KUMPULAN RESPONDING PAPER AGAMA BUDDHA
Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Dissusun Oleh
Diana Puspasari (1111032100046)
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan
A. Pengertian Hukum Kasunyataan
Kasunyataan (Sacca) berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa Sansekerta
disebut Satya artinya fakta yang tidak dapat dibantah.[1]Hukum
Kasunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan
tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kasunyataan bersifat kekal dan
abadi sepanjang masa yang berlaku di semua tempat, didalam semua keadaan di
setiap waktu. Kasunyataan yang dibuat oleh sesuatu yang kekal dan abadi yaitu
Sanghyang Adi Budha. [2]
ada empat hukum Kesunyataan yaitu:
a.
Cattari Ariya Saccani
artinya Empat Kebenaran Mulia/ Empat Kesunyataan.
b.
Kamma artinya
Sebab-Akibat Perbuatan dan Punabbhava artinya Kelahiran Kembali atau Tumimbal
Lahir
c.
Tilakkhana artinya Tiga Corak Umum dan Pancakkhandha
artinya Lima Kelompok Kehidupan atau yang disebut manusia.
d.
Paticca
Samuppada artinya Pokok Permulaan Sebab-Akibat yang Saling Bergantungan.
B. Cattur Arya Sacccani (Empat Kebenaran
Mulia)
Kasunyataan (Sacca) berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa Sanskerta
disebut Satya artinya fakta yang
tidak dapat dibantah. Menurut pandangan Budha ada empat Kasunyataan yang
berhubungan dengan manusia.[3]
Budha Gotama mengajarkan Pembebasan Diri Dari Segala Derita, dengan menerangkan empat faktor
didalamnya:
1.
Kesunyataan tentang Dukkha atau Dukkha Ariyasacca
Dukkha diterjemahkan sebagai penderitaan
atau duka cita. Sebagai perasaan dukkha berarti sesuatu yang sulit ditahan (du=sulit, kha=menahan). Yang termasuk dalam dukkha antara lain:
a.
Kelahiran, usia lanjut, kematian adalah
dukkha.
b.
Timbulnya kesedihan, ratap tangis,
kesakitan, kesengsaraan, putus asa adalah dukkha.
c.
Keinginan yang tidak tercapai adalah
dukkha.
d.
Kehilangan sesuatu yang dicintai/disukai
dan berkumpul atau selalu dekat dengan yang dibenci adalah dukkha.
e.
Masih banyak lagi yang lain-lainnya.
Secara singkat susunan badan ini sendirilah sumber
penderitaan. Penderitaan bergantung pada manusia dan berbagai segi kehidupan,
harus diamati dan diuji dengan cermat.
2.
Kesunyataan
tentang Asal-Mula Dukkha atau Dukkha
Samudaya
Ariyasacca
Dukkha disebabkan oleh adanya nafsu
keinginan, kehausan, kerinduan (Tanha) yang berhubungan dengan kenikmatan
indriya dan pemikiran untuk terus mempertahankannya, atau menolak sesuatu yang
tidak disukai/dicinta dan hal ini mengakibatkan timbulnya proses tumimbal-lahir
(rebirth).[4]
3.
Kesunyataan tentang Lenyapnya Dukkha atau Dukkhanirodha Ariyasacca.
Penderitaan
maupun keinginan hanya dapat di hapuskan dengan mengikuti Jalan Tengah, yang
dipaparkan oleh Sang Budha, serta mencapai Kebahagiaan Nibbāna. Berhentinya
penderitaan secara tuntas yaitu Nibbāna, tujuan akhir semua umat Budha. Itu
dapat tercapai dengan menghilangkan segala bentuk napsu keinginan secara
menyeluruh.[5]
4.
Kesunyataan tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha atau
Dukkhanirodhagaminipatipada Arriyasacca.
Kesunyataan
ini harus disadari dengan mengembangkan Jalan Ariya Berunsur Delapan yang
merupakan Kesunyataan Mulia ke empat. Delapan Ruas Jalan Utama atau Ariya
Atthangika Magga adalah merupakan Parama Bodhi Marga atau Jalan Untuk Mencapai
Penerangan Sempurna.
Delapan Ruas Jalan Utama itu terdiri atas:[6]
a.
Harus memiliki pandangan / pengertian benar atau
Samma Ditthi
b.
Pikiran benar atau Samma Sankappa
c.
Ucapan benar atau Samma Vaca
d.
Perbuatan benar atau Samma Kammanta
e.
Mata pencaharian benar atau Samma Ajiva
f.
Daya upaya benar atau Samma Vayama
g.
Perhatian benar atau Samma Sati
h.
Konsentrasi benar atau Samma Samadhi
C.
KAMMA (Hukum Karma)
Kamma adalah kata Pali dan Karma
adalah kata Sanskerta yang secara singkat berarti “Perbuatan”, yaitu setiap
perbuatan didahului oleh suatu sebab dan setelah dilakukan.
Jadi, Kamma adalah suatu perwujudan
dari perbuatan, yakni meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan yang
baik maupun yang buruk; dan lahir maupun batin atau jasmani atau rohani. Makna
yang luas dari Kamma sebenarnya ialah semua keinginan yang tidak
membeda-bedakan apakah keinginan/kehendak itu bermoral (berakhlak) ataupun yang
tidak bermoral.[7]
Semua perbuatan yang dilakukan akan meimbulkan akibat dan awal kejadian disebut
dengan sebab, sehingga Kamma juga disebut sebagai “HUKUM SEBAB AKIBAT
PERBUATAN”.
D. PUNNABBHAVA(Tumimbal Lahir)
Perihal Tumimbal Lahir, ajaran Budha menyatakan bahwa
hidup ini merupakan proses yang berkesinambungan dari hidup yang lampau, hidup
sekarang, dan hidup yang akan datang. Kesinambungan dan keterkaitan hidup ini
berlangsung terus-menerus karena adanya “daya hidup” yang berupa “akibat
perilaku” dari perilaku-perilaku manusia yang telah dilakukannya. Apabila
manusia tidak memiliki “daya hidup” lagi maka ia dikatakan mencapai kebebasan
dari hidup. Hal ini berarti kebebasan dari penderitaan.[8]
E.
Pengertian Tilakhana
Tilakhana artinya Tiga corak yang
Universal dan ini termasuk Hukum Kesunyataan, berarti hukum ini berlaku
dimana-mana dan pada setiap waktu. Jadi Hukum ini tidak terikat oleh waktu dan
tempat.[9] Tiga corak umum yaitu:[10]
a.
Anicca
: semua bentuk yang berkondisi adalah tidak kekal
b.
Dukha
: semua bentuk yang terkondisi adalah tidak sempurna
c.
Anatta:
semua bentuk yang terkondisi dan bentuk yang tidak terkondisi adalah tanpa
“AKU”
Aniccaa: artinya itu semua bentuk yang terkondisi adalah tidak
kekal
atau selalu berubah-ubah.
Dukha: semua bentuk yang terkondisi
adalah tidak sempurna. Segala sesuatu yang tidak kekal menimbulkan penderitaan,
atau penderitaan terjadi karena adanya perubahan yang terus menerus.
Yang menimbulkan Dukkha menurut
hukum paticca samuppada yaitu :
1.
TANHA DI IKUTI OLEH UPADANA
Tanha yaitu keinginan kehausan atau kerinduan, dan Upadana yaitu kemelekatan atau ikatan,untuk mencapai sesuatu yang di inginkannya.
Tanha yaitu keinginan kehausan atau kerinduan, dan Upadana yaitu kemelekatan atau ikatan,untuk mencapai sesuatu yang di inginkannya.
2.
UPADANA
DIIKUTI OLEH BHAVA
Bhava sesungguhnya yang berarti terbentuk dan disini di artikan
sebagai terbentuknya yang bererti terbentuknya proses kehidupan kita, Maka
bergantung kepada Upadana terbentuknya proses kehidupan kita ( proses kamma ).
3.
BHAVA
DIIKUTI OLEH JATI, JARAMARANA
Jika Bhava (proses kehidupan atau arus penjelmaan) ini terbentuk,
maka timbullah kelahiran, usia tua, kematian, mengalami sukses dan kegagalan,
harapan dan kekecewaan; dengan demikian timbullah segala macam penderitaan.
Kata anatma berarti tiada jiwa. Ajaran ini tidak dapat dipisahkan
dari ajaran anitya, yang mengajarkan bahwa tiada sesuatu yang tidak berubah.
Jika tiada sesuatu yang tidak berubah maka juga tiada jiwa yang kekal.[11]
Anatma dapat juga diterangkan dalam
3 tingkatan yaitu;[12]
1.
Tidak
perlu mementingkan diri sendiri. Contoh; terlalu egoistis
Kita tidak
dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja, termasuk tubuh jasmani dan
pikiran kita supaya tetap seperti apa yang kita inginkan.
2.
Bila
tingkat pengetahuan tinggi telah dicapai dan telah memperaktekan akan
mengetahui dan menemukan bahwa jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa “Aku”,
atau tanpa pribadi.
3.
Anatma
adalah Doktrin agama Buddha bahwa tidak terdapat suatu kekekalan “Aku”
(Atta) yang terdapat di dalam tiap-tiap individu manusia.
F.
Pattica Sammuppada
Paticca
Samuppada memberikan arti: Timbul atas dasar dari suatu sebab sebelumnya,
terjadi dengan cara dari sebab kejadian sebab-musabab, ketergantungan asal
mula.[13]
Bunyi
hukum pattica sammuppada [14]
Paticca samuppada terdiri atas:
PATICCA artinya DISYARATKAN dan kata SAMUPPADA artinya MUNCUL BERSAMAAN. Jadi
perkataan paticca samuppada artinya kurang lebih yaitu MUNCUL BERSAMAAN KARENA
SYARAT BERANTAI, atau terjemahan yang sering terlihat dalam buku-buku, yaitu
“POKOK PERMULAAN SEBAB AKIBAT YANG SALING BERGANTUNGAN”.
Paticca
samuppada merupakan penjelasan tentang proses kelahiran dan kematian, ia
berhubungan dengan sebab tumimbal lahir dan penderitaan, dengan pengharapan
membantu manusia membebaskan diri dari penderitaan hidup.[15]
Prinsip
dari ajaran hukum patticasammuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek
yang berbunyi sebagai berikut :
1.
Dengan
adanya ini,maka terjadilah itu.
2.
Dengan
timbulnya ini,maka timbullah itu
3.
Dengan
tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
4.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Djam’annuri, Agama
Kita. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009.
Mahatera, Ven.
NĀRADA, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya.
Jakarta: Yayasan Dhammadīpa Ārāma. 1992 Bag. 2
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana.
