa, terkecuali orang yang telah mencapai kebebasan mutlak (Nibbana).[23]
Bukan sejarah tertarik untuk membicarakan sang Buddha,
umat Buddha sendiri juga banyak membicarakan tingkat-tingkat kebuddhaan. Umumnya
mereka berbeda dalam hal memandang tingkatan kebuddhaan tersebut. Pembicaraan
tentang tingkat kebuddhaan ini sudah mulai muncul pada pasamuan agung kedua di
vaisali. Aliran Staviravada yang ortodoks melihat bahwa tingkatan-tingkatan
kebuddhaan adalah buah dari usaha yang tekun dalam menjalankan ajaran-ajaran
Buddha, sedangkan menurut aliran Mahasanghika menekankan bahwa benih-benih
kebuddhaan telah ada pada makhluk dan hanya menunggu untuk di wujudkan dan di
kembangkan (Abdurahman 1988; 114-115).[24]
Keterangan
tentang Adhi Buddha adalah diluar daya raih otak manusia. Perkataan Adhi Buddha
mempunyai makna SUMBER DARI KESADARAN AGUNG. Artinya: kesadaran yang murni,
yang tidak mengadakan sentuhan lewat indriya, karena timbulnya kesadaran agung
itu, ialah pada saat padamnya nafsu, padamnya aktifitas indriya. Dengan
kesadaran agung, yang tidak terikat pada adanya indriya dan nafsu, dengan itu
sajalah umat Buddha dapat menunggal dengan Adhi Buddha, ialah sumber dari
ketenangan agung. Manifestasi dari pada Adhi Buddha ke makhluk adalah melewati
sifat kelima Dhyani Buddha yang telah kita pelajari di atas.
Adapun
pengertian Adhi Buddha terdapat dalam kitab-kitab:
1.
Namasangiti.
2.
Svayambhupurana.
3.
Karandavyuha.
4.
Srikalacakratantra.
5.
Cuhyasamaja Sutra.
6.
Maha Vairocanabhisambodhi Sutra.
7.
Tatvasangraha Sutra.
8.
Kalacakra Sutra.
9.
Sanhyang kamahayanikan.
Demikianlah, Sanghyang Adi Buddha di dalam agama Buddha Indonesia,
yang diamalkan dan di bina oleh Sangha Agung Indonesia. Tidak pernah
dipersonifikasikan, tidak pernah ada konsepsi apapun yang membedakan atau
mewujudkan Tuhan. Tuhan didalam agama Buddha tedapat didalam doktrin, bahwa
Tuhan berada diluar jangkauan manusiawi dan tidak ada perwujudan dalam bentuk
apapun juga.[25]
Sebutan bagi Tuhan Yang Maha
Esa untuk umat Budha Indonesia adalah Sahyang Adi Budha. Sumber dari segala
sesuatu yang ada, ada dengan sendirinya, maha Esa, Kekal Abadi, segala, sesuatu
di alam semesta adalah babaran daripada-Nya, namun segala kata-kata indah dan
besar tidak mampu melukiskan keadaan dari Sanghyang Adi Budha (33.366 ;36).
Umat Budha Indonesia sejak zaman keemasan Syailendra dan Mataram
Purba sudah yakin akan adanya Tuhan Ynag Maha Esa, seperti halnya umat Budha di
Tibet, Nepal dan Umat Budha dari Aliran Utara (24.66)[26]
Nama dan sebutan lain bagi
Sahyang Adi Budha:
o Adi Budha :
ESA, Asal mula Pertama Maha Bijaksana (Supreme Wisdom)
o Adi Budha :
pangkal dari alam semesta, Yang paling dahulu dari yang terdahulu. Yang
pertama, penguasa dari semua misteri.
o Anadi Budha :
Budha yang tidak dilahirkan/ diciptakan.
o Uru Budha :
Budha dari segala Budha.
o Bhatara Hyang
Budha : Budha tertinggi.
o Adinata :
pelindung Pertama.
o Lokhanata :
pelindung dunia yang ada.
o Visvarupa :
penuh berbagai pengejawantahan.
o Fajhradara :
Thunderbolt-nolder.
o Svabhava :
sifat Sendiri
o Sanghyang Tahya
: Permulaan dari semua.
o Sanhyang advaya
: tiada duanya.
o Paramartha :
yang Utama.
o Svayambhu : ada
tanpa diadakan.[27]
Mengenai para Buddha, terdapat 27 Buddha-Buddha yang terdahulu yaitu:
Buddha Gautama adalah Buddha yang terakhir atau yang ke
28. Buddha yang akan datang adalah Bhodisatwa Maitreya, yang
berarati : “yang penuh kasih sayang”.