Suwarto T. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. 1995
Majelis
Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Depok : Bromo fc
Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma. Jakarta: 1980.
Keyakinan Terhadap Kitab Suci (Tripitaka)
I.
Pendahuluan
II.
Pengertian Tripitaka dan Sejarah Penulisannya
Ajaran agama Buddha
bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah, keterangan,
perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha dengan para siswa
dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak hanya
berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata dan
komentar-komentar dari para siswanya. Oleh
para siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar, yang
dikenal dengan pitaka atau keranjang, yaitu Vinaya pitaka, Suttra
pitaka, dan Abidharma pitaka.[17]
Pada sekitar empat abad, agama Buddha menyampaikan
isi kitab sucinya dengan tradisi yang diteruskan secara lisan oleh
pemimpin-pemimpin agama Buddha yang hidup pada
abad-abad pertama diteruskan oleh Persamuan-persamuan Agung yang
dikuatkan oleh hafalan-hafalan pada masa itu. Kemudian dilakukanlah pengumpulan
yang secara lisan tadi, seperti khotbah-khotbah, kata-kata mutiara, syair,
cerita-cerita, peraturan-peraturan, dan lain-lain yang dikelompokkan menjadi
tiga kelompok seperti yang sudah saya
sebutkan di atas yang dikenal sebagai
‘pitaka’[18]
Sehubungan
dengan sumber-sumber diatas, ada dua pandangan yang berbeda, yakni antara
golongan Therevada dan
Mahayana. Golongan pertama menganggap bahwa hanya kitab Tripitaka
yang dikumpulkan pada pesamuan agung pertama tahun 483 SM. saja yang dapat
dianggap sebagai diajarkan sendiri oleh sang Buddha, sedangkan golongan
Mahayana, selain menerima Tripitaka sebagai sumber ajarannya, juga menjadikan
kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai sumber ajarannya. Kitab-kitab tersebut
antara lain adalah Karandavyriha, Sukhavatiyuha, Lalitavistara, Mahayanacradhhautpada,
Saddharmapundarika, Madyamika-sutra, Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan
lain sebagainya.[19]
A. Sutra Pitaka
Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta
(bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu ‘benang’. Benang adalah tali halus
yang dipintal dari kapas atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau
merangkai sesuatu. Setiap khotbah Hyang Buddha seperti kata-kata yang dirangkai
menjadi satu dengan indah dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan, tidak
acak-acakan serta tidak saling bertentangan, oleh sebab itu khotbah Hyang
Buddha disebut ‘sutra’.[20] Sutra Pittaka sendiri berisi dhamma atau ajaran Buddha kepada muridnya.[21] Kitab Sutra Pitaka juga memuat
uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna bagi para bhikku atau
biksu dan pengikut yang lain.[22]
Kitab
Sutra Pitaka ini juga tidak hanya memuat ucapan-ucapan Buddha Gautama saja
melainkan ucapan para thera semasa hidupnya, dan juga riwayat hidup dari
para bhikku dan bhikkuni. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah
kitab Dhammapada yang mengutarakan peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan Buddha dan cara yang diajarkannya untuk menyembuhkan penyakit yang
terdapat dalam diri manusia. Buku ini terdiri atas 423 syair dan sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain Dhammapada juga ada
kitab Udana yang berisi ucapan-ucapan Buddha yang disampaikan pada
berbagai kesempatan, theragata yang merupakan kumpulan syair yang
disusun oleh para thera semasa Buddha masih hidup. Riwayat hidup Buddha
yang terdahulu dan kehidupan dari 25 Buddha lainnya juga diceritakan dalam
Sutranikaya ini, terutama kitab-kitab Jataka, Apadana, Buddhavamsa, dan
CariyaPitaka.[23]
B. Vinaya Vitaka
Berisi
peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha atau jemaat,
kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib,
dan sebagainya[24].
Selain itu, kitab suci VinayaPitaka ini juga berisi peraturan-peraturan bagi
para Bhikku dan Bhikkuni,[25] dan terdiri atas Sutra
Vibanga, Khandaka, dan Parivawa.[26] Skema umum isi
VinayaPitaka:[27]
-
Bagian yang berhubungan dengan Pratimoksa
atau Patimokha, yaitu peraturan-peraturan untuk para biksu atau bikkhu
yang dinamakan ‘bagian bhikku’ (bhikkuvibhanga).
-
Bagian yang sama untuk para bhikkuni.
-
Suatu bagian yang dinamakan ‘khandhaka’
(kelompok), tiap-tiap kelompok berhubungan dengan suatu aspek khusus mengenai
kehidupan dari sangha, seperti pentahbisan, upasattha, memenuhi
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pakaian, jubah, obat-obatan,
makanan, tempat tinggal, dan lain sebagainya.
C. Abbhidharma
Vitaka
Abidharma atau abhidhamma
adalah susunan ceramah dan perkembangan logika tentang dharma dari ajaran Hyang
Buddha, membahas filsafat dan metafisika, juga sastra, memberikan definisi
kata-kata Buddha Dharma, dan penjelasan terperinci mengenai filsafat
dengan sistematis, memantapkan suatu metode mengenai latihan spiritual oleh
para sesepuh dari aliran atau sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma
ini dinamakan Abidharma Pitaka.[28] Sehingga Abbidharma
Pitaka berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat dan tujuan hidup
manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain sebagainya.[29]
Kitab
ini terdiri dari tujuh buah buku, yaitu: Dhammasangani,
Vibhanga, Dathukatha, Puggalapannatti, Kathavatthu, Yamaka, dan Patthana.
Berbeda dengan kitab Sutra Pitaka dan VinayaPitaka yang menggunakan bahasa
naratif, sederhana dan mudah dimengerti umum, gaya bahasa kitab Abbidharma
Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis.[30]
Tetapi,
selain pengelompokan diatas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu kitab-kitab Sutra dan kitab-kitab Sastra. Kitab Sutra
adalah kitab-kitab yang dipandang berisi
ucapan Buddha sendiri meskipun ditulis jauh sesudah ia meninggal dunia,
sedangkan kitab Sastra adalah uraian-uraian yang ditulis oleh para tokoh yang
ternama. Uraian-uraian tersebut biasanya disusun secara sistematis.[31]
Menurut
aliran Hinayana yang dianggap sebagai kitab-kitab Sutra ialah kitab-kitab yang
dulu dikumpulkan pada Muktamar Buddhis pertama, sekitar tahun 383 S.M. Dan
semua kitab yang muncul setelah itu tidak diakui keasliannya. Namun, berbeda
dengan Hinayana, aliran Mahayana berpendapat bahwa kitab-kitab Sutra yang
muncul setelah Muktamar pertama pun dipandang asli dan diyakini diucapkan oleh
sang Buddha sendiri. Dengan demikian, berkaitan
dengan kitab suci Tripitaka yang merupakan sumber ajaran agama Buddha
seperti yang telah diterangkan di atas,
ada dua pandangan yang beda, yakni antara golongan Theravada dan Mahayana.
Golongan pertama menganggap bahwa kitab Tripitaka yang dikumpulkan pada
Pasamuan Agung yang pertama tahun 483 S.M. saja yang dapat dianggap sebagai
ajaran yang diajarkan sendiri oleh Buddha, sedangkan golongan Mahayana selain
menerima Tripitaka sebagai sumber ajarannya juga menjadikan kitab-kitab Sutra
dan Sastra sebagai sumber ajarannya. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Karandavyriha, Sukhavatiyuha, Lalitavistara,
Mahayanacradhautpada, Saddharmapundarika, Madyamika-sutra,
Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain-lain.[32]
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Mukti. Agama-Agama
di Dunia. Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Pres. 1998
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti. 1983.
Hadiwijono, Harun Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia. 2010
Romdhon, dkk. Agama-Agama di Dunia. Jakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press. 1988
Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia. 1995.
NIBBANA
I.
PENDAHULUAN
Pemahaman kita
tentang Nibbana sulit kita dapatkan dari hanya membaca buku-buku saja. Nibbana
bukanlah sebuah subyek untuk dimengerti oleh orang yang pandai saja, ini adalah
suatu keadaan diluar keduniawian.
Nibbana yang
hanya berdasarkan intelektual adalah mustahil. Kerena hal ini bukan suatu
masalah yang dicapai berdasarkan pemikiran yang logis. Kata-kata Sang Buddha
memang masuk diakal, tetapi Nibbana yang merupakan tujuan terakhir agama Buddha
berada diluar jangkauan logika. Meskipun demikian, dengan membayangkan segi
positif dan negatif dari kehidupan, kesimpulan yang logis timbul dalam
pertentangan suatu keadaan kehidupan yang luar biasa, pasti ada suatu keadaan
tanpa penderitaan, tanpa kematian, tanpa kondisi.
II. NIBBANA
A. Pengertian Nibbana dan Sifat-Sifatnya
Nibbana
adalah suatu keadaan di luar keduniawian (Lokuttara
Dhamma). Nibbana berada diluar jangkauan logika dan pemahaman berdasarkan
intelektual mengenai hal ini adalah mustahil. Kata Pali Nibbana (bahasa Sansekerta – Nirvana) terdiri dari kata ‘Ni dan Vana’.[33] Ni adalah suatu unsur negative. Vana berarti Jalinan atau Keinginan.
Disebut Nibbana karena ada suatu perpisahan (Ni) dari keinginan yang disebut Vana,
nafsu keinginan. Bila semua bentuk keinginan dibasmi, daya kemampuan Kamma
berhenti bekerja, dan seseorang mencapai Nibbana, terlepas dari lingkaran
kelahiran dan kematian. Nibbana juga diterangkan sebagai pemadaman api nafsu
keinginan (Lobha), kebencian (Dosa), dan khayalan (Moha).
B.
Jalan
Menuju Nibbana
Jalan
menuju ke Nibbana adalah Jalan Tengah (Majjma
Patipada).
Jalan Tengah ini
terdiri dari delapan unsur sebagai berikut:
a.
Harus memiliki
pandangan / pengertian benar atau Samma Ditthi
b.
Pikiran benar
atau Samma Sankappa
c.
Ucapan benar
atau Samma Vaca
d.
Perbuatan benar
atau Samma Kammanta
e.
Mata pencaharian
benar atau Samma Ajiva
f.
Daya upaya benar
atau Samma Vayama
g.
Perhatian benar
atau Samma Sati
h.
Konsentrasi
benar atau Samma Samadhi
Dua yang pertama digolongkan
sebagai kebijaksanaan (panna), tiga
yang berikutnya sebagai Kesusilaan (sila),
dan tiga terakhir sebagai Konsentrasi (samadhi).[34]
Nibbana dapat dicapai di dalam hidup sekarang atau
dapat pula dicapai setelah mati. Nibbana yang dicapai semasa hidup di dalam
dunia ini, masih mengandung sisa-sisa kelompok kehidupan yang masih ada
(sa-upadisesa-nibbana), seperti yang dicapai oleh Buddha Gautama di dalam
kehidupannya di dunia. Meskipun bathin beliau telah bersih dari lobba, dosa,
dan moha, sebelum menjadi Buddha, beliau dilahirkan sebagai Siddharta Gautama,
maka beliau masih dapat wafat. Hal ini sesuai dengan azas ajaran Anicca yang
berbunyi “Sabbe Sankhara Annica” yang berarti semua yang dilahirkan karena
syarat - syarat akan berubah adalah tidak kekal. Demikian pula halnya dengan
Siddharta Gautama, yang terlahir sebagai putra Raja Suddhodana, harus akhirnya
wafat, meskipun beliau telah menjadi Buddha dan telah mencapai Nibbana dalam
kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan Nibbana yang dicapai masih mengandung
sisa-sisa lima kelompok kehidupan yang masih ada.[35]
Kemudian setelah Buddha Gautama wafat, maka beliau
telah mencapai Nibbana yang tidak lagi mengandung sisa – sisa kehidupan
(an-upadisesa-nibbana). Beliau telah bebas dari kelahiran, penderitaan, umur
tua, dan kematian dan telah hidup dalam kebahagiaan yang kekal nan abadi.[36]
DAFTAR PUSTAKA
Mahatera, Ven. NĀRADA. Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya. Jakarta:
Yayasan Dhammadīpa Ārāma. 1992.Bag. 2
Majelis
Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam Dhamma. Depok : Bromo fc
Meditasi dalam Budhisme
I. PENDAHULUAN
Bagi
orang-orang beragama yang tekun beribadat, yang ingin mencari kesucian batin
atau kemajuan rohani, hendaklah selalu berusaha untuk menolak perintah dari
indria-indria yang ingin mendapatkan kepuasan badaniah, serta mencoba
memusnahkan pengaruh dan kekuasaannya itu, supaya kesadaran bisa sepenuhnya
menerangi dirinya pribadi. Batin
yang diterangi oleh kesadaran sejati, dalam berbagai agama secara umum
dinamakan "bersatu dengan Yang Maha Esa"
Untuk
mencapai tujuan itu, sebagai tindakan pertama, wajiblah orang mulai menggunakan
sebagian dari waktunya untuk melupakan urusan yang menyangkut kepentingan
lahiriah. Semua ini hanya dapat dilakukan dengan jalan meditasi atau
Mengheningkan Cipta, dimana seseorang pada waktu melakukan meditasi memusatkan
kesadaran pikirannya ntuk ditujukan ke arah yang suci dan mulia.
II. MEDITASI
A. Pengertian
Meditasi
Istilah
meditasi sebenarnya dapat disamakan dengan istilah ‘bhavana’ yang arti
harfiahnya ‘pengembangan batin’ yakni usaha untuk menumbuhkan batin terpusat,
tenang, mampu dengan jelas melihat sifat batin sesungguhnya gejala apapun yang
dapat merealisir Nibbana, suatu keadaan batin ideal dari batin yang sehat.[37]
Meditasi bertujuan untuk melihat esensi diri dan sampai pada
akhirnya kita menyadari bahwa segala sesuatu tidaklah kekal (impermanence) sehingga
membantu pengembangan pandangan benar. Untuk bisa melihat bahwa segala sesuatu itu tidaklah kekal, maka
pikiran ini harus diam –jangan malah terlarut dalam perubahan. Namun, selama
bermeditasi pun pasti terdapat rintangan yang muncul dan bisa menjadi penyebab
kegagalan meditasi seseorang. Rintangan tersebut sebenarnya sudah ada dalam
kehidupan kita sehari-hari namun akan tampak semakin jelas ketika kita berupaya
untuk mengamati pikiran ini. [38]
Lima rintangan batin
(nivarana) dalam meditasi:
1.
Thinamiddha – kelambanan,
kemalasan, kebosanan Ibarat terdapat sebuah kolam dan kita hendak melihat ke
dasar kolam tersebut, maka keadaan pikiran yang malas dan bosan dapat
diibaratkan sebagai kolam yang permukaannya penuh lumpur pekat sehingga kita
tidak dapat melihat dasar kolam
2.
Uddhaccakkukkuca – kekacauan,
kegelisahan, kekhawatiran Ibarat kolam yang beriak/bergelombang karena angin
3.
Vicikiccha – keragu-raguan Ibarat
melihat kolam pada waktu gelap atau tidak ada penerangan
4.
Kammacchanda – keinginan Ibarat
kolam yang permukaannya dipenuhi bunga-bunga cantik
Meditasi dalam Agama Buddhis ada dua macam: Pemusatan Batin
(samatha atau samadhi) dan Pandangan Terang (vipasana atau adarsana). Yang
masing-masing penjelasannya adalah sebagai berikut.
1.
Meditasi
Samatha-Bhavana yakni meditasi untuk mencapai keterangan hidup. Dalam abad
nuklir ini, dimana kehidupan terasa semakinkeras dan kompleks, memang sangat
dibutuhkan meditasi samatha bhavana ini, untuk menghilangkan stress, frustasi
dan untuk menciptakan ketenangan batin.
2.
Meditasi
Vipassana-Bhavana, yakni mediatsi yang dapat membersihkan kekotoran bathin dan
pikiran secara total, sehingga kita dapat mencapai pandangan terang.[40]
B.
Objek Meditasi
1. Samatha Bhavan
Dalam
Samatha Bhavana ada 40 objek meditasi. Objek-objek meditasi ini dapat dipilih
salah satu yang kiranya cocok dengan sifat atau pribadi seseorang. Pemilihan
ini dimaksudkan untuk membantu mempercepat perkembangannya. Pemilihan sebaiknya
dilakukan dengan bantuan seorang guru.[41]
Keempat
puluh macam objek meditasi itu ialah:
a.
Sepuluh kasina (10
wujud benda), yaitu:
1.
Pathavi
kasina = wujud tanah
2.
Apo
kasina = wujud air
3.
Tejo
kasina = wujud api
4.
Vayo
kasina = wujud udara atau
angin
5.
Nila
kasina = wujud warna
biru
6.
Pita
kasina = wujud warna
kuning
7.
Lohita
kasina = wujud warna merah
8.
Odata
kasina = wujud warna putih
9.
Aloka
kasina = wujud cahaya
10.
Akasa
kasina = wujud ruangan
terbatas
b.
Sepuluh asubha (10 wujud kotoran), yaitu:
1.
Uddhumataka = wujud mayat yang membekak
2.
Vinilaka = wujud mayat yang
berwarna kebiru-biruan
3.
Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah
4.
Vicchiddaka
= wujud mayat yang terbelah
di tengahnya
5.
Vikkahayatika = wujud mayat yang digerogoti
binatang-binatang
6.
Vikkhittaka
= wujud mayat yang telah
hancur lebur
7.
Hatavikkhittaka
= wujud mayat yang busuk dan
hancur
8.
Lohitaka = wujud mayat yang
berlumuran darah
9.
Puluvaka = wujud mayat yang
dikerubungi belatung
10.
Atthika = wujud
tengkorak
c.
Sepuluh annusati (10 macam perenungan), yaitu:
1.
Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha
2.
Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma
3.
Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha
4.
Silanussati = perenungan terhadap Sila
5.
Caganussati = perenungan terhadap
kebajikan
6.
Devatanussati = perenungan terhadap
makhluk-makhluk agung atau para dewa
7.
Maranussati = perenungan terhadap kematian
8.
Kayagatasi = perenungan terhadap badan jasmani
9.
Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan
10.
Upasamanussati =
Perenungan terhadap Nibbana
d.
Empat appamanna
(empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu:
1.
Metta = cinta kasih yang universal,
tanpa pamrih
2.
Karuna = belas kasihan
3.
Mudita = perasaan simpati
4.
Upekkha = keseimbangan batin
e.
Satu aharapatikulasanna
(satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan)
f.
Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada didalam badan
jasmani)
g.
Empat arupa (empat
perenungan tanpa materi), yaitu:
1.
Kasinugaghatimakasapannatti
= objek ruangan yang sudah keluar dari kasina
2.
Akasanancayatana-citta = objek kesadaran yang tanpa batas
3.
Natthibhavapannatti = objek kekosongan
4.
Akincannayatana-citta = objek bukan pencerapan
pun
tidak bukan pencerapan
2.
Vipasana
Bhavana
Dalam melaksanakan Vipasana Bhavana, objeknya
adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau pancakandha (lima kelompok faktor
kehidupan)[42].
Ini dilakukan dengan memperhatikan gerak-gerik nama dan rupa terus menerus,
sehingga dapat melihat dengan nyata bahwa nama dan rupa itu dicengkeram oleh
anicca (ketidakkekalan). Dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku).[43]
Dan juga yang menjadi objeknya adalah empat macam satipatthana (empat macam
perenungan) terdiri atas: kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani),
vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan), citta-nupassana (perenungan
terhadap pikiran), dan Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk
pikiran).
DAFTAR
PUSTAKA
Thera Piyadassi.
MeditasiBuddhis: JalanMenujuKetenangandanKebersihanBatin. Surabaya:
Paramita. 2005
Hansen Upa. Sasanasena Seng. Ikhtisar
Ajaran Buddha. Yogyakarta : Vidyasena
Production. 2008
OktaDiputrha, Meditasi I, 2004.
MahaNayakaSthavira
A. Jinarakkhita. Meditasi II
Ajaran tentang Sangha
I.