Semua Buddha mengajarkan ilmu yang sama yaitu Dhamma atua Kasunyataan dan
kebajikan untuk kebebasan mutlak dari penderitaan, Nibbana.
Baik dalam aliran Hinayana maupun aliran Mahayana,
kedua-duanya mengajarkan pelajaran dan tujuan yang sama, hanya mungkin
upacara-upacara keagamaannya yang berbeda-beda.[28]
2)
Bhodisatwa dan arahat
Bhodisatwa
Secara harfiah Bhodisatwa berarti orang yang hakikat atau
tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul, pengertian
Bhodisatwa sudah dikenal juga, dan dikenalkan juga kepada Buddha Gautama,
sebelum ia menjadi Buddha. Disitu Bodhisatwa adalah orang yang sedang dalam
perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi
Buddha. Jadi semula Bhodisatwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan
untuk menjadi Buddha. Didalam Mahayana Bhodisatwa adalah orang yang sudah
melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan
tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bhodisatwa bukan hanya
merenungkan kesengsaraan dunia saja melainkan juga turut merasakannya dengan
berat. Oleh karenanya sudah mengambil
keputusan untuk mempergunakan segala aktivitasnya sekarang dan kelak guna
keselamatan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka segala kebajikannya
dipergunakan untuk menolong orang lain.
Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi
Bhodisatwa. Cita-cita ini berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu
untuk menjadi arhat, yaitu orang yang sudah berhenti keinginanya,
ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada
kelahiran tumimbal kembali. Seorang arhat hanya memikirkan kelepasan diri
sendiri[29]
Dengan daya pengetahuan dan permenungan para Dyani
Bhuddha melahirkan lima Bhidisatwa, yang disebut dyani Bhodisatwa, yaitu
wairocana melahirkan Samantabhadra, Aksobhiya melahirkan Wajrapani, Ratnasambhawa
melahirkan Ratnapani, Amithaba melahirkan padmapani atau Awalokiteswara, dan
Amoghasiddi melahirkan Wispapani. Para
Dyani Bhodisatwa ini adalah para pencipta alam bendani. Dunia yang mereka
jadikan dapat binasa. Ada tiga yang sudah binasa. Dunia yang sekarang adalah
dunia yang ke empat, hasil karya awalokiteswara, yang memiliki Amithaba sebagai
pelindungnya.[30]
Arahat
Permulaan agama Buddha menanamkan ide rangkap mengenai
arhatva dan nirvana. Buddha Gautama mengajarkan kepada murid-muridnya yang pertama
kali dengan khotbah enpat Kasunyataan Mulia dan Delapan jalan utama serta
menekankan pada ketidak-kekalan dan tiada kepemilikan dari semua unsur pokok
mengenai pribadi manusia. Para sisiwa ini dipanggil arhat, dan Buddha sendiri
diuraikan sebagia seorang arhat. Konsepsi mengenai arahat dikembangkan dan
diperinci secara perlahan-lahan oleh guru dan penggantinya. Jadi seorang arahat
juga diharuskan menegerti formula mengenai duabelas nidanas (sebab-akibat). Dia
ditetapkan sebagai seorang yang telah mencabut tiga asravas (asava = minuman
keras, dosa, dan kesalahan dari keinginan akan rasa, suka akan yang ada, dan
ketidak tahuan, dan juga tambahan ke-empat asrava mengenai pikiran yang
spekulasi. Dia melatih tujuh faktor penerangan (shambojjhanga): kesadaran,
penelitian, energi, kesenangan, ketenangan, konsentrasi, dan ketenangan hati.[31]
Arhat juga menjadi cita-cita tertinggi dari aliran
Hinayana, yaitu orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidak tahuannya, dan
sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada kelahiran kembali.[32]
Seorang arahat yang telah terbebas, mengetahui dia tidak akan
telahir kembali. Dia telah menyelesaikan dengan baik apa yang dikerjakan. Dia
telah melepaskan bebannya. Dia hidup pada kehidupan suci. Dia mencapai
kebersihan-kemurnian dan akhir emansipasinya dari pikiran hati. Dia sendiri,
menyendiri, bersemangat, bersungguh-sungguh, menguasai dirinya sendiri.