PENDAHULUAN
Aturan organisasi agama buddha membagi para penganut agama buddha kedalam
dua kelompok, yaitu kelompok Sangha dan kelompok awam. Kelompok Sangha adalah
terdiri dari para Bikkhu, Bikkhuni, Samanera dan Samaneri. Mereka menjalani
kehidupan suci untuk meningkatkan nili-nilai kerohanian serta tidak melaksanakan
hidup berkeluarga. Sedangkan kelompok awam terdiri dari Upasaka dan Upasaki
yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha serta
melaksanakan hidup berumah tangga
sebagai orang biasa.[44]
II. AJARAN SANGHA
A. Pengertian Sangha dan Kedudukannya
Anggota Sangha adalah teladan dari cara
hidup yang suci, menyampaikan Dharma atas permintaan umat dan membantu mereka
dengan nasihat maupun penerangan batin dalam suka dan duka. Dari umat buddha
Sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo),
tempat berteduh (pahuneyyo),
persembahan (dakkhineyyo),
penghormatan (anjali karananiyo) dan
merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).[45]
Buddha, Dhamma, dan Sangha tidak dapat dipisah-pisahkan
dalam pembahasannya. Jadi, kalau ada guru, maka harus ada ajaran dan juga harus
ada siswa yang berhasil untuk membuktikan kebenaran ajaran sang guru tersebut. Oleh
sebab itu, ketiga hal ini saling berkaitan. Dalam Khuddakanikaya,
Khuddakapatha, dijelaskan beberapa perumpamaan dari Tiratana di antaranya
yaitu:
1.
|
Dokter
|
Obat
|
Pasien yang sembuh
|
2.
|
Matahari
|
Sinar
|
Bumi yang terkena sinar
|
3.
|
Sopir kapal
|
Kapal
|
Penumpang yang sampai tujuan
|
4.
|
Penunjuk harta karun
|
Peta
|
Orang yang menemukan harta
|
5.
|
Busur panah
|
Anak panah
|
Sasaran yang terkena anak panah
|
BUDDHA
DHAMMA SANGHA
S
Sang Budha menjelaskan rincian mengenai Kesunyataan
Mulia yang keempat yang kemudian disebut dengan Delapan Ruas Jalan Suci ini.
Semua anggota baru melakukan suatu deklarasi yang dikenal sebagai Tiga Permata
Agama Budha (atau Tri-Ratna), yakni deklarasi yang dinyatakan oleh semua umat
Budha hingga saat ini.
1.
Aku berlindung
kepada Budha (sebagai bukti bahwa pembebasan mengakhiri penderitaan)
2.
Aku berlindung
kepada Dharma (untuk pengetahuan dan pengertian mengenai hukum kosmis)
3.
Aku berlindung
kepada Sangha (untuk mendapatkan dukungan praktis dan spiritual)
Pada mulanya
sang Budha tidak membuat aturan yang tegas untuk Sangha. Beliau hanya sekedar
meminta agar anggota-anggotanya berjanji untuk menjalani hidup yang etis.
Berbagai aturan rincian mengenai sangha yang masih ada dalam teks Vinaya Pitaka
mencakup semua aspek keberadaan biara, terutama hubungannya dengan anggota lain
di dalam komunitas dan populasi kaum awam yang ditemui oleh bhikku dan bhikkuni
ketika mengumpulkan sumbangan berupa makanan sehari-hari. [46]
B. Cara Menjadi Bikkhu
Inti
masyarakat Buddhisme dalam arti yang sebenarnya adalah hanya terdiri dari para
Rahib (Bikkhu/Biksu). Sebab hanya hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan
suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi, yaitu
mencapai nirwana. Seluruh persekutuan para Bikkhu/Biksu disebut Sangha/jemat.[47]
Yang
terakhir seorang Bikkhu harus hidup dengan ahimsa (tanpa kekerasan), artinya ia
dilarang membunuh dan melukai makhluk lainnya. Empat dosa yang harus dijauhi
para bikkhu adalah: hidup mesum, mencuri, membunuh makhluk yang lain, dan
meninggikan diri karena kecakapannya membuat mu’jizat.[48]
Setelah
menjadi bikkhu seseorang harus menjalani hidup bersih dan suci seperti yang
tertulis dalam kitab vinaya pitaka, menjalani 227 peraturan yang garis besarnya
adalah:
1.
Peraturan yang berhubungan dengan tata
tertib lahiriyah.
2.
Peraturan yang berhubungan dengan cara
penggunaan makanan dan pakaian, serta kebutuhan hidup yang lain.
3.
Cara menanggulangi nafsu keinginan dan
rangsangan batin.
4.
Cara untuk memperoleh pengetahuan batin
yang luhur untuk penyempurnaan diri.[49]
C. Kelompok Budha Awam
Pada umumnya
yang dimaksud dengan umat Budha yang awam terdiri dari orang-orang yang telah
mengakui Sang Budha sebagai pemimpin dan gurunya, mengakui dan meyakini
kebenaran ajaran Budha serta berusaha dengan sungguh-sungguh melaksanakan
ajarannya. Mereka yang mengakui keagamaan Budha ini disebut Upasaka dan
Upasaki.
Pengakuan
terhadap agama Budha tersebut dinyatakan dengan niat dan tekad untuk berlindung
kepada Budha, Dharma dan Sangha dengan mengucapkan ‘Trisarana’.
Setelah
mengucapkan Trisarana tersebut seorang Upasaka atau Upasaki terikat secara
Rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Budha dalam
kehidupannya sehari-hari. Dilihat dari tingkatan pemahaman seseorang terhadap
ajaran Budha dan tanggung jawab keagamaannya, maka kelompok masyarakat Budha
Awami ini dapat dibedakan sebagai berikut :
1.
Upasaka
dan Upasaki yang benar-benar awam keagamaannya.
2.
Yang
disebut Bala Anupandita, Anu Pandita dan
Pandita adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan
bergabung dalam organisasi umat Budha.
3.
Maha
Upasaka, ialah para pandita yang mengurus administrasi dan soal-soal teknis.
4.
Maha
Pandita adalah para Pandita yang mengurus khusus masalah keagamaan.
5.
Anagarika
adalah orang awam Budha yang diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
mengamalkan ajaran Budha Gautama.[50]
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogykarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press. 1998
Hadikusuma, Hilman. Antropologi
Agama I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Hadiwijono Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: Gunung
Mulia. cet. X 2010.
Stokes,Gillian. Seri
siapa Dia? Budha Erlangga.. Jakarta.
2001.
Budhisme di India dan China
I.
PENDAHULUAN
sejarah perkemangan Agama Buddha di
India setelah Buddha Gautama wafat dapat di bagi menjadi tiga periode, yaitu
(a) Masa perkembangan awal hingga pasamuan Agung Kedua, (b) Masa Kekuasaan Raja
Asoka, dan (c) Masa kemunduran Agama Buddha di India.[51]
II. Buddhisme
di India
A. Masa Perkembangan Awal
Dalam abad ke-4 Masehi, mulailah cahaya bersinar kembali dalam
sejarah India dengan timbulnya suatu kerajaan baru, yaitu kerajaan Gupta,
kerajaan ini menghampiri kemahsyuran kerajaan Maurya di zaman Chandragupta dan
Ashoka Maurya.[52]
Putra Chandagupta, Bindusari,melanjutkan kemaharajaan ayahnya dan
boleh jadi memperluasnya ke selatan. Kira-kira tahun 274 sM, putra Bindusari
yaitu Asoka menggantikan memimpin kemaharajaan yang telah dibangun oleh
kakeknya dan ayahnya dengan bantuan seorang ahli pemerintahan kautilya
Chanakaya.[53]
Pada saat Asoka inilah pnyebaran agama Budha kseluruh penjuru Dunia dilakukan,
raja Asoka sangat berjasa dalam perkembangan sejarah penyebaran agama Budha di
beberapa belahan Dunia.
Meskipun India dibawah pemerintahan Asoka secara hukum dan politik
berdasarkan kerajaan (monarki) absolut namun otokrasinya sangatlah terbatas
daripada otokrasi yang pernah kita kenal di dunia barat. Masyarakat India pada
waktu itu adalah beragama dan berkehidupan sekuler. Masyarakat bergama ternagi
menjadi kaum Brahman, kaum Sramana, dan kaum Pasanda.
Asoka bukan lahir dari orang tua yang bergama Budha. Menurut
tradisi Jaina, kakek Asoka adalah penganut Jaina dan pada akhir tuanya
meninggalkan keduniawian sebagai petapa Mahavamsa memberitakan bahwa raja
Bindusari adalah penganut Brahman yang banyak berdana kepada para Brahmana
maupun petapa. Asoka sebelum menggantikan mahkota kerajaan diberitakan
mengikuti jejak ayahnya, namun hal itu ditinggalkannya setelah menganut agama
Budha.[54]
Setelah meyaksikan penghancuran kehidupan serta penderitaan yang
tak terperikan dalam perang Kalinga pada tahun ke-8 pemerintahannya, asoka,
karena pengaruh yang baik dari Sangha menjadi orang yang lain sama sekali. Dia
menggantungkan pedangnya yang tidak pernah dicabutnya kembali dan memberitakan
perhatian yang penuh pada kehidupan yang berdasarkan moral dan spiritual, yang
disebut Dhamma-vijaya. Agama Budha mendapat perhatian penuh dari raja Asoka.[55]
B.
Masa
Kekuasaan Raja Asoka
Raja Asoka
melakukan reformasi dilingkungan kerajaan yang didasarkan pada nilai-nilai
kemanusiaan (humanity). Dalam perluasan wilayah, cara-cara tradisional
berdasrkan perang kemudian ditinggalkan dan digantikan dengan cara baru
berdasarkan Dharma. Di bawah pemerintahannya raja Asoka lah agama Budha yang
pada awalnya hanya dikenal disekitar daerah kelahirannya. Telah meluas dan
berkembang dengan cepat ke seluruh wilayah kerajaan. Bahkan lebih jauh daripada
itu, agama Budha diperkenalkan ke Negara-negara diluar wilayah kerajaan Maurya.[56]
C.
Kemunduran
Budhisme di India
Suku Yanda atau
Xiong Nu bergerak dari Amu Menuju keselatan. Mereka menguasai India Barat laut
dan mendirikan kerajaan disana sekitar abad ke-5 yakni pada periode terakhir
dinasti Gupta. Agama Budha di Barat laut mengalami kemunduran besar. Karena
penyerbuan asing yang terus menerus dan keruntuhan dinasti Gupta secara
keseluruhan, India tenggelam ke dalam keadaan terpecah belah kemudian seorang
raja dari India timur menyerbu India Tengah. Agama Budha disana kembali
mendapat pukulan berat. Belakangan raja Maukharis, Siladitya, mengalahkan
musuhnya dan mempersatukan India Tengah. Lambat laun agama Budha hidup kembali.
Akan tetapi setelah Siladitya meninggal, India Tengah sekali tenggelam ke dalam
keadaan yang kacau balau. Kerajaan-kerajaan di berbagai tempat pada masa itu memeluk
aliran Brahmana. Agama Budha pun lambat laun menyusut dan mundur. Hanya
kerajaan Pala di daerah Timur yang masih memeluk agama Budha.[57]
III.
Agama
Budha Di China
A.
Awal
perkembangan agama Budha
Agama
Budha berkembang ke Cina sekitar abad ke-2 sM melalui Asia Tengah serta mulai
berpengaruh pada masa pemerintahan Kaisar Ming (58-75 M). sejak dinasti Han
pengaruh agama Budha mulai menjadi perhatian dan persoalan. Kira-kira pada masa
itulah Mo Tzu menyusun bukunya li-hou-lun (Menangkis Kekeliruan) sebagai
apologia agama Budha.
Pada
tahun 399 M seorang bhiku Cina yang bernama Fa-Hien bersama rombongannya
terdiri dari 10 orang, melawat ke India untuk mempelajari agama Budha. Pada
tahun413 M. ia pulang melalui jalan laut kemudian singgah di Sumatra dan jawa.
Ia giat menyalin berbagai Sutra. Catatannya mengenai Budha terkenal hingga
kini.[58]
1.
Aliran-aliran
Agama Budha yang Terdapat di China
Agama Buddha di
China juga melahirkan beberapa aliran besar dalam golongan Buddha Mahayana
a.
Aliran
Chan atau Dyana
Aliran ini
didirikan oleh Boddhidharma, asal India tetapi menetap di Cina antara 527-536
M. Boddhidharma dikenal sangat radikal terhadap kitab suci yang menjadi sumber
ajaran Agama Buddha, dan bermaksud untuk kembali pada semangat ajaran Buddha
yang asli sehingga aliran yang didirikannya sangat mengutamakan pada perenungan
(kontemplasi) dan tidak banyak memberi tekanan pada teks-teks suci. Aliran ini
berkembang pesat di Cina terutama pada masa Hui Neng (838-713 M.) karena
mengaku mendapatkan ajarannya langsung dari Sakyamuni. Dalam perkembangannya
kemudian, aliran ini masuk dan berkembang di Jepang menjadi aliran Zen dan
berpengaruh dalam kehidupan keagamaan di Cina maupun Jepang sampai hari ini.[59]
b.
Aliran
Vinaya
Aliran Vinaya,
didirikan oleh Too Hsuan (595-667M), yang menekankan ajarannya pada pelaksanaan
vinaya secara ketat. Menurut aliran ini, pengingkaran terhadap dunia dan
kesusilaan merupakan kondisi kehidupan sang Buddha. Oleh karena itu aliran ini
menekankan pada kehidupan mistik dan membiara. Aliran Ching-tu atau tanah
putih, yang didirikan oleh Hin Yuan dan T’an Lun. [60]
c.
Aliran
Chen-yen
Chen-yen
bermakna kata yang benar, aliran ini berpendirian bahwa alam semesta itu
berisikan tiga misteri, yaitu: pikiran, bicara, buatan. Tiga misteri itu
menyimpan kodrat-kodrat yang bersifat magis.[61]
2.
Kemunduran
Agama Budha Di Cina
Pada
tahun 845 agama Budha di Cina mengalami cobaan berat. Kaisar Wu Zong yang
berkuasa mengeluarkan perintah untuk menghabisi agama Budha dengan pertimbangan
ekonomi. Lebih dari 4.600 vihara dan 40.000 biara di wilayah kerajaan
dihancurkan, dan lebih dari 260.500 bhiksu-bhiksuni dipaksa kembali ke
kehidupan rumah tangga sementara lebih dari 150.000 dipaksa menjadi pekerja
kerajaan. Demikian pula tidak dapat dibayangkan banyaknya karya-karya sutra dan
sastra yang ditulis selama 6 dinasti ikut terbakar dan hancur.[62]
Selain itu agama, agama Buddha di Cina sudah mencapai titik jenuhnya sehingga
tidak lagi mampu memberikan semangat baru untuk mengembangkan kretivitasnya
sendiri. Di samping itu, dalam agama Buddha sendiri muncul kecendrungan ke arah
bentuk-bentuk keagamaan yang lebih bersumber ke Cina dari pada India sehingga
keasliannya menjadi banyak berkurang.[63]
Daftar Pustaka
Ali, Mukti. Agama
Agama di Dunia. Yogykarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press. 1998.
“Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha” . Jakarta : CV.
Dewi Kayana Abadi. 2003
Chu, zhao, Pu. “Tanya
Jawab Mengenai Agama Budha”. pustaka kayanika ke-124 maret 2007
AGAMA BUDHA DI KOREA, JEPANG DAN THAILAND
I.
PENDAHULUAN
Negeri
Korea mulai mengenal agama Bidha pada awal abad ke-4 M. pada masa itu
semenanjung Korea terbagi dalam tiga wilayah, masing-masing Koguryu (di Utara),
Pakche (barat daya), dan Silla (Tenggara). Sejarah agama Budha ditiga wilayah
tersebut tidaklah sama.
Dan mengenai Agama Buddha masuk ke Thailand itu diperkirakan sekitar
abad ke-3 S.M. ketika Raja Asoka mengirimkan dua orang Bhikku ke sana yang
diterima oleh suku Mosn yang mendiami kota Burma dan Thailand. Sampai abad ke-7 corak agama budha itu masih
berkembang di Thailand yang dipengaruhi oleh aliran Theravada, kemudian pada
abad ke-8 yang awalnya dari aliran Theravada menjadi aliran Mahayana, Terutama
yang berasal dari kerajaan Sriwijaya, mulai kelihatan bersamaan dengan masuknya
unsure-unsur agama Hindu di Thailand Timur.
Pada permulaan abad ke-13, terjadi penyebaran agama Buddha yang kedua
kalinya, dimana perkembangan yang kedua ini masuk ke wilayah
Burma,Thailand,Kamboja dan Tibet.[64]
II. AGAMA BUDHA DI KOREA
A.
Sejarah
awal perkembangan agama Budha di Korea
Agama
Budha untuk pertama kali dibawa ke Koguryu oleh seorang bhiksu bangsa Cina pada
tahun 372. Dua belas tahun kemudian agama Budha baru tiba di Pakche dan
diperkenalkan oleh bhiksu Marananda dari Asia Tengah. Sedangkan Silla adalah
wilayah yang terakhir yang mengenal agama Budha, yakni sekitar 30 tahun setelah
agama Budha diperkenalkna di Koguryu.
Peranan
Korea dalam sejarah agama Budha terletak pada kedudukannya sebagai jembatan
penyebrangan agama Budha dari Cina ke Jepang. Meskipun agama Budha
disemenanjung Korea diterima oleh raja-raja setempat , namun sejarah tidak
mencatat kemajuan dari ajaran agama Budha.[65]
Zaman
keemasan agama Budha di korea terjadi pada masa pemerintahan dinasti Wang (abad
ke-11). Sebelum itu agama Budha banyak terpengaruh oleh dinasti Silla dan
banyak bhiksu-bhiksu yang belajar ke Cina.[66]
B.
Kemunduran
Agama Budha Di Korea
Ketika
kekuasaan dinsti Wang atas semenanjung Korea diambil alih oleh dinasti yuan
dari kmeaharajaan Mongol, maka agama Budha di korea banyak dipengaruhi oleh
lamaisme (Tibet). Setelah dinasti Yuan dikalahkan oleh dinsti Rhee dari
Choseen, Korea, maka dinasti ini menerima ajaran Konghuchu dan membenamkan agama
Budha, meski terdapat pergantian penguasa di semenanjung Korea, agama Budha
tetap bertahan kerana telah merakyat. Agama Budha di Korea pada zaman modern di
Korea, sesungguhnya adalah agama Budha zen dengan tetap mempercayai Budha
Amithaba dan Bhodisatwa Maitreya.
C.
Kebangkitan
Agama Budha di Korea
Dengan
runtuhnya Dinasti Yi, Korea berada di bawah kendali Jepang. Orang Jepang yang
datang ke Korea memperkenalkan bentuk mereka sendiri tentang Buddhisme, Dari
periode ini dan seterusnya, ada kebangkitan agama Buddha di Korea. Banyak umat
Buddha di Korea sejak itu aktif terlibat dalam mempromosikan kegiatan
pendidikan dan misionaris. Mereka telah mendirikan universitas, mendirikan
sekolah-sekolah di berbagai belahan Korea dan mendirikan kelompok dan organisasi
pemuda awam. Teks Buddhis, asal dalam terjemahan bahasa China, sekarang sedang
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Korea modern. Biara-biara baru sedang
dibangun dan yang lama diperbaiki. Hari ini, Buddhisme lagi memainkan peran
penting dalam kehidupan masyarakat.[67]
III. AGAMA BUDDHA DI
THAILAND
Agama Buddha masuk ke Thailand sekitar abad ke-3 S.M. ketika Raja
Asoka mengirimkan dua orang Bhikku ke sana yang diterima oleh suku Mosn yang
mendiami kota Burma dan Thailand. Sampai
abad ke-7 corak agama budha itu masih berkembang di Thailand yang
dipengaruhi oleh aliran Theravada, kemudian pada abad ke-8 yang awalnya dari
aliran Theravada menjadi aliran Mahayana, Terutama yang berasal dari kerajaan
Sriwijaya, mulai kelihatan bersamaan dengan masuknya unsure-unsur agama Hindu
di Thailand Timur.
Pada permulaan abad ke-13, terjadi penyebaran agama Buddha yang kedua
kalinya, dimana perkembangan yang kedua ini masuk ke wilayah
Burma,Thailand,Kamboja dan Tibet. Sejak saat itu agama Buddha berkembang dengan
pesat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.[68]
Raja-raja Thailand itu menggunakan gelar “Rama” dan memberikan
perhatian yang besar terhadap perkembangan agama Budha, lebih dari itu,
hubungan antara raja dengan sangha juga sangat baik.Dimana Raja sebagai
pengawas dan pelindung dari sangha.pada masa raja Rama I, Kitab Tripitaka berhasil dituliskan
pada daun palma. Ia mengumumkan kepada rakyat Thailand agar membersihkan sangha dari anggota-anggota
yang tidak berguna, memurnikan praktek kewiharaan dan meningkatkan studi dan
meditasi, dirintisnya pula tradisi bagi raja-raja Thailand untuk menjadi
anggota sangha beberapa lama sebelum menjadi raja Rama ke-IV, yang tersebut
Mongkrut, terkenal dalam pembaharuan pemikiran keagamaan. Ia mengadakan
reformasi dan penafsiran kembali ide-ide Buddha menurut pemikiran Barat yang berkembang pada waktu itu. Salah satu usaha
pembaharuannya adalah membentuk aliran sangha yang dikenal dengan Dharmayutika
yang menekankan bahwa ajaran agama Buddha tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Sebagai
mantan bhikku, ia berhasil meningkatkan kehidupan sangha telah kehilangan
gairah dan membersihkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan ideasli
agama Buddha.[69]
IV.
AGAMA BUDHA DI JEPANG
A.