Seorang arhat seperti itu juga pergi sebagai pengkhotbah dan
mengajarkan ajaran Buddha kepada orang-orang. Guru itu sangat menganjurkan
kepada para siswanya untuk pergi berkelana dan berkhotbah kebenaran demi
kebaikan dan pembebasan untuk orang banyak, karena dia mengasihi teman-temannya
semakhluk dan menaruh kasihan kepada mereka.
Hal seperti itu adalah ide arahat itu, sebagaimana dimengerti
selama tiga abad setelah Buddha Gautama parinibana.
Tetapi nyatanya bahwa para bhikku agama Buddha mulai mengabaikan
aspek pentng tertentu dari pada itu dalam abad ke-2 SM, dan menekankan beberapa
Tugas terhadap pengeluaran dari pada yang lainnya. Mereka menjadi lebih
mementingkan diri dan tafakur, dan tidak menunjukan dengan jelas semangat lama
itu demi tugas mengajar dan menyebarkan agama atau misionari di antara manusia.
Mereka nampaknya hanya memperhatikan demi pembebasan bagi mereka sendiri dari
dosa dan duka. Mereka tidak membedakan terhadap tugas untuk mengajar dan
membantu semua makhluk manusia.
Ajara Bhodisatwa diumumkan secara resmi oleh beberapa pemuka agama
Buddha sebagai suatu protes terhadap kekurangan dari semangat spiritual yang
benar ini dan altruism (sifat mementingkan kepentingan orang lain) di antara
para bhikku pada waktu itu. Kedinginan dan kejauhan dari para arahat itu
menunjukan suatu pergeseran yang sesuai dengan ajaran lama mengenai
menyelamatkan semua makhluk. Ide Bhodisatwa dapat dimengerti hanya menantang
latar belakang ini mengenai seorang saleh dan tenang, namun tidak aktif dan
golongan viharawan atau viharawati yang tidak cekatan.[33]
Kesimpulan
Tidak dapat dikatakan bahwa di dalam ajaran
agama Buddha seperti yang terdapat di dalam kitab-kitab Pitaka terdapat ajaran
tentang Tuhan atau tokoh yang di pertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali
kepada asalanya, yaitu Tuhan, melainkan untuk masuk kedalam nirwana, pemadaman,
suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan, tanpa
kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah
situasi damai. Oleh karena itu maka ada ahli-ahli agama yang tidak mau
mengakui,bahwa Bhuddisme adalah suatu agama. Bhuddisme adalah suatu falsafah,
suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang
sistematis mengenai sebab dan akibat.
Akan tetapi kami kira pendapat yang demikian
itu adalah keliru. Memang, harus di akui, bahwa sebutan Tuhan atau tokoh yang
dipertuhankan tidak ada. Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam,
bukan tokoh yang memadamkan. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada
dibelakang suasana damai itu.
Tidak ada gagasan tentang pemberi hukum, yang
ada adalah hukum, tata tertib (karma) baik yang alamiah maupun yang moril.
Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, di
belakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan
yang dipertuhan tadi.
Dilihat dari keyakinan Kristen dapat
dikatakan, bahwa Buddha Gautama meraba-raba dan mencari kepada “Yang Tidak Jauh
dari padanya”. Berdasarkan kenyataan bahwa didalam ajaran Buddha manusia rindu
akan kelepasannya serta mencari-cari kan “Yang tak dilihatnya” dapat dikatakan,
bahwa Buddhisme adalah suatu agama, denganya manusia berusaha mencari Tuhanya.
Tuhan atau tokoh yang dipertuhan terdapat juga didalamnya.
Hanya Tuhan itu sukar ditemukan. Tokoh itu
dikaburkan menjadi sesuatu yang tak berpribadi. Itulah sebabnya tidak ada
hubungan aku-Engkau antara manusia dengan yang dipertuhan. Tetapi bagaimanapun
Bhudisme adalah suatu ajaran kelepasan, suatu ajaran yang ingin membawa manusia
pada jalan kelepasan karena merasa bahwa hidup ini tidak bebas.[34]
Daftar Pustaka
Arifin M.Ed, H.M., Menguak Misteri Ajaran
Agama-agama Besar, Jakarta: PT Golden Press, 1995.