Perkembangan
awal agama Budha di Jepang
Agama Budha di
Jepang diperkenalkan melalui Kudara di Pakche, salah satu kerajaan di Korea
pada tahun 522 dan oleh penguasa politik pada masa itu dimaksudkan sebagai perlindungan bagi Negara. Agama baru
ini diterima oleh dinasti Soga yang berkuasa. Untuk memahami agama Budha di
Jepang maka dikelompokan tiga periode:
1.
Periode
kedatangan abad ke 6-7, mencakup periode asuka dan nara
2.
Peroide
nasionalisasi abad 9-14, mencakup periode Heian dan Kamakura
3.
Periode
lanjutan abad 15-20, mencakup periode Muromachi. Momoyama dan Edo serta jaman
modern.
Pada periode kedatangan, manifestasi
agama Budha adalah penyesuaian terhadap kepercayaan asli bangsa Jepang yakni
agama Shinto para bhiksu harus dapat melaksanakan upacara keagamaan bersama
dengan upacara pemujaan nenek moyang. Secara bertahap agama Budha mampu
bertahan dan berekmbang di antara rakyat banyak tanpa menyisihkan agama Shinto.
Beberapa penguasa di jepang seperti pangeran shotoku dapat menerima agama
Budha, ia banyak berperan dalam agama
Budha diantaranya mendirikana vihara Horyuji dan menulis banyak komentar
tentang ketiga kitab agama Budha.
Dimasa kekuasaan
dinasti Heian pada yahun (794-1185 M.) muncul usaha-usaha untuk memadukan
kepercayaan dan tradisi Jepang dengan
agama Buddha, antaralain melalui ajaran Saicho dan kukai. Yang pertama, yaitu
Saichoyang kemudian terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi, mengajarkan bahwa
sebenarnya dewa-dewa agama Buddha adalah sama dengan dewa-dewa dalam agama
Shinto, yang disebut Kammi, sementara Kukai, yang selanjutnya terkenal
dengan sebutan Kobo Daishi, yang mengajarkan bahwa dewa tertinngi dalam agama
Shinto adalah sama dengan dewa tertinngi dalam agama Buddha sehinnga tidak ada
perbedaan antara pemujaan terhadap Buddha dengan pemujaan terhadap agama
Shinto.[70]
B. Aliran-Aliran yang terdapat di Jepang
1.
Aliran Zen
Aliran Ch’an atau Zen masuk ke Jepang kira-kira tahun 1200, ada yang
mengatakan kira-kira abad ke-6 M. aliran ini mempunyai jalur asal muasal dari
ajaran Boddhidarma di Cina, Aliran ini terbagi menjadi dua golongan besar
yaitu: Soto Zen, dengan tokohnya yang bernama Dogen( (19 January 1200 - 22 September
1253) yang merupakan seorang guru Zen termasyur di Jepang. Tokoh ini pernah
lama belajar dan memperdalam ilmunya di negeri China.[71]
2.
Aliran amida
Aliran
ini (Amida atau Tanah Suci) mengengemukakan suatu ajaran keselamatan yang dalam
istilah-istilah sederna, yaitu: percaya kepada Buddha secara mutlak. dan dengan
menyebut Amida orang akan memperoleh keselamatan. Aliran ini mendapat banyak
pengikut di kalanagan petani dan menjadi agama messianic pada saat terjadi
kemelut social.Dan objek pemujaan aliran ini adalah patung Amida Buddha, yang
dilengkapi dengan patung bodhisatwa Kwan On yang melambangkan kemurahan dan
pating Daiseishi sebagai lambing lambing kebijaksanaan.[72]
3. Aliran Nichiren Soshu
A. Riwayat
Nichiren
Pada Abad ke-13, agama Buddha di
jepang menghasilkan seorang pembaharu yakni Bhiksu Nichiren (1222-1282).[73]
Beliau anak dari keluarga nelayan yang miskin, tinggal di desa kecil Kominato,
Tojo daerah Nagasa propinsi Awa.[74] Ia dilahirkan pada 16 Februari 1222 dengan nama
Nichiro atau sumber lain mengatakan Zennichiro atau Zennichi maro. Ia mulai
pendidikan kebuddhaan pada usia 11 tahun dengan bantuan seorang wanita
bangsawan yang dekat dengan keluarganya. Ia belajar di Kuil Kiyosumidera sebuah
pusat pendidikan terbesar di daerah itu. Akan tetapi, Nichiren muda yang ketika
itu diberi nama pendeta Rencho, merasa kuil tersebut tidak mampu memenuhi
dahaganya terhadap ilmu pengetahuan. Ia melanjutkan pendidikannya di Kuil
Hachimanguji di pusat wilayah de facto Jepang, Kamakura. Kuil tersebut
merupakan pusat pendidikan sekte Tendai di Jepang.[75]
hanya 4 bulan ia belajr di sini. Kemudian ia kembali lagi ke
Kiyosumidera. Selanjutnya ia pergi ke kuil Enryakuji yang terletak diatas
Gunung Hiei, tempat ini dianggap pusat terpenting ilmu pengetahuan Buddhism
Jepang pada waktu itu. Slama 12 tahun ia belajar di sini.
B. Ajaran Dan Tokohnya
Pada tahun 1253, Nichiren kembali ke kuilnya
Kiyosumidera. Beliau dalam usia 30 tahun menyatakan hasil dari pelajarannya dan
pengalaman keagamaannya dengan keyakinannya bahwa “Sutra Terarai” (Saddharma
Pundarika Sutra Hokkekyo) dan mantra “Nam-Myoho-renge-kyo” merupakan inti dari
sutra Teratai.[76]
Makna mantra Namu-Myoho-Renge-Kyo[77].
Mantra dari aliran Nichiren ini adalah Namu-Myoho-Renge-Kyo yang Maknanya adalah:
Namu or Nam:
Nam merupakan kependekan dari Namu
yang digunakan oleh beberapa aliran Buddhisme lainnya. Namu berarti kesetiaan. Pada beberapa momen dalam kehidupan; kita
semua ‘mengarah’ pada satu jalan tertentu. Ketika kita melafalkan Namu myoho renge kyo, kita memfokuskan
pikiran kita pada Kebuddhaan dalam kehidupan.
Myoho: Myo merujuk pada aspek spiritual dalam kehidupan; sementara Ho merujuk pada aspek fisikal atau
material dalam kehidupan. Mengombinasikan keduanya menjadi satu kata
merepresentasikan interpenetrasi dari keduanya; aspek spiritual dan fisikal
saling menyatu. Myo juga berarti
kehidupan sementara ho kematian;
lagi-lagi keduanya adalah dua hal yang merepresentasikan interpenetrasi dari
kehidupan dan kematian. Myo adalah nama yang diberikan kepada
alam mistis kehidupan, dan ho adalah
untuk manifestasi-manifestasinya. “
Renge: secara literal, Renge
berarti bunga teratai (lotus flower), yang menyimbolkan keagungan Hukum ini.
Karena teratai memproduksi biji dan bunganya pada saat yang bersamaan, renge merepresentasikan keseiringan
antara sebab dan akibat. Ketika kita melakukan sebuah sebab, akibatnya telah
nampak jauh di dalam kehidupan kita.
Sangat signifikan bahwa Myoho dan Renge
dikombinasikan dalam satu frase. Myoho
merujuk pada hubungan spiritual dan fisikal, mengingatkan kita bahwa sebab
terdalam yang dapat kita buat adalah pada level spirit (ruh); dan realitas
fisik muncul dari spirit. Perubahan pada diri spiritual kita menghasilkan
perubahan pada apa yang kita lakukan, kata-kata kita, dan tindakan-tindakan
kita; yang menyebabkan perubahan pada alam sekitar kita.
Kyo: berarti ajaran atau sutra. Juga bisa berarti suara, vibrasi
atau ritme; karena sebuah sutra merupakan suatu suara yang teremanasi dari
Buddha. Kuncinya bukan pada gurunya, tetapi pada ajarannya. Kita tidak
menyembah orang, Sang Buddha. Kita memuja ajaran-ajarannya yang benar, karena
ajaran-ajaran tersebut mengantarkan kita pada pencerahan. Ajaran yang kita
rujuk adalah jantung atau maksud dari Lotus Sutra, pencerahan abadi yang
melekat dalam kehidpuan, yang merupakan jalan menuju pencerahan bagi setiap
manusia.
Kyo merupakan
instruksi yang diajarkan antara Buddha dan yang lainnya. Ini merupakan sebuah
jalan untuk menemukan Kebuddhaan kita sendiri dan kebuddhaan bagi masing-masing
orang. Ajaran-ajaran kyo merupakan
sumbernya, maknyanya, pintu masuknya, dan pintu bagi semua orang untuk membuka
kondisi tercerahkan dari Kebuddhaan dalam diri mereka sendiri. Ini merupakan
ajaran yang tidak memisahkan antara dunia spiritual dan dunia fenomenal (dunia
nyata) dimana kita hidup. Ini menjelaskan bahwa bunyi dasar dari suara kita
tidaklah terpisahkan dari spiritualitas dalam diri kita. Hidup kita tidak
terpisahkan oleh ruang dan waktu dari keberadaan spiritual kita.
Kyo lagi-lagi merujuk
pada interpenetrasi antara spiritual dan fisikal. Ajaran dari Sang Buddha
sendiri. Namu myoho renge kyo
merupakan kata-kata Seorang Buddha. Frase tersebut mengajarkan pada kita sifat
Kebuddhaan alami dan mengajak kita untuk menuju alam Kebuddhaan kita sendiri.
karena itu, setiap kali kita membacakan Namu-myoho-renge-kyo, kita telah
menciptakan gelombang suara Buddha.[78]
Dalam sekte Nichiren
ada dua kelompok yang besar, yaitu :
1.
Nichiren Shu, dan
2.
Nichiren Soshu[79]
Salah satu konsep terpenting dalam Ajaran Agama Buddha adalah
konsep Tri Ratna atau Tiga Pusaka Agung dari Agama Buddha yakni:
1.
Buddha,
2.
Dharma (hukum atau doktrin yang diikuti sekte), dan
3.
Sangha (para Bhiksu, biarawati dan pengikut di lingkungan Buddha).
Ketiga elemen dasar ini adalah hal mendasar dari semua sekte Agama
Buddha di semua negara, tetapi bisa berbeda dari sekte atau garis keturunan.
Sekarang mari melihat bagaimana mereka berbeda dari Nichiren Shu dan dua dari
aliran Shoretsu yakni Nichiren Shoshu dan agama baru dari Soka Gakkai.
1.
Nichiren Shu:
Buddha: Buddha Sakyamuni Yang Abadi
Dharma: Namu Myoho Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
Sangha: Nichiren Shonin (memimpin semua Bhiksu, biarawati dan pengikutnya)
2.
Nichiren Shoshu:
Buddha:
Nichiren Shonin
Dharma:
Namu Myoho
Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
Sangha:
Nikko Shonin
dan Bhiksu Tertinggi turun temurun dari Kuil Taisekiji
3.
Soka Gakkai (2 tipe):
a.
Doktrin dalam teori yang resmi:
Buddha:
Nichiren Shonin
Dharma:
Namu Myoho
Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
Sangha:
Nikko Shonin
b.
Kenyataan yang diteliti dan diajarkan:
Buddha:
Presiden Ikeda
Dharma:
Ajaran dan
tulisan dari Presiden Soka Gakkai
C. Sejarah NSI di Indonesia
Agama Buddha Nichiren Shoshu pertama-tama masuk ke Indonesia
pada tahun 1950-an. Tahun 1964 dibentuk wadah bagi umat Nichiren Shoshu di
Indonesia yaitu NSI (Nichiren Shoshu Indonesia). Organisasi umat Buddha
Nichiren Shoshu Indonesia pertama-tama berupa yayasan yaitu Yayasan Buddhist
Nichiren Shoshu.
Berkembang mula-mula di Jakarta. Sejak kepemimpinan
Senosoenoto, agama Buddha Nichiren Shoshu berkembang luas hingga ke desa-desa.
Hingga tahun 2005 ini umatnya telah tersebar di berbagai pelosok Indonesia.
Senosoenoto juga ikut mempelopori berdirinya wadah umat
Buddha di Indonesia, WALUBI. Beliau menjadi Sekretaris Jenderal WALUBI pada
tahun 1977 (saat itu masih bernama MABI ; Majelis Agama Buddha Indonesia)
dengan Ketua Umum Brigjen TNI (purn) Soemantri.
Sepeninggalan almarhum Senosoenoto, umat Buddha Nichiren
Shoshu di Indonesia berada dalam wadah tunggal Yayasan Pandita Sabha Buddha
Dharma Indonesia (YPSBDI), yang diketuai oleh Pandita Aiko Senosoenoto.[81]
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Mukti. Agama-agama di dunia. Yogyakarta :IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
Perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Sejarah Perkemangan Agama Buddha. Jakarta : Dewi karyana Abadi, 2013
Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana. Palembang : Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia. 1995
Dikutip
dari Makalah Fathimah Albatul, Perbandingan Agama semster IV
Ebook
Buddhism in east Asia
“MATERI
KULIAH SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDHA”. CV.
Dewi
Kayana Abadi- Jakarta. 2003.
ALIRAN HINAYANA DAN MAHAYANA
I.
PENDAHULUAN
Agama
Buddha pernah mengalami masa keemasannya di Bumi Nusantara pada masa keprabuan
Sriwijaya di Sumatera, kerajaan kuno Mataram dan Majapahit di Jawa. Pada masa
itu, terdapat Perguruan Tinggi Agama Buddha (Mahayana) yang mempunyai nilai
internasional, yakni di Sumatra dan Jawa. Dalam sejarah tercatat beberapa
sarjana dari negeri Tiongkok dan India datang belajar bahasa Sansekerta,
filsafat dan logika Agama Buddha Mahayana. Mereka yang belajar kesini adalah;
I-Tsing (634-713) dua kali ke Sriwijaya dengan 41 bhiksu yng mahasiswa,
Hui-Ning (antara tahun 664-667) berguru kepada Janabhadra seorang maha guru
Buddhism di Jawa, Atisa (982-1054) dari India datang ke Palembang belajar
logika dan filsafat Agama Buddha Mahayana. Tercatat yang ada pada waktu itu
para bhiksu dan sarjana maupun mahasiswa dari negeri China yang datang ke bumi
Nusantara untuk belajar Agama Buddha Mahayana, tidak ada dari bumi Nusantara
yang datang ke Tiongkok untuk belajar. I-Tsing menyalin dan menterjemahkan
banyak kitab-kitab suci penting Agama Buddha Mahayana dari bahasa Sansekerta ke
dalam bahasa Mandarin. Menurut memoir dari I-Tsing, apa yang terdapat di
Sriwijaya seperi tata-upacara keagamaan adalah sama seperti India, dan
diperkenalkan dia ke Tiongkok melalui buku-buku terjemahannya yang dikumpulkan
selama dua kali berada di Sriwijaya - Palembang[82].
III.
DUA ALIRAN BESAR
DALAM AGAMA BUDDHA
Di dalam Agama Buddha terdapatlah dua aliran besar yaitu Aliran
Selatan/Hinayana / Theravada dan Aliran Utara / Mahayana.
1.
ALIRAN
HINAYANA
Hinayana adalah ajaran-ajaran asli dari Buddha Gautama dan kitab
sucinya ialah Tipitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan
Abhidamma Pitaka.
Di dalam aliran Hinayana tidak ada upacara-upacara keagamaan yang
rumit-rumit dan mereka yag menganut aliran ini masih mempertahankan
kesederhanaannya seperti dahulu di waktu Sang Guru sendiri masih hidup pada 25
abad yang silam.
Prinsip-prinsip pandangan
dari ajarana Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Buddha dan menjaga
ajaran Buddha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh karenanya dipandang
orthodox. Pengikut-pengikutnya juga tidak begitu meluas sebagaimana aliran Mahayana.
Kata Hinayana sendiri telah menunjukkan isi dan cita-cita yang terkandung
didalamnya yaitu berarti kendaraan kecil. Maksudnya bahwa aliran ini tidak
dapat menampung banyak orang untuk memperoleh kebahagiaan nirwana, karena dalam
prinsip pandangannya menyatakan bahwa setiap orang bergantung pada usahanya
sendiri dalam mencapai kebahagiaan abadi dengan tanpa adanya penolong dari dewa
ataupun manusia Buddha. Aliran ini disebut juga “Theravada” yang lebih jelas menggambarkan pendirian aliran
tersebut, karena Theravada berarti “jalan
orang-orang tua” [83]
Penganut-penganut Hinayana menitikberatkan meditasi untuk mencapai
peneranga sempurna sebagai jalan yang terpendek untuk menyelami Dhamma dan
mencapai pembebasan, Nibbana. Kita hanya mengenal Dhamma dan Nibbana sebagai
jalan dan tujuan dari hidup kita ini, sedang yang lain-lain itu tidak menjadi
kebutuhan pokok.[84].
A.
Ajaran Hinayana
Pokok-pokok ajaran Mahayana secara ringkas mengajarkan:
1.
Manusia
di pandang sebagai seorang Idividual dalam usahanya.
2.
Tergantung
kepada dirinya sendiri usaha kebebasan dalam alam ini
3.
Sebagai
kunci keutamaan manusia ialah kebijaksanaan
4.
Agama
sepenuhnya adalah tugas kewajiban yang harus dijalankan terutama oleh kaum
pendeta.
5.
Tipe
ideal dalam hinayana ialah Arahat
6.
Budha
dipandang sebagai orang suci
7.
Membatasi
pengucapan doa pada meditasi
8.
Meninggalkan
atau menolak hal-hal yang bersifat metafisis
9.
Meninggalkan
atau menolak ritus dan ritual (upacara-upacara agama.
10.
Bersikap
konserpatif (kolot), karna ingin bertahan pada yang lama
11.
Tidak
mengenal dewa-dewa lokapala (dewa agin) ataupun dewa-dewa trimurti
12.
Tidak
mengenal Briyoga atau Tantra (mantra-mantra)[85]
2.
ALIRAN
MAHAYANA
Aliram Mahayana, yaitu aliran Hinayana yang diperbaharui dengan
diberi pelajaran-pelajaran ekstra yang dipelopori oleh Buddhaghosa atau
Asvaghosa.
Aliran Buddhisme ini disebut dengan Mahayana karena dapat menampung
sebanyak-banyaknya orang yang ingin masuk Nirwana, hingga diumpamakan sebagai
sebuah “kereta besar” yang memuat penumpang banyak (arti kata Mahayana adalah
kereta/kendaraan besar).
Berbeda dengan Hinayana yang mempertahankan kemurnian ajaran Buddha
yang tidak mengalami perpecahan dalam aliran-aliran, sebaliknya dalam Mahayana
terjadi perpecahan dalam banyak aliran. Makin banyak kebebasan berfikir dalam
agama diberikan, makin besar kecenderungan untuk berpecah belah dalam bentuk
aliran-aliran (sekte-sekte)[86].
Buddha Mahayana memandang diri dia sendiri sebagai bagian dari
tradisi Buddha saat ini dengan mengembangkan Buddha surge dan Bodhisatva yang
berfungsi sebagai dewa untuk membimbing para pengikutnya menuju jalan
keselamatan. Ketika penganut agama Buddha Mahayana melakukan meditasi atau
bersemedi, dia membayangkan bahwa Bodhisatva duduk bersamanya dalam meditasi
tersebut. Pada saat inilah dia dapat mengkonsentrasikan dirinya dalam
melaksanakan meditasi. Konsentrasi dalam meditasi sangat penting, dan tanpa itu
biasanya tujuan meditasi tidak akan terwujud denga baik.
a. Ajaran Mahayana
Pokok-pokok ajaran Mahayana secara ringkas mengajarkan:
1.
Seseorang dalam mencapai Nirwana tidak
egoistismementingkan dirinya sendiri akan tetapi dapat saling membantu.
2.
Kunci keutamaan ialah kasih sayang yang
disebut “karuna”
3.
Pencapaian tertinggi adalah Bodhisatva
(orang yang telah mencapai ilham sehingga terjamin untuk masuk Nirwana).
4.
Buddha dipandang sebagai juru selamat
mausia.
5.
Ajarannya bersifat liberal[87].
Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran Mahayana adalah
Bodhisatva dan Sunyata karena kedua kata itu hamper terdapat pada tiap halaman
tulisan-tulisan Mahayana.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muhammad. Menguak Misteri Ajaran agama-Agama Besar.
Golden Trayon Press. Jakarta: 1986
T, Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Majelis
Buddhayana Indonesia. Jakarta: 1995
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan
Dalam Dhamma. Depok: Bromo FC. 1980.
TANTRAYANA,
VAJRAYANA DAN MANTRAYANA
A.
ALIRAN TANTRAYANA
Fase
ketiga dari perkembangan Agama Budha ialah Tantrayana (setelah Hinaya dan
Mahayana), dan merupakan fase yang paling penting Agama Budha di India. Fase
ini mulai sekitar tahun 500 M. Dan berakhir sampai tahun 1.000 M. Yang paling
menarik dalam fase ini adalah cosmical-soteriological (yang berhubungan dengan
keselamatan). [88]
Sifat dasar dominan dari Tantrayana adalah occultism (kegaiban). Penekanan
utama adalah penyesuan yang harmonis dengan cosmos dan pencapaian penerangan
dengan mantra atau metode gaib. Bahasanya adalah kebanyakan Sansekerta atau
Apabhramsa.