Ali, Mukti H.A., Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988. Dasa Kausalya karma Sutra (Dharma Pitaka), Bogor-Jawa Barat 2008
Hadiwijono, Harun., Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 2010.
Kebahagiaan Dalam Dhamma, Jakarta: Majelis Buddha Mahayana
Indonesia
T, Suwarto., Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha
Indonesia, 1995.
Tanggok, M Ikhsan., Agama Buddha, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Jakarta, 2009.
Widhyadharma, Maha Pandita Sumedha, Dhamma Sari, Jakarta: Yayasan
kantaka Kencana, 1990.
[1] Kebahagiaan Dalam Dhamma (Majelis Budhayana Indonesia) hal339
[2] Prof. H.M. Arifin M.Ed “Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar “
(PT Golden Press- Jakarta 1995) cet 1 hal 95
[3] “Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha” (CV. Dewi Kayana
Abadi- Jakarta 2003) hal. 3
[6] Sakyamuni adalah sebutan lain bagi Budha Gautama, karena ia berasal
dari suku Sakya.
[7] Waktu kosmik adalah kalpa.
Satu kalpa adalah suatu periode waktu yang sangat lampau yaitu 4326 juta tahun.
[8] Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha
Indonesia-Jakarta 1995)cet 1 hal 50. (
Dipankara Budha adalah nama atau gelar dari salah satu 27 Budha, sebelum Budha
Gautama.)
[9] Drs. Suwarto T. “Budha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Budha
Mahayana Indonesia. Palemabang 1995) cet 1 hal. 49-50.
[10] Drs. Suwarto T. “Budha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Budha
Mahayana Indonesia. Palemabang 1995) cet 1 hal. 49-50.
[11] Dasa Kausalya karma Sutra (Dharma Pitaka) cet 2 hal 3
[12] Prof. H.M. Arifin M.Ed “Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar”
hal 96-99
[13] Maha Pandita Sumedha
Widyadharma. “Dhamma Sari” (Yayasan Kanthaka Kencana-Jakarta 1990) hal 11-12
[14] “kebahagiaan Dalam Dhamma”
(Majelis Buddhayana Indonesia) hal 15
[15] “kebahagiaan Dalam Dhamma” (Majelis Buddhayana Indonesia) hal 15-16
[16] Maha Pandita Sumedha
Widyadharma. “Dhamma Sari” hal 13
[17] “kebahagiaan Dalam Dhamma” (Majelis Buddhayana Indonesia) hal 337
[18] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha” (Gunung Mulia-Jakarta
2010)cet17 hal 94-95
[19] H. A. Mukti Ali. “Agama-Agama Di dunia” (IAIN Sunan Kalijaga
Press-Yogyakarta1988)cet 1 hal 120-121
[20] M. Ikhsan Tanggok. “Agama Buddha” (Lembaga Penelitian UIN Jakarta, Ciputat Jak Sel. 2009) cet 1 hal. 33.
[21] H. A. Mukti Ali “Agama-agama di Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga Press.
Yogyakarta. 1988) cet 1. Hal 114-115
[22] ”Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 337-339
[23] ”Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 341
[24] M. Ikhsan Tanggok ‘’Agama
Buddha” hal42
[25] Kebahagiaan dalam Dhamma (Majelis BUdhayana Indonesia) hal 342-343
[26] Doktrin Sahyang Adi Budha Tuhan Yang Maha Esa didalam Agama Budha
Indonesia (yayasan BUDDHAYANA- kepu selatan-Jakarta) h.7
[27] Doktrin Sahyang Adi Budha Tuhan Yang Maha Esa didalam Agama Budha
Indonesia (yayasan BUDDHAYANA- kepu selatan-Jakarta) h
[28] “Kebahagiaan Dalam
Dhamma” hal 336
[29] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha” (PT BPK Gunung
Mulia-Jakarta 2010) cet 17 hal91-92
[30] Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha”hal 95
[31] “Buddha Dharma Mahayana”
hal 131
[32] Harun Hadiwijono. Hal 91
[33] Dr. Suwarto T. “Buddha Mahayana” hal132-133
[34] Harun Hadiwijono ‘’Agama
Hindu dan Buddha”hal101-102
0 komentar:
Posting Komentar