Istilah
Tantra secara etimologis berarti ‘menenun’ atau “alat tenun”, adalah istilah
yang dipergunakan untuk mengacu pada praktek-praktek esoterik (rahasia;
tersembunyi) yang bertujuan membangkitkan sifat-sifat ke-Tuhan-an dalam diri
seseorang guna mencapai kesempurnaan, disamping juga untuk mengacu pada
kitab-kitab suci atau sutra-sutra yang menguraikan ajaran-ajaran atau doktrin
yang demikian.[89]
Tantra
membawakan peranan penting dalam sejarah Mahayana, karena ia membangkitkansuatu
penekanan baru pada metode intuisi dan Esoterik bersama dengan perkembangan
konsepsi ke-Tuhan-an dan tata upacara. Di dalam satu atau lain cara Tantra
menyentuhhampir setiap sekte Agama Buddha Mahayana yang berikutnya, menjadi
inspirasi dalam perkembangan tata peribadatan dan seni Buddist. Jika kita ingin
mencari dasar logis mengenai sejarah asal mula Tantra Buddist, maka yang paling
bijaksana adalah memulainya dengan tradisi mantra, bagian integral
(kelengkapan) dari keyakinan Tantra. Adalah suatu kenyataan bahwa Tantra
terdapat dalam Agama Buddha dan Agama Hindu.
Aliran
Tantra Buddhist disebut juga Esoterik ( = Guhya Upadesa ) yang berarti secara
rahasia, tersembunyi dan mistik, sedangkan aliranBuddhist lainnya disebut
Exoterik ( = Vyakta Upadesa ) yang berarti sesuatu yang terbuka atau terlihat.
Bagi aliran Exoterik pelajarannya didasarkan pada Tripitaka dan untuk mencapai
ke-Buddha-an adalah secara berangsur-angsur dan bertingkat. Bagi aliran
Esoterik pencapaian ke-Buddha-an hanya dalam sekejap, melakukan upacara atau
ritual (Vidhi) merupakan peranan yang penting. Adalah tidak mudah untuk dapat
mengerti ajaran Tantra Buddist dikarenakan begitu rumit dan kompleks dalam
perkembangannya. Oleh karenanya, seorang guru yang ahli harus ada untuk
membimbing calon siswa tersebut. Dikatakan bahwa setelah mengerti ajaran
Exoterik dengan cukup barulah dapat mengerti ajaran Esoterik secara baik.[90]
B.
Aliran Mantrayana
Mantrayana dimulia
pada abad ke-4 dan mendapat momentumnya setelah abad ke-5. Apa yang telah
dilakukannya telah memperkaya Buddism dengan perlengkapan tradisi gaib.
Mempergunakannya untuk tujuan kemudahan pencarian bagi pencerahan atau
penerangan. Di dalam, cara ini, banyak ‘mantra, mudra, mandala, dan dewa,
ke-Tuhan-an, secara tidak sistematis diperkenalkan kedalam Buddhism, ini adalah
setelah tahun 750, diikuti oleh suatu sistematis yang dinamakan Vajrayana, yang
menyerasikan semua ajaran sebelumnya dengan satu kelompok mengenai Panca-Tathagata
( Panca Dhayani Buddha ). Dalam kurun waktu itu, arah dan system yang lebih
lanjut membuat penampilan mereka. Perlu dicatat bahwa diantara mereka adalah
Sahajayana, yang mana seperti sekte Ch’an ( Zen ) di Tiongko, lebih menekankan
kepada latihan meditasi dan pengolahan intuisi, diajarkan secara
berbelit-belit, paradoksikal ( perlawanan asas ) dan kesan konkrit, dan
menghindari nasib dari kembali kedalam suatu persektean sama sekali mengenai
tidak ada ajaran yang ditegaskan secara kaku. Menuju pada akhir periode ini,
dalam abad ke-10, kita mempunyai Kalacakrayan ( Roda ‘waktu’, yang
ditandai oleh tingkat penyatuan aliran ) dan oleh penekanannya pada astrology.[91]Pokok-pokok
ajaran Mantrayana dapat ditemui pada karya karya Padma-Dkarpo dari Tibet.
Menurut beliau, tujuan dari Mantrayana adalah sama seperti apa yang dituju oleh
aliran-aliran lainnya dalam agama Buddha, yakni kemanunggalan manusia dengan
penerangan sempurna atau kesempurnaan secara spiritual.
C.
Aliran Vajrayana
Berasal dari kosa kata Sanskrit
"Vajra" yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar
dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya, serta dari kata "yana" yang
berarti wahana/kereta. Dalam
Wajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali
praktisi Wajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah
sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan
yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang
dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian
yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam
mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa
kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita,
yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang
harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah,
mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan
mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan /
ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas dari pengucapan n mantra, maka
sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia. Ajaran Wajrayana
sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini
menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya,
maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan
yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin
sedikit berkah yang akan ia peroleh.[92]
DAFTAR PUSTAKA
Suwarto. T, Buddha Dharma
Mahayana. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana. 1995
Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan
Dalam Dhamma. Depok: Bromo FC, 1980
Suwarto T,BudhaDarma Mahayana.
Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995
Antin,menguakMisteriAjaran Agama-Agama Besar. Jakarta :
Golden Terayon Press. 1986
Suwarto T,BudhaDarma Mahayana.
Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan
Indonesia. 1995
[1]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, (Jakarta: Yayasan Dhammadīpa
Ārāma, 1992), Bag. 2, h. 38
[2] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Jakarta: 1980), h. 61
[4]
Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 39
[5]Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, Bag. 2, h. 40
[8]Djam’annuri, Agama Kita, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2009), h. 70
[9] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam
Dhamma. (Depok : Bromo fc).h.225
[10] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha
Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995).h.59
[11]
Harun Hadiwjono. Ibid. h. 74-75
[12]
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha
Dharma Mahayana. h.61
[13]
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha
Dharma Mahaya.hal.63
[15]
Mahathera,
Narada. Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya.. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama.
h. 112
[16]
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha
Dharma Mahayana.h.63
[17]Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia,
(Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 112
[18]Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan
Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), h. 63
[20]Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana.(Palembang:
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 844
[21]Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan
Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), h. 63
[22]Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 1983), h. 215
[24]Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan
Buddha, h. 63
[25]Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama,
, h. 214
[26]Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia,
h. 112
[28]Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana
h. 844
[29]Harun Hadiwijono,Agama Hindu dan
Buddha, h. 63
[33]
Ven. NĀRADA Mahāthera, Sang Budha dan Ajaran-AjaranNya, (Jakarta: Yayasan
Dhammadīpa Ārāma, 1992), Bag. 2, h. 175
[34]
Ibid, h. 195
[35] Majelis Buddhayana Indonesia. Kebahagiaan Dalam
Dhamma. h.134
[36] Ibid
[37]PiyadassiThera.
MeditasiBuddhis: JalanMenujuKetenangandanKebersihanBatin, (Surabaya:
Paramita, 2005), h. 27
[40]OktaDiputrha,
Meditasi I, 2004.
[41]MahaNayakaSthavira
A. Jinarakkhita. Meditasi II, h. 85
[42]Pancakkhandhaterdiriatas:
rupa-khandha (kelompokjasmani), vedana-khandha (kelompokperasaan),
sanna-khandha (kelompokpencerapan), sankhara-skandha (kelompokbentukpikiran),
danvinnana-skandha (kelompokkesadaran). Sesungguhnya yang
disebutdenganpancakhandhaituadalahmakhluk.
[43]MahaNayakaSthavira
A. Jinarakkhita. Meditasi II, h. 109
[44] Hilman Hadikusuma. Antropologi Agama
I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 234
[45] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, (Yogykarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998),
h. 130
[46] Gillian Stokes, “ Seri siapa
Dia? Budha”, (Erlangga, Jakarta, 2001) hal 45-48.
[47] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, h. 83
[48] Harun Hadiwijono. Agama Hindu dan Buddha, h. 84
[49] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia, h. 131
[50]HilmanHadikusuma,
Antropologi Agama (Bandung:
PT.CITRA ADITYA BAKTI,1993) hal.238-239
[51]
Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, hal 133
[52]
“Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha” (CV. Dewi Kayana Abadi-
Jakarta-2003) h.18
[53]
“Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha, h. 29
[54]
Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha , h. 30
[55]
“Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha, h. 30-31
[56]“Materi
Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha, h. 34-35
[57] Mr.zhao
Pu Chu “Tanya Jawab Mengenai Agama Budha” (pustaka kayanika ke-124- maret-2007)
h. 146-147
[58] “Materi
Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha, h. 74
[59]
Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, h. 139
[60]
Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, h.139-140
[61]
Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Budha” 84
[62]
Ibid 85
[63]
[63]
Mukti Ali, Agama Agama di Dunia, h. 140
[64] Mukti
Ali, Agama - Agama di dunia , h.139-140
[65]
”materi kuliah perekembangan sejarah agama Budha” (CV. Dewi Kayana Abadi-
Jakarta- 2003) h. 105
[66]
Ibid 105-106
[67]Ebook
Buddhism in east Asia
[68]
Mukti Ali, Agama-Agama di dunia, h.142-143
[69] Mukti
Ali ibid 140
[70]
Mukti Ali, Agama di dunia, (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press), h.142
[71]
Suwarto, Buddha Darma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, 1995), h.520
[72]
Suwarto ibid 520
[73]
Perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sejarah
Perkemangan Agama Buddha, ( Jakarta : Dewi karyana Abadi, 2013), Hal. 109
[74]
Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang : Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995), hal. 521
[75]
Dikutip dari Makalah Fathimah Albatul, Perbandingan Agama
semster IV
[76]
Buddha Dharma mahayana.hal 521
[78]Dikutipdarihttp://www.nbba.tvartikelberjudul
“NamuMyohoRengeKyo” penulistidakdiketahui, diaksespada 20 Mei 2013
[79]
Sejarah perkembangan Agama Buddha.hal 109
[80] YM.Bhiksu
Shoryo Tarabini, Perbedaan dan Persamaan Antara Nichiren Shu, Nichiren Shoshu dan
Soka Gakkai,hal.5-6
[85]
M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar,
(Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1,109
[88]Suwarto T,BudhaDarma Mahayana, ( Jakarta : Majelis
Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 119
[89]Antin,menguakMisteriAjaran
Agama-Agama Besar, ( Jakarta : Golden Terayon Press, 1986 )
[90]Suwarto T,BudhaDarma Mahayana, ( Jakarta : Majelis
Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 120
0 komentar:
Posting Komentar